“Kebenaran adalah misteri. Pikiran bisa merasakannya, tapi tak bisa menangkapnya, apalagi merumuskannya. Keyakinan kita bisa menunjuk ke sana tapi tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Meski begitu, kita menjunjung tinggi nilai dialog yang paling-paling merupakan sebuah kamuflase untuk menyakinkan lawan bicara tentang kebenaran milik sendiri. Selain itu, dialog ini untuk menghentikan kita supaya tidak menjadi katak dalam sumur yang mengira tak ada dunia lain di luar sumur. Apa yang terjadi ketika katak-katak dari berbagai sumur berkumpul untuk membicarakan keyakinan dan pengalaman mereka? Cakrawala mereka menjadi lebih luas, meliputi keberadaan sumur-sumur yang lain. Namun, mereka masih tidak mengetahui keberadaan samudra kebenaran yang tidak bisa dibatasi dinding sumur pemahaman. Dan katak-katak malang kita terus terpisah-pisah serta berbicara berdasarkan milikmu dan milikku, pengalamanmu, keyakinanmu, ideologimu, dan ideologiku. Rumus yang digunakan bersama tidak memperkaya orang-orang yang menggunakannya, karena rumus sama seperti dinding sumur – memisahkan. Hanya samudra tak berbatas yang menyatukan. Namun, untuk sampai di samudra kebenaran yang tidak dibatasi oleh rumus-rumus, orang perlu punya karunia pemikiran jernih. “ (Anthony de Mello, 2011)
Kebenaran adalah misteri. Sambil membicarakannya, orang tetap terpisah berdasarkan pengalamannya, ideologinya, keyakinannya, dan seterusnya. Membaca kutipan di atas dari buku Anthony de Mello, The Way to Love, membuatku teringat obrolan pada suatu momen bimbingan bersama Pak Gagan Hartana TB, dosen pembimbing tesisku, 16 Juli 2014 lalu.
“Jadi, apakah ada yang disebut kebenaran universal, Pak?” tanyaku saat sekali lagi menemui beliau di ruangannya.
Tidak ada. Kebenaran itu relatif, tegasnya. Setiap orang dengan latar belakang budaya, pendidikan, keyakinan, dsb memiliki kebenaran versinya sendiri. Sesederhana begini, lanjut beliau dengan mengajukan sebuah pertanyaan padaku.