Tampilkan postingan dengan label psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label psikologi. Tampilkan semua postingan

11 September 2020

Menjumpai diri sejati melalui emosi

Kita pada umumnya memberi label emosi negatif pada emosi-emosi takut, marah, bosan, sedih, duka, untuk kemudahan kategorisasi (Davies, 2017). Padahal, apa itu negatif dan positif? Apakah yang negatif artinya dihindari, tidak pantas, tidak layak ada?

Emosi-emosi ini sebenarnya merupakan kekayaan kita, para manusia usia berapa saja yang terdampak pandemi tahun 2020.  Emosi yang tidak untuk ditolak.

Apabila sebelum pandemi ini, kita mudah menolak dan mengabaikan adanya kekecewaan, kegagalan, kesedihan, kesepian, konflik, kemudian mengalihkannya dengan aktivitas lain, biar lupa dan tegar. Kini, ketika perasaan-perasaan ini muncul, mau dialihkan dengan apa? Sekali dua kali mungkin bisa dicarikan substitusinya. Musik, masak, buku, media sosial, belanja online, mengobrol, tidur, lalu, apa berikutnya? Mungkin kita malah jadi lelah, uring-uringan, bete, bosan, ketika emosi ini hanya dialihkan.

Sedikit kita telaah tentang emosi. Emosi berasal dari kata emotere yang merupakan bahasa Latin, artinya energy in motion, energi yang bergerak. Keberadaan emosi menggerakkan manusia, entah untuk bertindak, beranjak, mundur, berlari, dsb.

Akan tetapi, bagaimana kalau emosi takut, bosan, sedih, dan duka ini bukan untuk diubah, tetapi dirasakan sepenuhnya dan membiarkannya memandu kita menjumpai diri sejati? Sesungguhnya, emosi menampakkan diri asli seseorang. Mari kita ingat-ingat reaksi kita pada minggu pertama pandemi, apakah cemas, dan kemudian apakah ikut panic buying, atau tenang santai selow, sibuk menggalang dana kemanusiaan, marah mengumpat, atau malah cuek tidak mengikuti berita?  Setiap reaksi, segala aksi, adalah ungkapan yang wajar dan manusiawi. Dalam konteks menjumpai diri yang sejati, kita hanya perlu menyadarinya.

If emotion is our intelligent body’s way of inviting us to align with our true self, intuition and inner knowing could be said to be direct communication from that true self (Davies, 2017). Melalui intuisi, kita bisa mengetahui pesan yang dikomunikasikan oleh diri sejati, yang dapat berupa rasa fisik, pikiran, atau letupan ide. Gagasan bahwa kebosanan merupakan katalisator yang membantu kita menemukan kebaruan, pastilah berawal dari sebuah intuisi dari para tokoh yang berkomunikasi dengan diri sejati mereka. Sama halnya dengan contoh berikut, masih mengangkat kisah Viktor E. Frankl (seperti pada artikel saya sebelumnya), ketika membantu kliennya.

“Seorang dokter umum berusia lanjut datang ke tempat praktik saya karena dia merasa sangat tertekan. Dia tidak bisa melupakan kematian istrinya yang terjadi dua tahun yang lalu, orang yang dia cintai lebih dari siapa pun. Saya mengajukan satu pertanyaan,’Katakan, Dokter, apa yang mungkin terjadi jika Anda lebih dulu meninggal daripada istri Anda?’ ‘Oh,’ katanya, ‘Dia pasti akan merasa sangat sedih, betapa akan menderitanya dia!’ Mendengar jawabannya saya berkata, ‘Anda lihat, Dokter, mendiang istri Anda terbebas dari penderitaan seperti itu, dan Andalah yang membebaskannya dari penderitaan seperti itu—tetapi, Anda harus membayarnya dengan tetap hidup dan berkabung untuknya.’ Tanpa mengatakan apa-apa dokter tersebut menyalami saya dan meninggalkan ruang praktik saya. Dalam banyak hal, penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan ketika dia sudah menemukan maknanya, misalnya makna dari sebuah pengorbanan.”

Sejenak saya mencoba membayangkan emosi warga dunia yang sedang pekat menyelimuti bumi, dari pasien maupun keluarga pasien, pekerja maupun pengangguran, tenaga kesehatan maupun masyarakat awam, pemimpin maupun generasi muda. Emosi bisa menggerakkan kita, tidak hanya ke luar untuk diekspresikan dan dilampiaskan, tetapi juga menggerakkan ke dalam diri. Manfaatkan energinya. Ketika kita mau menghadapi emosi-emosi, entah bosan, sedih, luka, duka; menyadari keberadaannya, dan terhubung dengan diri sejati, kita akan mampu mendengar kebijaksanaan yang ada di dalam.


Referensi:

Britta C. 2017. How I learned to embrace my boring lifehttps://medium.com/@britta.c/how-i-learned-to-embrace-my-boring-life-1106080f3a56 Britta C 2017

Davies, Kyle. L. 2017. The Intelligent Body: Reversing Chronic Fatigue and Pain From the Inside Out. W. W. Norton & Company.

Frankl, Viktor E. 1992. Man’s Search for Meaning. Priyatna, Haris. 2017. Noura books: Jakarta, Indonesia.

21 April 2020

Self-Help penangkal stres (karena kabar Covid-19) untuk anak melalui “Imagery”

Stres merupakan kondisi yang wajar dialami setiap manusia ketika mengalami peristiwa atau situasi yang dianggap mengancam dirinya


Hei, mengapa kamu terlihat murung? Apa sedang tidak enak badan? Atau ada perasaan yang tidak nyaman? Oh, tetapi bingung menjawabnya, ya. Untuk membantumu mengetahui kondisi yang sedang dialami, yuk, lihat ciri-ciri berikut dan tandai yang sesuai dengan kondisimu.
  • Lelah, inginnya bermalas-malasan
  • Mudah marah, kesal, membentak
  • Sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas
  • Moody, cepat berubah dari antusias atau bersemangat ke lesu atau enggan
  • Lebih banyak diam, atau menangis
  • Merasa takut, tetapi tidak tahu takut apa
  • Sulit tidur atau justru mimpi buruk
  • Selera makan menurun, atau justru meningkat
  • Sakit perut atau sakit kepala, pusing
Apabila kamu mengalami sedikitnya empat ciri-ciri di atas, kemungkinan besar kamu sedang mengalami stres. Stres merupakan kondisi yang wajar dialami setiap manusia ketika mengalami peristiwa atau situasi yang dianggap mengancam dirinya.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun bisa mengalami stres. Coba diingat-ingat, siapa yang panik kalau harus memberi tahu orang tua ketika mendapat skor rendah di sekolah? Atau adakah di antara kita yang takut diejek teman ketika potongan rambutnya tidak sesuai yang diharapkan? Pasti ada banyak contoh lain yang pernah kamu alami. Perubahan besar dalam hidup juga bisa memicu stres, misalnya perceraian orang tua, anggota keluarga meninggal, pindah rumah, pindah sekolah, dsb. 
Dalam satu bulan terakhir, kita juga sedang mengalami perubahan besar karena pandemi Covid-19, yang membuat kita semua tidak boleh pergi ke sekolah tetapi belajar dari rumah saja. Bahkan sebagian orang tua kita juga bekerja dari rumah. Lalu banyak berita yang datang, tentang bahaya virus ini, kenalan ayah atau ibu yang menjadi pasien Covid-19, berita meninggalnya kakek atau nenek teman, atau bahkan ada orang tua yang harus dirawat di rumah sakit.
Beberapa kawan yang beruntung masih tinggal bersama orang tua mereka, mungkin mengalami stres yang berbeda bentuknya. Setiap hari mereka menyaksikan ayah dan ibu yang resah dan bingung karena situasi ini lalu melampiaskannya dengan kemarahan atau berkonflik ketika melihat anaknya melanggar aturan. 
Kalau semua hal ini memenuhi kepala dan hati kita, wajar sekali kita menjadi murung.

Kiat mudah mengurangi stres

Stres itu bukan hal yang buruk, kok. Ketika stres, sebenarnya kita dilatih untuk mencari solusi dengan berpikir dan mengelola emosi. Ada satu cara yang bisa kamu praktikkan untuk mengatasi stres karena beban pikiran. Ikuti tahapnya, ya.
  • Bayangkan dua keranjang besar, yang satu bernama Keranjang Tanggung Jawab dan satu lagi bernama Keranjang Kepedulian.
iStock

  • Keranjang Tanggung Jawab artinya tempat hal-hal atau masalah yang menjadi tanggung jawabku. Keranjang Kepedulian artinya tempat hal-hal atau masalah yang aku pedulikan tetapi di luar tanggung jawabku.
  • Sekarang, pilah satu persatu masalah yang dipikirkan, apakah masuk ke dalam Keranjang Tanggung Jawabku atau Keranjang Kepedulianku.
Pada contoh tadi, berita tentang kenalan ayah atau ibu yang sakit, meninggalnya kakek atau nenek teman, berita tentang bahayanya virus, serta keresahan ayah dan ibu masuk ke Keranjang Kepedulianku, karena sebagai anak-anak, aku tidak memiliki tanggung jawab dan kewenangan terhadap hal-hal tersebut.
Sementara itu, pelanggaran aturan yang kuperbuat masuk dalam Keranjang Tanggung Jawabku. Kondisi ayah atau ibu yang sakit, yang membuatku harus mengurus keperluan yang bisa kulakukan secara mandiri, menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh, serta mengerjakan tugas sekolah, masuk ke dalam Keranjang Tanggung Jawabku.
Artinya, perhatian kita bisa ditujukan kepada hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita, sedangkan hal-hal lain cukup menjadi bahan kepedulian dan jangan sampai menimbulkan kepusingan.
Semoga kini kamu bisa mengenali penyebab kemurunganmu dan memahami bahwa kondisi stres merupakan hal yang wajar serta bisa diatasi. Akan tetapi, jika kamu butuh bantuan, segera beritahu ayah-ibumu atau orang dewasa yang kamu percaya.
(Arikel pernah dimuat di www.kembalikeakar.com pada 8 April 2020)

Konsep "Circle of Concern and Circle of Influence"

18 April 2020

Bertukar Cerita dengan Eyang


Anak-anak bisa mengasah kecakapan sosial mereka melalui percakapan dengan kakek dan nenek.
Masa “sekolah di rumah” diperpanjang. Apakah ini berita menyenangkan atau kurang menyenangkan untukmu? Pasti jawabannya beragam. Ada yang senang karena punya banyak waktu lebih lama bersama ayah bunda, bisa bermain dengan kakak dan adik, atau bisa bangun lebih siang, barangkali. Ada juga yang tidak senang, karena mungkin bosan di rumah, sering rebutan barang dengan adik, banyak tugas tambahan, dan tidak bisa bertemu teman. Apalagi kalau sudah punya teman dekat, yang kalau di sekolah selalu main bareng dengan mereka, ngobrol bareng, jajan bareng, olahraga bareng, sampai tiktok-an bareng juga.
Walaupun tidak bisa bertemu langsung dengan teman, anak-anak jaman sekarang dimudahkan dengan teknologi. Kamu tetap bisa bercerita dan ‘mabar’ (main bareng) dengan teman via internet. Ada media sosial, game online, videocall, dsb. Kesempatan untuk bercanda, bertukar kabar, dan bermain dengan teman merupakan salah satu hiburan pada masa isolasi ini.
Disadari atau tidak, kamu belajar banyak tentang kecakapan sosial melalui pertemanan, di antaranya berkomunikasi, bersabar mengantri, berempati dan peduli terhadap teman yang kesusahan, menghadapi konflik atau pertengkaran dengan teman, dan mencari penyelesaian masalahnya. Lalu, selama masa isolasi di rumah, apakah keterampilan sosial ini akan menurun karena tidak bertemu dengan teman sebaya? Belum ada jawaban pasti dari ahli psikologi mengenai hal ini, namun mereka berpendapat bahwa kecakapan sosial anak tidak akan berkurang jauh.
Anak dan remaja masih bisa bersosialisasi dengan orang tua, kakak, adik, juga teman secara daring. Saya mengutip pernyataan Jen Blair, seorang psikolog klinis, kepada Insider, bahwa justru anak-anak mampu resilien. Resilien artinya lentur beradaptasi pada situasi sulit. Coba, deh, bayangkan karet yang lentur, bisa ditarik sekencang mungkin dan kembali ke bentuk semula tanpa putus. Kamu juga bisa lentur dan berhasil melalui masa sulit, asalkan tetap mau belajar, ya!  
Kamu bisa belajar dari Eyang
Bagi yang masih punya kakek dan nenek, adakah yang pernah videocall, menelepon atau mengobrol dengan beliau selama masa isolasi ini? Ketika sudah terlalu sering mendengar dan menonton video selebgram, bagaimana kalau kamu seolah-olah menjadi youtuber yang mewawancara kakek atau nenekmu dengan 5 pertanyaan?
Hah, wawancara eyang, apa asyiknya? Ets, jangan kaget dulu. Ini akan menyenangkan karena kamu bisa belajar dari seseorang yang usianya empat atau lima kali lipat usiamu, yang pasti sudah punya banyak sekali pengalaman. Kamu bisa bertanya tentang pengalaman eyang menghadapi teman yang bikin bete, misalnya.
Supaya bisa menelepon atau videocall bersama eyang dengan nyaman, pilih tempat yang tenang untuk mengobrol cukup lama. Katakan kepada eyang untuk minta waktunya menjawab 3 atau 5 pertanyaan. Sesuaikan juga dengan kondisi fisik eyang, ya.
Tidak semua eyang bisa langsung bercerita, kadang eyang bingung cerita dari mana. Kamu bisa mulai dengan meminta eyang menceritakan tentang kedua orang tuanya. Berikutnya, bisa menanyakan pertanyaan seperti ini.
·         Siapa nama lengkap Eyang? Apakah Eyang punya nama panggilan waktu kecil?
·         Apakah Eyang pernah belajar alat musik, seperti apa belajarnya?
·         Bagaimana caranya supaya bisa memiliki teman-teman baik?
·         Apakah dulu Eyang diberi aturan tentang berpacaran?
·         Apakah Eyang pernah dihukum waktu kecil?
·         Apa pelajaran favorit Eyang di sekolah?
·         Apa pekerjaan pertama Eyang?

Respon eyang bisa berbeda-beda ketika mendapat pertanyaan ini. Dengarkan dulu segala cerita dan pesannya. Secara umum biasanya eyang akan senang ditanya, tetapi jika ada hal yang menyinggungnya, segera sampaikan maaf. Dari pengalaman ini, kamu juga sambil latihan bertutur kata yang sopan, memahami sudut pandang eyang, dan memberi tanggapan atau komentar dalam percakapan.
Sedikit informasi, hasil penelitian Marshall Duke dan Robyn Fivush dari Emory University menyebutkan bahwa anak dan remaja yang mempunyai banyak pengetahuan tentang sejarah keluarganya, menampilkan kepercayaan diri yang tinggi dan jarang mengalami kecemasan ketika menghadapi masalah.
Kegiatan bertukar cerita dengan eyang ternyata memberikan banyak bonus manfaat untukmu, yaitu mendapat pesan berharga dari pengalaman eyang, melatih keterampilan berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, menambah pengetahuan tentang sejarah keluarga, dan bisa meningkatkan kepercayaan dirimu. Kecakapan sosialmu bisa tetap diasah selama masa isolasi ini. Selamat mencoba, ya! Apabila kamu dan orang tuamu ingin melihat contoh percakapannya, bisa menonton video 57 Years Apart – A Boy and a Man Talk About Life.

(ditulis untuk www.kembalikeakar.com)

Referensi:
Fivush, Robyn., Duke, Marshall., & Bohanek, Jennifer G. 2010. “Do You Know…” The power of family history in adolescent identity and well-being. https://ncph.org/wp-content/uploads/2013/12/The-power-of-family-history-in-adolescent-identity.pdf
Lauber, Rick. 100 Questions to Ask Grandparents. https://homecareassistance.com/blog/questions-ask-elderly-grandparents

Miller, Anna Medaris. 2020. Experts say kids' social skills 'aren't going to fall apart' during a short-term coronavirus lockdown, but it's unclear what might happen after that. https://www.insider.com/will-kids-be-developmentally-delayed-from-social-isolation-coronavirus-2020-3

Stasova, L. & Krisikova, E. 2014. Relationships between children and their grandparents and importance of older generations in lives of todays’families. EDP Sciences. https://www.shs-conferences.org/articles/shsconf/pdf/2014/07/shsconf_shw2012_00044.pdf

22 Januari 2020

Game, kebutuhan prestasi, dan apresiasi


Saya sering melihat orang suka bermain game di ponsel mereka sepulang kerja. Di rumah, di kereta, di bus. Sebagai kesenangan, melepas penat, atau menghilangkan bosan. Game memang dibuat agar orang merasa senang, kan. Kesenangan yang diperoleh ketika berhasil, menang, atau senang menikmati permainannya.

Keberhasilan ini bolehlah kita maknakan sebagai prestasi, pencapaian. Dalam game, pemaknaan “prestasi” yang lebih cocok untuk konteks ini barangkali dari kata "accomplishment". Tercapai, selesai. Tuntas.

Pencapaian dan keberhasilan sudah menjadi bagian dari kebutuhan manusia, kira-kira sejak masa-masa sekolah dasar, yang dalam tahap perkembangan psikososial Erik Erikson dinamakan tahap Industry. Lalu dalam perkembangan kepribadian manusia, kebutuhan ini menjelma menjadi kebutuhan berprestasi (need for achievement) seperti disebut dalam teori motivasi McClelland.

Ada kesamaannya antara dunia kerja pada umumnya dan dunia game. Dalam bekerja, kita berusaha menghasilkan (memproduksi), mencapai, atau memenangkan suatu target,  begitu pula dalam dunia game, ya. Bedanya, yang satu nyata, yang satu virtual, meskipun ada juga yang berimplikasi reward di dunia nyata. Selain itu, ada perbedaan yang menarik.

Dalam dunia kerja pasti ada saja yang namanya tidak tuntas yang bikin lelah hati, tetapi di game, perasaan tuntas bisa diciptakan ketika berhasil di satu level. Kalaupun gagal, masih bisa mengulang lagi dengan kondisi yang sama persis. Kalau menang, ya senang, lalu dapat bonus, hore-hore di layar. Akan tetapi, dalam situasi nyata, kegagalan menggolkan proyek hanya karena kecerobohan kecil, gagal mendapatkan pembeli hanya karena kemacetan jalan, gagal lulus semester, apa semua itu bisa diulang? Bisa sih, tapi (kondisinya) tidak pernah sama persis. Begitu banyak faktor yg membedakan kondisi yang pertama kali dan yang diulang. Orang yang berbeda, kondisi finansial yang berbeda, kekuatan fisik yang berbeda, dsb. Atau kesempatan itu tidak pernah ada lagi. Lalu kita kecewa. Ada yang belum selesai, unaccomplished. Sementara di dalam game, selesai di satu level, memunculkan perasaan accomplished. Pernah mengalaminya?

Setelah kita berhasil, biasanya diikuti dengan apresiasi. Biasanya, lho, karena tidak selalu. Apalagi di dunia nyata, tidak selalu apresiasi itu datang dari orang lain, termasuk juga diri sendiri yang sering lupa menghargai kerja keras sendiri. Padahal apresiasi adalah juga bagian dari kebutuhan manusia. Dalam game, apresiasinya nyata, meskipun hanya berupa suara musik bersorak atau tulisan “You Win” besar-besar di layar, tapi itulah penanda kita berhasil di game tersebut.

Mungkin perasaan accomplished dan appreciated ini yang bikin orang suka bermain game. Asyik dengan dunia yang lebih bisa diprediksi ketimbang dunia nyata. Kebutuhannya pun terpenuhi. Tentu ini masih kemungkinan, dugaan-dugaan saya. Saya juga menemukan artikel dari seorang gamer yang mengulas need for accomplishment

Apabila benar, bahwa kebutuhan prestasi dan apresiasi ini terpenuhi melalui game, kita mungkin perlu menengok kepada anak-anak, adik, atau keponakan kita yang lekat dengan game, agar mereka tidak menyempitkan pemaknaan prestasi hanya pada game. Ada begitu banyak pengalaman nyata yang bisa dieksplor di luar layar segiempat itu, ada begitu banyak jenis perasaan berhasil dan apresiasi yang bisa mereka alami.


Game dan taraf kompetensi




Beberapa waktu lalu saya kerap bermain game Candy Crush. Game ini fenomenal sekali, lho, sampai-sampai dibahas dalam buku Hooked (Nir Eyal, 2013). Mainnya di handphone teman saya, sehingga ga sampai terus-terusan, meskipun mengalami juga efek game yang bikin tampilan warna warni bola-bola permen tiba-tiba muncul dalam pikiran. Mungkin juga karena saya ini tipe visual. Dan mungkin juga efek inilah yang membangkitkan dorongan para gamer untuk bermain dan bermain lagi.

Nah, sewaktu saya dalam perjalanan ke luar kota yang makan waktu beberapa jam, terlintas keinginan bermain Candy Crush, tetapi lalu muncul ingatan tentang level game yang sulit. Kalau levelnya masih dua ratusan sebelum ini masih menyenangkan karena mudah, tapi sekarang sedang masuk yang sulit. Kalau levelnya masih yang awal-awal juga terlalu mudah. Membosankan. 

Alih-alih main, malah muncul ide. 

Hei, bukankah leveling pada game ini seperti halnya mengukur tingkat kemampuan atau kompetensi pada manusia, ya. Bayangkan kalau kompetensi manusia bisa diukur serinci derajat kesulitan pada game. Kalaupun tidak rinci, kita bisa manfaatkan analogi level game untuk memahami tingkat kemampuan manusia. Manusia punya variabilitas kemampuan, itu sudah pasti. Premis berikutnya adalah orang akan senang dan termotivasi melakukan hal yang sesuai dengan kemampuannya. 

Orang dengan kapasitas kemampuan 70, ia sudah pasti bisa mengerjakan tugas level 10 sampai 70. Tapi kalau tugasnya terus-terusan di level 10, ia bisa bosan. Kalau dikasih tugas level 120 bakal kewalahan, tidak suka, atau malah menyerah. 

Ia diperkirakan akan menikmati tugas pada level 60 sampai 80. Ia fit di sini. Ia akan bersemangat dan mungkin bisa berkembang ke level 90 atau 100, tergantung karakternya, seberapa gigih, dan seberapa suka tantangan atau tidak.

Mobil yang saya tumpangi sudah mendekati pintu keluar tol, padahal saya belum jadi main Candy Crush-nya. 

Saya membayangkan kalau penyelenggara pendidikan dan penyelenggara kerja mampu mendeteksi taraf kemampuan peserta didik dan pekerja dengan jitu seperti level pada game, kita akan menemukan lebih banyak orang yang termotivasi dibandingkan yang frustrasi.


25 September 2018

Kepekaan Waktu


Sense of time. Istilah ini muncul begitu saja dalam pikiran saat saya bercakap-cakap dengan adik saya hari Minggu kemarin. Saat menulis ini, saya coba cari di Google tentang istilah ini, masih sedikit pembahasan (dalam pengertian saya, masih sedikit adalah ketika ia hanya muncul pada 1 atau 2 artikel dalam laman pertama pencarian) maupun kata gantinya. Padanan istilah dalam bahasa Indonesia yang paling mendekati tampaknya adalah “kepekaan waktu”. Kepekaan waktu yang dimaksud ini tentang kemampuan seseorang dalam memperkirakan waktu (kapan) dan durasi (berapa lama).

Pada Minggu siang terik yang membuat enggan beraktivitas, saya bertanya kepada adik.
“De, kamu pernah tahu lima menit itu seberapa lama?”
“Maksudnya?”
“Lima menit itu setara dengan waktu kamu mengerjakan apa, apakah misalnya menyikat gigi, berjalan kaki dari rumah ke warung, dsb. Kira-kira kamu bisa isi lima menit dengan apa? Kita sudah menyadari belum, lamanya tiga menit, lima menit, setengah jam itu seberapa.”

Seringnya, sih, waktu berlalu begitu saja. Kita larut dalam aktivitas, entah bekerja, mengobrol, main game online, membaca, termasuk menyikat gigi dan berjalan kaki itu. Biasanya, waktu baru terasa kalau sedang menunggu berjam-jam. Bahkan berjalannya waktu yang sudah diukur dengan timer pun, kadang disadari kadang juga tidak, seperti misalnya saat memanggang kue. Barangkali berbeda dengan atlet atletik yang paham betul artinya satu detik itu seperti apa.

Bila seseorang datang terlambat dari waktu yang ditetapkan, selain terjadi peristiwa di luar prediksi, sangat mungkin perhitungan waktunya belum tepat, atau bisa juga ia tidak membuat perhitungan rencana. Sementara itu, seseorang yang dalam setiap janji temu berusaha tiba satu atau dua jam lebih awal, mungkin juga ia belum memahami ukuran waktu, maka mengambil perhitungan waktu yang berlebih. Daripada terlambat, biarlah tiba dua jam lebih awal, pikirnya, lalu estimasi waktu ia tambahkan, karena belum mengenali seberapa persisnya ia menggunakan waktu.

Ketika orang bicara tentang manajemen waktu yang dilatihkan dalam training-training di kantor, kampus, dsb, sepertinya ada konsep yang lebih mendasar atau mungkin lebih mendalam pemahamannya, dibandingkan tahap awal memilah kegiatan penting dan mendesak, membuat prioritas, dan jadwal kegiatan harian, itu ialah kepekaan waktu (sense of time). Paham dengan ukuran waktu. Umpamanya, dalam lima belas menit bisa melakukan apa saja, apakah membalas email-email, mengarsip lembar tagihan, menyusun satu konsep proposal, membaca jurnal, dsb. Dengan memahami ini, pasti akan memudahkan dalam membuat keputusan tindakan. Seperti misalnya, datang tugas tambahan sementara masih ada tugas rutin, tetapi hanya tersisa waktu lima belas menit sebelum menghadiri rapat, maka lima belas menit ini bisa diisi dengan pekerjaan yang mana agar efektif.

Apakah peka terhadap waktu mudah dilakukan? Dalam percakapan dengan beberapa teman, hanya seorang dari kami yang mampu mengenali ukuran waktu dalam satuan menit tanpa bantuan alat, dan bagi kami yang mendengarnya dengan takjub, itu seperti kemampuan spesial yang hanya dimiliki orang-orang tertentu. Sama seperti saya mengagumi nenek saya dan orang-orang di generasinya yang bisa menyebutkan waktu dengan tepat, tanpa melihat jam, yang kepekaannya sangat terasah dalam mengenali perubahan waktu. Padahal, sesungguhnya tidak selangka itu. Kepekaan ini sangat bisa dilatih, dengan disertai kesadaran dalam setiap waktu yang dilalui. Menyadari keberadaan waktu demi waktu inilah yang perlu proses.

Menurut suatu sumber, salah satu cara praktisnya bisa dengan menebak jam atau durasi, lalu mengeceknya pada arloji. Lebih dari itu, kita bisa berlatih memantau jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan suatu aktivitas, atau menetapkan waktu sekian menit lalu mengisinya dengan aktivitas. Kita bisa memantaunya selama beberapa kali, sehingga diketahui kisaran waktu rata-ratanya. Lambat laun, kita bisa mengenali bobot satu jam itu seberapa, tiga puluh menit itu seberapa, lalu dapat masuk ke ukuran waktu yang lebih kecil. Tampaknya tidak sulit untuk dicoba. 

Bersamaan dengan mampu mengukur waktu, kita juga mampu mengukur kemampuan diri, hendak mengisi dengan apa saja, kapan melanjutkan dan kapan berhenti.



Oke, sudah saatnya berhenti menulis dan berlanjut ke kegiatan lain. Sampai bertemu pada tulisan berikutnya.


10 Maret 2018

inatentif dan egosentris




Inatentif dan egosentris. Perpaduan yang bisa membuat seseorang sulit bersosialisasi, dalam arti ia sulit memahami lingkungannya, dan ia sulit diterima dalam pergaulan.

Apa, sih, inatentif itu? Sederhananya, tidak memperhatikan. Bisa karena keterbatasannya dalam hal kemampuan atensi (mungkin secara neurologisnya), sehingga mudah beralih perhatian, berganti topik pembicaraan, tidak menyimak, tidak fokus, atau mudah lupa. Bisa pula karena ia tidak berniat menaruh perhatian pada orang lain, cuek, tidak peduli, yang mungkin berkaitan dengan egosentrisme. Apa itu egosentris? Secara sederhana bisa diartikan bahwa seseorang memaknai sesuatu hanya melalui sudut pandangnya sendiri, berorientasi pada dirinya. Anak kecil umumnya masih egosentris, inginnya semua orang bisa memahami dirinya. Wajar, pada anak kecil.

Apa yang terjadi bila berkomunikasi dengan orang yang inatentif? Informasi yang ia terima bisa jadi tidak utuh, sepotong-sepotong. Bisa jadi, obrolan tidak nyambung. Bisa jadi juga, kita kesulitan mengikuti alur percakapan yang berubah tiba-tiba. Ia juga bisa keliru memaknakan situasi atau perkataan orang lain. Bagaimana jika berkomunikasi dengan orang yang egosentris? Maunya bicara tentang dirinya saja. Mungkin terkesan mudah tersinggung, karena ia mudah menarik segala hal untuk dikaitkan dengan dirinya dan subyektivitasnya, juga permasalahan-permasalahannya, kesulitannya, perasaannya, dunianya. Mungkin juga, ia tidak mau mendengarkan orang lain. Sulit menerima pendapat yang berbeda, atau pendapat orang lain dipandang salah olehnya, ya karena dia hanya melihat dari kacamatanya.

Apa jadinya kalau orang yang inatentif, ia juga egosentris? Terbayang situasi percakapannya? Belum lagi kalau pribadinya juga dominan, mungkin jengah rasanya mendengarkan dia. Malah ada yang pernah cerita bahwa ia banyak dimusuhi. Bisa jadi memang orang lain tidak menyukainya, atau ia yang merasa tidak disukai banyak orang. Kalau pribadinya cenderung inferior atau minder, mungkin melelahkan untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak seburuk itu, bahwa dunia tidak sekejam itu pada dirinya.

Kalau ia inatentif, tetapi masih menunjukkan keterbukaan dan kepedulian (tidak egosentris), tampaknya orang lain masih bisa memaklumi keterbatasannya. Ia perlu menerima pesan secara berulang dan bertahap, agar bisa dipahami dengan utuh.

Bagaimana kalau ia hanya egosentris, tetapi bisa atentif? Dia bisa menyimak, memahami pesan, tetapi lalu sulit memandang persoalan dengan objektif. Meskipun ini agak jarang ditemukan, karena biasanya perhatian yang terpusat pada diri sendiri membuat seseorang sulit memperhatikan lingkungan di luar dirinya. Di sisi lain, ia mungkin saja menunjukkan perhatiannya pada lingkungan karena ada tuntutan, kebutuhan untuk dirinya, atau agar dipandang baik oleh orang lain.  

Kalau seseorang inatentif dan egosentris, lalu bagaimana supaya ia bisa berkomunikasi dengan efektif? Seseorang pernah mengatakan pada saya, kita belajar dan diajarkan untuk berbicara tetapi tidak belajar untuk mendengarkan. Ya, kita mendengar, tetapi bukan mendengarkan. Kita mendengar orang bicara sambil sibuk melihat hal lain, memikirkan jawaban atau pertanyaan berikutnya, memikirkan diri kita, dan lain-lain, dan sepertinya itu bukan mendengarkan. Memang betul-betul diperlukan kesadaran untuk bisa mengajak diri mendengarkan secara atentif. Untuk bisa menahan subjektivitas dan memberi ruang sehingga bisa menerima dan memahami pesan secara utuh. Untuk bisa memahami situasi dan sudut pandang orang lain.

Apakah hanya dengan mendengarkan? Ini opini pribadi saya saja, karena sepertinya itu cara paling sederhana yang bisa diupayakan. Tentu ada cara-cara lain untuk melatih kepekaan, atensi, empati. ‘Mendengarkan’ ini terdengar sederhana, tetapi bukan berarti cara yang mudah, karena saya sendiri masih jatuh bangun mempelajarinya. Jatuh tergelincir egoisme, emosi, dan lainnya. Tetapi manakala berhasil melakukannya, rasanya bersyukur sekali, bisa ada di momen itu secara penuh. Hm…bagaimana ya, menceritakannya. Penasaran? Silakan dicoba.


31 Januari 2018

Milenial Pengubah Indonesia bisa mengubah apa?

Satu buku yang baru saya tuntaskan berjudul “Generasi Phi Memahami Milenial Pengubah Indonesia” yang ditulis Dr. Muhammad Faisal. Penamaan Generasi Phi ini tampaknya strategi yang menarik untuk memperkenalkan suatu konsep baru. Pertama, pembaca diajak untuk berada di pemahaman yang sama, bahwa ketika menyebut Gen Phi, mereka adalah generasi milenial Indonesia. Ini memisahkan dari istilah Gen X, Gen Y, atau istilah milenial secara global yang sudah banyak digunakan. Maka selama proses membaca buku ini, kata Gen Phi bisa dengan mudah terasosiasi atau terhubung dengan definisi anak muda yang dimaksud penulisnya, bukan definisi di luar buku ini. Spesifik dan  membantu konstruksi berpikir pembaca. Kedua, mungkin berkaitan dengan branding, meskipun saya masih awam berbicara tentang marketing. Suatu karya bisa dengan mudah dikenal karena kebaruannya. Ada keunikan, orisinalitas ide penulisnya, yang membuat penulis/pencipta identik dengan karyanya dan begitu pula sebaliknya, karya identik dengan penciptanya. Dengan istilah Gen Phi ini, Mas Faisal adalah pelopornya dan ini membuat beliau menjadi acuan atau referensi ketika siapa pun mau mempelajari generasi milenial Indonesia. Ibaratnya, kalau kita mengetikkan kata ‘generasi phi’ di laman pencarian Google, dengan mudah kita menemukan nama beliau dan bukunya.

Salah satu bagian dari buku ini yang menarik buat saya adalah tentang wirausaha generasi Phi. Paparan di buku ini mampu menjelaskan fenomena menjamurnya tempat nongkrong di kota besar maupun kota yang sedang bertumbuh. Kita bisa menyebutnya kedai, kafe, warunk, mulai dari yang sederhana sampai yang premium. Begitu pula outlet, distro, dan sebagainya. Disebutkan bahwa salah satu alasan utama yang menjadi motivasi Gen Phi menjadi wirausaha adalah melestarikan lingkungan pertemanan. Alasan ini berangkat dari core kepribadian Gen Phi yang komunal, senang berkumpul, alias nongkrong. Rasanya nongkrong di sini tidak hanya aktivitas yang dilakukan remaja SMA sepulang sekolah duduk-duduk di lapangan basket (ini definisi dari satu klien saya yang masih SMA). Kumpul dengan teman kuliah sepulang kerja, itu pun bisa termasuk nongkrong, kalau mengacu pada pemahaman di buku ini, ketika “nongkrong is a word for sitting, talking and generally doing nothing.”

10 September 2016

Seramah apa sekolah kita?


Saat melihat gambar di atas, bisa jadi kita mencoba mengingat-ingat di mana pernah melihatnya sebelum ini atau justru sudah amat mengenalinya. Gambar ini ada dalam iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengampanyekan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Pada 2014 lalu, maraknya kasus kekerasan dan pelecehan mendorong pemerintah untuk membuat konsep sekolah ramah anak. Apakah SRA semata-mata adalah program sekolah tanpa tindak kekerasan? Kebijakan SRA memuat standar pelayanan minimal terkait kesehatan anak sebagai peserta didik, penanganan dan antisipasi keselamatan anak di daerah rawan bencana, dan kebijakan anti kekerasan. Pada dasarnya, Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Kita yang tinggal di kota, menyekolahkan anak, atau bersekolah di sekolah swasta atau negeri, mungkin berpikir, konsep sekolah ramah anak bukankah merupakan kewajiban bagi semua sekolah, dan bukankah memang demikian yang sudah terjadi? Bahwa sekolah memiliki bangunan yang kokoh, tersedia berbagai fasilitas yang bersih, memiliki lingkungan nyaman, dilengkapi dengan petugas pelayanan kebersihan, dan siswa juga diajar untuk menjaga kebersihan lingkungan. Bahwa tersedia kantin, perpustakaan, lapangan olahraga,  toilet, taman, beserta sederet kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Bahwa petugas keamanan sekolah dengan ramah membantu siswa menyeberang jalan. Lalu, apakah di sekolah yang memiliki jalan berupa tangga, juga tersedia jalur khusus lain yang bisa digunakan oleh anak yang menggunakan kursi roda? Apakah kapasitas ruangan kelas sesuai dengan jumlah anak, memiliki penerangan yang cukup, tersedia tempat sampah dan memiliki tempat cuci tangan dengan air bersih yang mengalir? Apakah kantin memiliki tempat dan peralatan yang bersih untuk pengolahan dan persiapan penyajian makanan, tidak berada di dekat toilet atau tempat sampah, serta makanan dan minuman memenuhi standar keamanan dan kesehatan?

29 Juni 2015

perihal seleksi karyawan


Beberapa kali membuat laporan evaluasi tes psikologi untuk seleksi karyawan mengantarku pada pemikiran lain. Ah, ya, kujelaskan singkat dahulu apa yang kukerjakan. Aku menerima berkas hasil tes psikologi lalu kubuatkan laporannya. Kadang ada yang sudah disertai saran dari supervisorku, apakah pelamar yang dites ini disarankan untuk diterima bekerja, dipertimbangkan, atau ditolak. Kadang aku diberi kepercayaan untuk menuliskan saran tersebut dengan tetap disupervisi. 

Pengalamanku belum banyak di bidang ini. Aku tergolong pemula di ranah rekrutmen dan seleksi karyawan, setelah sebelumnya lebih berkecimpung dalam dunia pelatihan atau training.  Beruntung, aku masih di bawah supervisi dalam melakukan diagnosis dan mengambil keputusan terhadap lolos-tidaknya calon karyawan. Di satu sisi, melakukan diagnosis itu pekerjaan yang menyenangkan buatku. Seru, mungkin bisa dibilang begitu, ketika mendinamikakan kepribadian dan menemukan benang merahnya. Ya, kalau jadi terbayang gambaran umum pribadinya memang menyenangkan, tapi kalau tidak, memusingkan juga…hehehe. Di sisi lain, menetapkan saran untuk merekomendasikan atau menolak seseorang bekerja di suatu perusahaan, ini bagian yang sejak lulus S1 Psikologi kuhindari, sehingga aku memilih bidang pelatihan. Dan, dengan kapasitasku sekarang, aku diharapkan dapat memberikan saran terbaik perihal seleksi karyawan ini, untuk kemaslahatan kedua pihak, perusahaan dan karyawan. Bagi perusahaan, mereka bisa langsung memanfaatkan laporan evaluasi tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan. Lalu bagaimana dengan pelamar atau calon karyawan? Ada beberapa perusahaan yang memberikan feedback, tetapi banyak pula yang tidak. Yaa, pekerjaan untuk mengurusi karyawan mereka saja sudah banyak, mungkin itu pertimbangan efisiensi mereka. 

Jadi, sudah beberapa kali aku terusik ketika menghadapi laporan psikologi yang kubuat, yang berujung pada saran “menolak”. Biasanya, itu terjadi karena aku menyayangkan adanya potensi cerdas yang kurang didukung dengan sikap kerja yang baik, atau potensi cerdas yang karena kurang didukung kebiasaan belajar atau upaya pengembangan diri, potensinya menjadi tidak berkembang.
Contoh saja ya, ada seseorang yang cerdas secara intelektual. Dalam bekerja, ia cenderung bertindak “semau gue”, kalau suka dikerjakan, kalau tidak, ya, tidak dikerjakan. Tidak suka keteraturan. Selain itu, kurang memiliki daya tahan untuk bekerja hingga tuntas. Dengan begini saja, dikhawatirkan ia tidak selalu mampu memenuhi jadwal pekerjaan atau target. Keinginannya sangat besar untuk pamer atau unjuk kemampuan. Apabila melakukan kesalahan, ia tidak mudah mengakuinya. Sayangnya, ia juga sulit menyelami sudut pandang dan perasaan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana kontribusinya dalam tim? Bagaimana pula seandainya ia diplot sebagai pemimpin? 


Lantas, apakah para pelamar ini kemudian tahu tentang evaluasi kepribadiannya yang menyebabkan mereka tidak lolos seleksi? Ya, itu tadi, mereka tidak selalu mendapat kesempatan untuk mengetahuinya. Dengan berbekal ketidaktahuan, mereka mungkin tetap mengikuti tes seleksi di perusahaan yang lain, bermodal hafalan jawaban dari buku latihan psikotes yang sekarang sangat menjamur, yang tetap tidak mengubah cerminan kepribadiannya. Ketika suatu saat ia diterima bekerja, tak jarang muncul ketidakpuasan, misalnya, merasa pekerjaannya tidak sebanding dengan impiannya, atau menemukan kesulitan dalam beradaptasi, dan sebagainya. Mereka yang berhasil melalui kesulitan-kesulitan ini, tentulah karena beroleh kesempatan luar biasa untuk mengenali dan mengembangkan dirinya, berani menempa diri untuk menerima keadaan dan meningkatkan kemampuannya (menerima apa yang tidak mampu diubah dan mengubah apa yang mampu ia ubah).


Sampai sini, bagaimana kulanjutkan tulisan ini? Banyak harapan yang bermunculan terhadap lembaga yang mengeluarkan hasil pemeriksaan psikologis, terhadap para pelamar kerja, dan perusahaan. Tapi, akan lebih konkret untuk meniatkan diri bekerja dengan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab terhadap-Nya yang "menitipkan" persimpangan hidup mereka di jalanku. 

20 Desember 2014

belajar (1)

Sesekali mata G beradu pandang denganku. Ya, sebut saja namanya G. Ia laki-laki berusia 2 tahun 8 bulan. Sejak beberapa menit sebelum ini, ia hanya menciduk bubur kacang hijau dengan sendok yang dipegangnya. Ia menggenggamnya seperti kalau kita menggenggam batang sikat gigi untuk menyikat gigi. Belum tepat benar, tetapi untuk seusianya, genggamannya sudah baik dan kuat. Berkali-kali ia hanya mengangkat sendok berisi bubur hingga beberapa milimeter di atas mulut gelas lalu menuangkan isinya kembali ke dalam gelas plastik tersebut. Kadang sambil tetap mengangkatnya, ia menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan teman-temannya yang dengan lancar menyuapkan bubur kacang hijau itu ke dalam mulut mereka. Tidak ada satu kata yang terucap dari G. Ia hanya diam. Tiga orang guru yang mendampingi kesembilan anak itu juga tidak menyadari tingkah laku G.

05 September 2014

karena ada kasus Florence Sihombing

Kita tidak harus disukai oleh semua orang, betul? 
Semua orang tidak harus menyukai kita. Sepakat? 
Begitu pula sebuah kota tidak harus disukai oleh semua orang, bukan?

Kisah postingan Florence Sihombing di media sosial cukup membuat geger beberapa waktu lalu. Bahkan dituding menyinggung SARA oleh beberapa LSM. Padahal, di mana SARA-nya, ya? Ia tidak membawa-bawa suku, pun agama. Juga tidak mengangkat soal ras. Atau, apakah yang dimaksud adalah menyinggung golongan? Tidak juga rasanya, karena ia mewakili dirinya sendiri. Benar, ia dianggap menghina Jogja sebagai ekspresi kekesalannya. Di mata masyarakat, menghina dipandang sebagai tindakan yang salah. 

Akan tetapi, bentuk kekesalan dan sinismenya pada Kota Yogyakarta bukankah serupa dengan bentuk komplain seorang suami pada masakan istrinya yang hambar? Atau seorang teman yang mengatakan bahwa penampilan kita berantakan? Umm, atau pengunjung resto yang mengumpat-umpat karena pelayanan resto yang tidak memuaskan? Termasuk juga adik kita yang tanpa kendali melontarkan kata-kata pedas dan tak pantas untuk menumpahkan kekesalannya saat curhat pada kita? Kalau demikian, apakah kita –atau siapapun yang merasa tersinggung- lantas membangun tembok tinggi mengelilingi diri dan mengusir siapa saja yang menurut kita telah menghina diri kita? Lalu, kapan kita bisa bertumbuh jika tidak menerima kritik? Kapan sang istri bisa memasak masakan lezat jika menutup telinga terhadap pendapat suaminya? Kapan juga kita bisa berpenampilan pantas jika abai terhadap komentar dari orang yang memperhatikan kita? 

30 Oktober 2013

Dimanjakan teknologi?

“Ah…angkatan sekarang lebih manja dari angkatan gw”, ungkap  salah seorang senior. Oo… jadi orang muda sekarang, tuh, lebih manja, ya, dari generasi sebelumnya? Ets, jangan ge-er dulu, yang lebih senior belasan tahun ikut menimpali, “Angkatan kalian juga manja dibanding kami dulu.” Sepertinya, sampai angkatan kakek-nenek kita juga akan berkomentar senada, ya.

Sekarang ini, hampir semua kebutuhan memang bisa dipenuhi semudah menekan tombol. Apa masih ada resto yang tidak menyediakan delivery service? Bahkan warteg pun punya touch-screen, maksudnya kita tinggal menunjuk makanan yang dipilih dari lemari kaca pemilik warung. Segala informasi juga mudah diperoleh, cukup mengetikkan apa yang ingin diketahui di layar “mbah” Google. Berdagang pun bisa dilakukan dengan transaksi via telepon, SMS, e-mail, transfer uang, kemudian barang terkirim. Kalau generasi terdahulu butuh banyak kertas ketika mengetik berulang-ulang dengan mesin ketik, kita hanya perlu menekan tombol delete di komputer. Ya, benar sih, hampir segala hal menjadi lebih mudah.

26 April 2013

Jangan terburu-buru


Sekarang ini semua yang serba cepat dianggap lebih baik, lebih efisien. I hate slow, kata salah satu provider internet. Banyak orang tergesa-gesa, entah karena dikejar waktu, atau bisa apa saja. Apa kamu juga termasuk salah satu di antaranya? Kalau iya, untuk bahasan yang satu ini, yuk, jangan terburu-buru dulu.
Bahasan kali ini tentang organisasi. Barangkali tidak semua kelompok menamakan dirinya organisasi. Ada yang menyebut sebagai komunitas, kepanitiaan, dan sebagainya. Yang jelas, ketika minimal dua atau tiga orang berkumpul, mereka terlibat dalam dinamika yang membuat masing-masing dari mereka perlu menurunkan ego, “mendengarkan” kebutuhan orang lain, dan membangun kepercayaan. Apakah prosesnya mudah? Bisa ya, bisa tidak, dan biasanya tidak selalu mudah.

18 April 2013

Sebuah analogi

Membuka-buka folder lama dan menemukan tulisan lama, sebuah artikel yang saya buat lima tahun lalu, tertanggal 5 Januari 2008. Pada awal penulisannya, secara khusus artikel ini ditujukan kepada mahasiswa S1 Psikologi, tetapi tampaknya tulisan ini juga dapat dinikmati oleh pembaca yang tertarik dengan penelitian sosial. Maka, inilah dia.. Mari!


*****
Ada sebuah analogi, boleh ditebak analogi dari apa.

Fenomena dianalogikan seperti bola mengambang di udara dan Kamu punya beragam sarung tangan untuk menyentuhnya. Ada sarung tangan warna psikoanalisa, sarung tangan warna behavioristik, sarung tangan warna humanistik. Dari warna-warna itu, sarung tangannya beraneka macam lagi, ada sarung tangan cognitive theory, sarung tangan Piaget, sarung tangan Fishbein theory, sarung tangan Maslow, sarung tangan persepsi, sarung tangan fenomenologi, dan masih banyak lagi.

22 Januari 2013

Self-efficacy in learning



Alvin Toffler, an American writer and futurist, stated, “The illiterate of 21st century will not be those who can not read and write but those who cannot learn, unlearn, and relearn”. It is about the future human in information age. The Information Age, also commonly known as the Digital Age, is an idea that the current age will be characterized by the ability of individuals to transfer information freely, and to have instant access to information that would have been difficult or impossible to find previously. It is assumed that all people in the world are able to read and write. Ironically, in the present day we still face a number of illiterate. According to data from UNESCO’s Institute for Statistics (2011), 793 million adults –most of them girls and women- are illiterate.  Indonesia, and eight other countries (Bangladesh, Brazil, China, Egypt, India, Mexico, Nigeria, and Pakistan) are home to over two-thirds of the world’s adult illiterates and more than half the planet’s out-of-school children.
In West Java, Indonesia, specifically in Jatinangor, I found a group of 30-40 year old illiterate women who learned to read and write. Everyday after finishing their housework, they gathered at one member’s home and started the class. In another location, I found a group consists of young adults aged 18-21 who dropped out of high school. They dropped out because of lack of financial support. Then they continued to study in a non formal school, which free of charge, named Kejar Paket C (Study Group Package C) at PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat or community learning centre) Linuhung. Study Group Package C is a non-formal education program organized by Department of National Education Indonesia which equivalent to senior high school. Either the first group (illiterate women) or the second group (dropout students) is a group of learner, no matter how old they are. It is argued that they had something motivated them to learn, to achieve, to succeed. What kind of psychological state that underlies and affects the learning process?

Sekolah Ayah Edy



Kamis pagi pekan lalu (17/1) dengan rintik hujan yang kadang menjadi deras-gerimis-deras kembali, tak bisa dibedakan apakah itu pagi atau sore hari. Matahari tak tampak, semua warna berselimut kelabu. Di Jakarta tersiar berita bahwa hari itu menjadi hari cuti bersama karena banjir telah menjangkau pusat kota. Sebagian commuter dari Bogor turut merasakan dampaknya. Namun berita tersebut tidak berpengaruh banyak pada saya yang sedang libur semester, walaupun tetap saja terkejut menyadari banjir yang meluas pada hari-hari berikutnya.

Hari itu sebagaimana telah direncanakan dari satu minggu sebelumnya dan diniatkan sejak satu tahun sebelumnya –hehehe..sebegitu lamanya, ya-, saya berkunjung ke sekolah milik Ayah Edy, bernama STAR International. Sekolah ini merupakan prasekolah –meliputi childcare, playgroup, dan kindergarten- yang menerapkan kombinasi konsep internasional dalam sistem pendidikan dan program pembelajarannya, di antaranya multiple intelligence, holistic learning, character building, dan entrepreneurship.

28 Agustus 2012

Goede morgen Oma!

Merawat anak kecil menumbuhkan harapan. Setiap hari baru, setiap bulan baru, setiap kali ia menguasai suatu kemampuan baru, ada sukacita, kegembiraan, dan harapan, melihatnya semakin terampil, semakin sehat, semakin cerdas. 

Merawat lansia tak berbeda dengan merawat anak kecil, kecuali bahwa setiap tahun, setiap bulan, setiap hari menumbuhkan kewaspadaan, kekhawatiran, tentang kemampuan apa yang perlahan hilang. 

Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi dan berulang dari seorang balita menumbuhkan harapan dan keyakinan bahwa ia semakin pandai.

Menghadapi pertanyaan berulang dari seorang lansia menghadirkan kecemasan akan degradasi apa lagi yang kelak dialaminya.

15 Juli 2012

Bebas dari perasaan negatif & positif

“…jika Anda tidak mempunyai perasaan negatif, Anda dapat bertindak lebih efektif, jauh lebih efektif dibandingkan bila Anda dikuasai oleh perasaan negatif”(Anthony de Mello)
Membaca kalimat membuat saya bertanya-tanya. Apakah kalimat ini juga berlaku untuk perasaan positif? Maksudnya, bila membebaskan diri dari perasaan positif terhadap orang lain, apakah ini akan membuat tindakan lebih efektif, karena mungkin saja perasaan positif juga menimbulkan bias?

06 Juli 2012

Individualis vs Kolektivis di balik kesuksesanmu

Kesuksesan itu milik siapa?


Bertolak dari judul di atas, orang individualis akan mengatakan sukses itu miliknya. Ia sendiri yang mewujudkannya, tenaga, pikiran, waktu, materi, telah ia curahkan. Orang yang kolektivis mungkin akan mengatakan 'ah..saya sebetulnya tidak bisa apa-apa, itu karena A, si B, waktu C, ada D. Suksesnya tidak dirasakan sebagai milik sendiri. Kata teori, orang individualis melihat kepemilikan sebagai ekspresi dari identitas mereka. Pada orang kolektivis, kepemilikan lebih merupakan indikator identitas kelompok. Kelompok di sini bisa diartikan luas, mulai kelompok kecil pertemanan, keluarga, organisasi, budaya, serta situasi norma yang menyertainya.