Semula, tujuan liburan kami
adalah Taman Nasional Baluran. Sebelum berangkat saja, destinasi kami sudah
meluas hingga Bali. Apalagi di Banyuwangi, kami singgahi juga Taman Nasional
Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Sayangnya, belum ada yang memberi
kami gelas cantik atau payung cantik karena melancong ke tiga taman nasional
sekaligus.
Semula, hari pertama untuk
wisata kota Surabaya. Lalu secara spontan –atau memang terencana? :p- kami
bertolak ke Bengkalan, Madura dan mencicipi Bebek Sinjay yang fenomenal itu.
Perubahan spontan –atau impulsif?- ini tak berhenti di sini. Masih dengan
sisa-sisa kesadaran setelah hampir 24 jam tidak tidur, kami mendapat tawaran
dari pemandu kami untuk menjelajah Teluk Hijau dan Pulau Merah. Yap, jadwal dan
rute perjalanan yang sudah kami buat serapih bikinan agen perjalanan wisata,
kami tinggalkan, dan membiarkan diri kami dipandu oleh perjalanan itu sendiri.
Bicara soal meninggalkan
dan melepaskan… tak semua hal mudah untuk dilepas. Namun, yang sudah pergi
memang sebaiknya dilepas, ya.. Seperti balon-balon yang hanyut di parit sawah.
Seperti juga ratusan foto di memory card
yang terpaksa lenyap. Seperti juga huruf-huruf di pantai yang tersapu air laut.
Ups, ini belumlah akhir dari tulisan, belum sampai pada tema-tema berpisah, move on, dan sejenisnya, kok.
Oke, kembali lagi.
Semula, perjalanan ini
untuk refreshing. Ya, kami bermain
sepanjang waktu. Apapun bisa menjadi permainan. Permainan jari, kartu, lagu, tebak-tebakan,
juga lempar tangkap tisue di ruang tunggu bandara. Ah ya, bahkan mempertanyakan
mengapa di sosmed ada banyak ekspresi tertawa (“hahaha, wkwkw, bhahaha, hihihi,
nyiahaha, bwakaka, muahaha”, dsb) bisa jadi bahan tertawaan di sela-sela kemacetan
perjalanan kami. Tak hanya permainan iseng-iseng seperti disebutkan tadi, coba
perhatikan paragraf berikut ini.
Semula, kami hanya ingin
memandangi Danau Beratan dalam rintik-rintik hujan. Ternyata, jas hujan dan
rintik yang menderas mengundang kami untuk melakukan shooting gambar di sana. Tersebutlah seorang reporter Awesome Tvchannel,
cameragirl, produser, kru TV, dan seorang yang menyamar sebagai warga setempat,
memeragakan reportase suasana banjir di danau yang memang terendam air,
tentunya. Nah, itu baru satu drama. Tak terhitung berapa banyak drama yang kami
buat selama perjalanan ini.
Umm, bukan cuma drama
sih.. Ada pula kisah heroik penyelamatan ulat bulu dan pemotretan bayi ular
yang imut (*hoeekk).
Bukan juga cuma drama, kami
benar-benar merekam setiap tempat yang kami singgahi bersama host dan co-host
paling hits…di kelompok trip kami. Kok kelompok ya bahasanya…berasa tugas
kuliah. Tapi jangan samakan perjalanan kami dengan karyawisata atau darmawisata
setingkat pelajar. Tingkatannya masih ga jauh-jauh dari level mahasiswa kok.
Ups..
Sudah terbayang, kan,
bahwa semula, perjalanan ini adalah liburan. Tapi, di tengah perjalanan
berkembang menjadi semacam ospek militer. Tak disangka, kami dilepas begitu
saja oleh pemandu kami, yang mantan marinir, untuk menjelajah Goa Istana dan Goa Mayangkoro di Taman
Nasional Alas Purwo. Goa yang untuk mencapainya saja perlu mendaki dan menaiki
tangga vertikal 90 derajat! Pagi harinya kami baru saja mendaki Kawah Ijen. Dan
esoknya kami ditantang menembus bukit demi rute tercepat mencapai Teluk Hijau.
Rute tercepat ini, konon, baru dibuat satu bulan yang lalu, sehingga pemandu
kami masih harus membuka jalan dengan memangkas pohon-pohon yang menghadang
ataupun memadatkan tanah sebagai pijakan. Tak heran jika kami malah ingin libur
dari jadwal liburan ini. Liburan bisa sedemikian menekan.. OMG!
Semula, kami bertekad
melihat bule eh blue fire di Kawah Ijen. Sayangnya, gate baru dibuka pukul 3 subuh padahal kami sudah menunggu dari jam
1 dini hari. Tampaknya kami rombongan pertama yang masuk, tapi kami biarkan
saja beberapa rombongan mendahului kami. Demi janji bersama bersepuluh, blue
fire tak lagi penting. Selain itu, kami juga membiarkan paru-paru berfungsi dengan
nyaman, tidak memaksanya terlalu berat bekerja. Di atas sana, toh kami masih
bisa menjumpai matahari terbit. Dan tak ada yang lebih menyenangkan daripada
menyelesaikan perjalanan bersama-sama, bukan?
Semula, kami tak saling
kenal. Sampai-sampai ada yang perlu membaca tentang background pendidikan agar
bisa membuka percakapan. Tapi dalam dua hari saja rasanya kami sudah berebut
saling mencela dan menertawakan.
Semula, kami dijanjikan
mendapat rumah tinggal atau homestay.
Nyatanya, ada perubahan. Kami pun tumplek blek di satu rumah. Biarpun tak bisa
berbalik ke kiri dan kanan, asal badan bisa lurus terebah masih lebih baik
ketimbang lutut dan leher tertekuk di jok mobil.
Semula, perjalanan ini bertajuk
“Lovemission trip to Baluran”. Ya, cinta juga hadir menemani perjalanan kami.
Cinta mewujud dalam ungkapan, “Apakah demamnya sudah turun?”; “Mau dipesankan
makanan apa?” Dalam jawaban sambil terkantuk-kantuk, “Bilang aja kalau mau ke
toilet, nanti aku anterin” Juga genggaman hangat peredam dinginnya jari-jemari.
Semula perjalanan ini
dimaknakan sebagai perjalanan pribadi, tapi lalu membuka kemungkinan tak
berbatas dari dalam diri. Sama banyaknya dengan kemungkinan tak terduga dari
yang “semula” menjadi yang “kemudian”.
Hidup memberi pilihan,
untuk dihidupi sepenuhnya, sebagian, seperempat bagian, dan berapa pun bagian
yang mau kaupilih. Kalau boleh memberi saran, hiduplah sepenuhnya dan sambut
semua kemungkinan.
(tulisan ini belum rampung, masih akan
berkembang, masih terbuka berbagai kemungkinan rangkaian cerita)
Bogor, 7 Maret 2015
0 responses:
Posting Komentar