Sekarang ini semua yang serba cepat dianggap lebih baik,
lebih efisien. I hate slow, kata
salah satu provider internet. Banyak orang tergesa-gesa, entah karena dikejar
waktu, atau bisa apa saja. Apa kamu juga termasuk salah satu di antaranya?
Kalau iya, untuk bahasan yang satu ini, yuk,
jangan terburu-buru dulu.
Bahasan kali ini tentang
organisasi. Barangkali tidak semua kelompok menamakan dirinya organisasi.
Ada yang menyebut sebagai komunitas, kepanitiaan, dan sebagainya. Yang jelas,
ketika minimal dua atau tiga orang berkumpul, mereka terlibat dalam dinamika
yang membuat masing-masing dari mereka perlu menurunkan ego, “mendengarkan”
kebutuhan orang lain, dan membangun kepercayaan. Apakah prosesnya mudah? Bisa
ya, bisa tidak, dan biasanya tidak selalu mudah.
Ketika berkenalan dengan orang
lain, apa, sih, yang paling cepat dilakukan pikiran kita? Membuat penilaian?
Ya, rata-rata orang mengatakan seperti ini. Sadar atau tidak, ia mengamati
kawan barunya dari rambut hingga kaki dan membuat penilaian, meskipun
penilaiannya masih bersifat fisik, misalnya keren, kumal, menarik. Sebagian orang
malah menambahkan kata “tetapi” dalam penilaiannya, misalnya begini, “Orangnya
ramah, tapi selera bajunya kuno”. Lha??
Dweng dweng..apa hubungan ramah
dengan selera baju? Haha..mungkin itu contoh yang agak ekstrim, ya, tapi jangan
kaget bila itu memang terjadi di sekitar kita.
Jangan terburu-buru berpikir
negatif
Seringkali kita melihat sisi negatif orang lain. Saya akui,
benar adanya bahwa berpikir negatif itu jauh lebih mudah dan lebih cepat
dibandingkan berpikir positif. Sebagus apapun hasil kerja, rasanya kesalahan
kecil masih bisa terlihat.
Suatu ketika ketua rapat mengundang
seluruh anggota untuk menghadiri rapat pleno. Lewat setengah jam, yang datang
baru sepertiga forum. Sang ketua mulai gelisah. Ia berpikir acaranya akan gagal
karena bahkan anggotanya tidak berminat menghadiri rapat. Ia lupa bahwa di
hadapannya sudah menunggu sepertiga dari jumlah anggotanya. Mereka inilah
orang-orang yang berkomitmen, tapi “tak terlihat” oleh sang ketua. Perhatiannya
tertuju pada apa yang tak ada, bukan apa yang ada. Tak heran bila ia diliputi
kekecewaan.
Yap,
pikiran negatif itu bersahabat dekat dengan kekecewaan. Kalau begitu, mengapa
tidak berpikir positif saja?
Jangan terburu-buru
menghakimi
Pernahkah bertemu orang yang hampir selalu melakukan
pelanggaran, kemudian berjanji ingin berubah dan memperbaiki diri? Melihat
kesungguhan hatinya, kita tergerak memberinya kesempatan. Tetapi, ketika ia
melakukan kesalahan lagi, bagaimana sikap kita?
Seorang pria bergabung dalam
komunitas mantan pecandu alkhohol*. Dalam komunitas ini, setiap mantan pecandu
saling menguatkan dan berbagi pengalaman. Pria ini sempat menceritakan masa
kelamnya dan tekadnya untuk berhenti “minum”. Tak berapa lama, ia mendapat
musibah. Ia pergi ke bar, memesan segelas bir, tetapi selama tiga jam ia hanya
memandangi gelas tersebut. Ia lalu memesan air mineral dan menelepon mentor
komunitas untuk menceritakan masalahnya. Belum banyak bercerita, ketika mentor
mengetahui pria ini berada di bar, ia langsung membentak karena dikiranya pria
ini melanggar komitmen dan kembali minum minuman beralkohol. Serta merta mentor
itu melontarkan kata-kata yang melukai perasaan, “Kamu bukan hanya pecandu
alkohol, kamu pecandu masalah. Kamu selalu mencari masalah”. Bisa kamu
bayangkan bagaimana perasaan pria tersebut?
Mungkin kita juga sering mendengar
ucapan ini, “Kamu selalu bikin ulah!”, “Kerjaanmu
ga pernah bener”, dsb. Manusia memang memiliki kelemahan, sering mengaitkan
masa lalu ketika menilai seseorang, sehingga membuat penilaiannya bias. Membaca
kisah di atas, kita tentu tahu bagaimana seharusnya mentor tersebut bersikap. Ya,
ia hanya perlu menyediakan waktu untuk mendengarkan,
bukan menghakimi.
*cuplikan
film Changing Lanes
0 responses:
Posting Komentar