11 Maret 2015

Sunset


Menjumpai pemandangan matahari terbenam pada tujuh hari berturut-turut mengantarku pada sebuah pemahaman.

Apa bedanya, sunset di pantai dan di gunung? Tanyaku pada seorang sahabat, apakah beda, sunset di Pantai Triangulasi, Pantai Pulau Merah, dan Pantai Kuta? Apakah beda, sunset yang dipandang dari bumi dengan di atas awan?

Mengapa orang mengejar sunset di Kuta? Benar-benar harus memandangnya di Kuta, bukan di pantai selatan Jawa. Yang pernah kusaksikan, pemandangan langit senja kemerahan di atas Stasiun Bogor maupun di balik gedung perkantoran Jakarta juga tak kalah cantiknya.

Taman Nasional Baluran (dok.pribadi)

Taman Nasional Baluran (dok. pribadi)
Pantai Triangulasi, Taman Nasional Alas Purwo (dok. pribadi)

Pantai Pulau Merah (dok. pribadi)

Pantai Pulau Merah (dok. Awesome Trip)
Pantai Kuta (dok. pribadi)


Kudapati keindahan setiap tempat wisata yang menawarkan sunset tidak terpaku pada pemandangan matahari terbenamnya. Mataharinya toh tetap sama, namun pemandangannya tak pernah sama.

Ketika yang dinanti adalah sunset, yang indah justru semburat merah dari balik perbukitan karena mataharinya sendiri tertutup punggung bukit.

Ketika yang dinanti adalah sunset, yang menawarkan keindahan justru pemandangan langit setelahnya. Menunggu beberapa menit kemudian, yang terpampang adalah awan-awan bergulung kemerahan hingga ungu kebiruan.

Aku berani bertaruh, meski tempatnya masih sama, sunset esok hari menawarkan pemandangan lain yang berbeda. Awannya berbeda, warna langitnya berbeda, pantulan air lautnya berbeda. Ini baru dari segi visual. Belum lagi bila ditambah terik matahari, sepoi angin, deru ombak, dan sebagainya.

Seperti juga Taman Nasional Baluran yang katanya lebih eksotis pada pertengahan bulan Agustus, saat hampir semua tanaman berwarna kekuningan dan padang rumputnya menyerupai padang Afrika. Pemandangan ini tak akan ditemukan di TN Baluran pada bulan Februari yang memanjakan mata dengan rumput-rumput hijaunya.

Jadi, keindahan tempat wisata bukan hanya lokasi, tapi juga perihal waktu, ya? Kalau begitu, setiap tempat tak hanya menawarkan satu keindahan. Ia menawarkan 365 keindahan setiap tahun. Bahkan lebih banyak lagi bila memperhitungkan keindahan yang dikandung tiap menitnya.

Jika masih ada 364 keindahan yang belum teramati di satu tempat, mengapakah orang mencari tempat-tempat baru untuk dijelajahi? Mengapa mencari kecantikan lain di tempat-tempat lain? Sebatas pemenuhan checklist-kah? Mengatakan begini, bukan berarti aku tidak sepakat dengan para pengejar matahari di berbagai belahan bumi. Justru aku berterima kasih pada mereka yang menjadi cerminan motivasi untuk menjelajah dan mengapresiasi keindahan semesta.

Hanya saja, perlu kusadari sungguh perihal keindahan ini.
Agar aku tak lupa bahwa keindahannya sudah ada kini dan di sini.
Sebelum aku mencarinya ke tempat-tempat lain.

***


Pada setiap memandang sunset, juga semua pemandangan semesta yang kutemui, hati ini hanya bisa berujar terima kasih, terima kasih, terima kasih. 

07 Maret 2015

Semua bermula

Semula, tujuan liburan kami adalah Taman Nasional Baluran. Sebelum berangkat saja, destinasi kami sudah meluas hingga Bali. Apalagi di Banyuwangi, kami singgahi juga Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Sayangnya, belum ada yang memberi kami gelas cantik atau payung cantik karena melancong ke tiga taman nasional sekaligus.

Semula, hari pertama untuk wisata kota Surabaya. Lalu secara spontan –atau memang terencana? :p- kami bertolak ke Bengkalan, Madura dan mencicipi Bebek Sinjay yang fenomenal itu. Perubahan spontan –atau impulsif?- ini tak berhenti di sini. Masih dengan sisa-sisa kesadaran setelah hampir 24 jam tidak tidur, kami mendapat tawaran dari pemandu kami untuk menjelajah Teluk Hijau dan Pulau Merah. Yap, jadwal dan rute perjalanan yang sudah kami buat serapih bikinan agen perjalanan wisata, kami tinggalkan, dan membiarkan diri kami dipandu oleh perjalanan itu sendiri.