26 April 2013

Jangan terburu-buru


Sekarang ini semua yang serba cepat dianggap lebih baik, lebih efisien. I hate slow, kata salah satu provider internet. Banyak orang tergesa-gesa, entah karena dikejar waktu, atau bisa apa saja. Apa kamu juga termasuk salah satu di antaranya? Kalau iya, untuk bahasan yang satu ini, yuk, jangan terburu-buru dulu.
Bahasan kali ini tentang organisasi. Barangkali tidak semua kelompok menamakan dirinya organisasi. Ada yang menyebut sebagai komunitas, kepanitiaan, dan sebagainya. Yang jelas, ketika minimal dua atau tiga orang berkumpul, mereka terlibat dalam dinamika yang membuat masing-masing dari mereka perlu menurunkan ego, “mendengarkan” kebutuhan orang lain, dan membangun kepercayaan. Apakah prosesnya mudah? Bisa ya, bisa tidak, dan biasanya tidak selalu mudah.
Ketika berkenalan dengan orang lain, apa, sih, yang paling cepat dilakukan pikiran kita? Membuat penilaian? Ya, rata-rata orang mengatakan seperti ini. Sadar atau tidak, ia mengamati kawan barunya dari rambut hingga kaki dan membuat penilaian, meskipun penilaiannya masih bersifat fisik, misalnya keren, kumal, menarik. Sebagian orang malah menambahkan kata “tetapi” dalam penilaiannya, misalnya begini, “Orangnya ramah, tapi selera bajunya kuno”. Lha?? Dweng dweng..apa hubungan ramah dengan selera baju? Haha..mungkin itu contoh yang agak ekstrim, ya, tapi jangan kaget bila itu memang terjadi di sekitar kita.


Jangan terburu-buru berpikir negatif
Seringkali kita melihat sisi negatif orang lain. Saya akui, benar adanya bahwa berpikir negatif itu jauh lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan berpikir positif. Sebagus apapun hasil kerja, rasanya kesalahan kecil masih bisa terlihat.
Suatu ketika ketua rapat mengundang seluruh anggota untuk menghadiri rapat pleno. Lewat setengah jam, yang datang baru sepertiga forum. Sang ketua mulai gelisah. Ia berpikir acaranya akan gagal karena bahkan anggotanya tidak berminat menghadiri rapat. Ia lupa bahwa di hadapannya sudah menunggu sepertiga dari jumlah anggotanya. Mereka inilah orang-orang yang berkomitmen, tapi “tak terlihat” oleh sang ketua. Perhatiannya tertuju pada apa yang tak ada, bukan apa yang ada. Tak heran bila ia diliputi kekecewaan.
Yap, pikiran negatif itu bersahabat dekat dengan kekecewaan. Kalau begitu, mengapa tidak berpikir positif saja?

Jangan terburu-buru menghakimi
Pernahkah bertemu orang yang hampir selalu melakukan pelanggaran, kemudian berjanji ingin berubah dan memperbaiki diri? Melihat kesungguhan hatinya, kita tergerak memberinya kesempatan. Tetapi, ketika ia melakukan kesalahan lagi, bagaimana sikap kita?
Seorang pria bergabung dalam komunitas mantan pecandu alkhohol*. Dalam komunitas ini, setiap mantan pecandu saling menguatkan dan berbagi pengalaman. Pria ini sempat menceritakan masa kelamnya dan tekadnya untuk berhenti “minum”. Tak berapa lama, ia mendapat musibah. Ia pergi ke bar, memesan segelas bir, tetapi selama tiga jam ia hanya memandangi gelas tersebut. Ia lalu memesan air mineral dan menelepon mentor komunitas untuk menceritakan masalahnya. Belum banyak bercerita, ketika mentor mengetahui pria ini berada di bar, ia langsung membentak karena dikiranya pria ini melanggar komitmen dan kembali minum minuman beralkohol. Serta merta mentor itu melontarkan kata-kata yang melukai perasaan, “Kamu bukan hanya pecandu alkohol, kamu pecandu masalah. Kamu selalu mencari masalah”. Bisa kamu bayangkan bagaimana perasaan pria tersebut?
Mungkin kita juga sering mendengar ucapan ini, “Kamu selalu bikin ulah!”, “Kerjaanmu ga pernah bener”, dsb. Manusia memang memiliki kelemahan, sering mengaitkan masa lalu ketika menilai seseorang, sehingga membuat penilaiannya bias. Membaca kisah di atas, kita tentu tahu bagaimana seharusnya mentor tersebut bersikap. Ya, ia hanya perlu menyediakan waktu untuk mendengarkan, bukan menghakimi.

*cuplikan film Changing Lanes

0 responses: