Tampilkan postingan dengan label self. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label self. Tampilkan semua postingan

02 Februari 2020

menjadi kakak untuknya


Saya tidak menganggap diri saya sebagai kakak yang baik dan ideal. Ada tahun-tahun saat saya meninggalkan rumah untuk berkuliah di luar kota dan tidak hadir mendampingi adik-adik saya yang bertumbuh remaja. Lebih jauh lagi, meskipun ingatan masa balita saya pastinya samar-samar, rasanya saya juga tidak hadir intens pada bulan-bulan dan tahun pertama kelahiran adik saya. Pada waktu itu saya tinggal di rumah nenek. Kemudian masa kecil kami diisi dengan bermain bersama, pun bertengkar, berteriak, dan memukul. Tentu seiring usia, ada masa-masa kami membahas masalah, lalu saya yang mengambil peran menasehati karena disuruh orang tua, atau karena lambat laun menganggap itulah tugas kakak dan sebatas itulah pemahaman saya mengenai peran kakak pada waktu itu. 

Sebagai sulung, tidak ada role model secara langsung tentang menjadi kakak. Trial and error. Atau, trial and enough, saya menyingkir, membatasi diri, mengurus diri masing-masing saja kalau merasa semakin sulit menghadapi adik. Bukankah pola komunikasi pastinya berubah menyesuaikan dengan perkembangan pribadi? Gaya bicara pada adik yang masih anak-anak dengan adik yang remaja akhir tentunya berbeda. Nah pada masa-masa itu, menjadi individualis adalah perlindungan yang aman bagi kami masing-masing. Tidak banyak cerita yang dipertukarkan, momen adik kakak berkegiatan bareng setiap tahunnya bisa dihitung dengan jari. Segala sesuatu berjalan wajar, hingga saya menyadari bahwa kami sudah memasuki usia dewasa dan memulai kehidupan masing-masing. Seperti ada nada-nada penyesalan memang, tapi tidak bisa mengulangnya lagi, kan. Selanjutnya relasi saya dan adik-adik berlangsung baik dan berjarak, selama kami menjaga dan menahan diri untuk tidak menyinggung satu sama lain. Kalaupun hal itu sampai terjadi, biasanya berujung konflik saja.

Belum lama ini saya mengetahui bahwa adik saya membeli lemari dinding dan ia berencana memanggil teknisi untuk merakit dan memasangnya. Buru-buru saya mengusulkan diri untuk membantu merakitnya, karena menurut saya pekerjaan itu bisa dilakukan sendiri dengan mengikuti buku panduan dan prosesnya sungguh menyenangkan, seperti bermain puzzle atau lego. Sejak saat mengajukan diri itulah saya sudah meniatkan untuk melakukannya bersama-sama, menjalankan peran saya sebagai kakak yang mendampingi proses belajarnya.  Harapan saya ialah menghadirkan kepuasan yang ia rasakan ketika berhasil membuat sendiri, menghadirkan perasaan mampu yang menumbuhkan kebanggaan dalam diri, juga menunjukkan bahwa proses do it yourself ini seru dan menyenangkan.

Niatan ini membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Saya yang antusias dan penasaran mengamati petunjuk-petunjuk pada buku panduan serta ingin langsung mencobanya, perlu menahan diri untuk tidak melakukannya. Meskipun mungkin ia akan setuju saja jika saya langsung merakitnya, saya merasa perlu menghormatinya sebagai pemilik barang ini untuk mengetahui seluk beluk kepunyaannya. Bahkan saya ingin menunjukkan padanya sejak halaman pertama buku petunjuk.

Setiap petunjuk dari buku panduan sangat detil dan bertahap, membuat saya berkomentar bahwa orang awam pasti bisa mengikutinya. Hingga kemudian kami menemui kesulitan. Salah satu papan tidak bisa menempel rapat, seperti berjungkit. Saya mulai cemas karena jangan-jangan akan terpikir olehnya bahwa lebih baik memanggil teknisi jika sulit begini, dan ini baru pertama kalinya kami melakukan perakitan bersama. Kami mencoba berkali-kali, membongkar dan membaca lagi, hingga akhirnya ketemu sumber masalahnya. Gara-gara kami berinisiatif memasang duluan sepasang mur yang lain padahal belum diinstruksikan. Betapa semua tahap sudah sedemikian dipikirkan oleh pembuat panduan, dan momen ini menjadi contoh nyata untuk memperhatikan setiap instruksi dan saran yang sudah tersedia, karena pasti akan ada solusinya.

Selama pengerjaan, beberapa kali prosesnya terjeda karena ia perlu mengurus beberapa hal yang mendesak. Saya pun sengaja menghentikan perakitan juga dan daripada menganggur, saya membaca buku panduan hingga tiga-empat langkah setelahnya, juga mencoba-coba sendiri kemudian melepasnya lagi. Anda yang kenal saya pasti paham antusiasme saya mengulik sesuatu, yang kali ini perlu diredam.

Pernah satu kali ia tidak paham dengan petunjuknya, sehingga saya jelaskan kembali secara bertahap dan memvisualisasikannya, kemudian memintanya mencoba sendiri agar terbayang. Setelah yakin bahwa ia mengerti, baru kami beralih pada tahap berikutnya. Kendati demikian, ada tahap yang belum bisa dilakukan malam itu, namun secara umum perakitan sudah selesai.

Beberapa hari kemudian ia sampaikan bahwa pemasangan sudah tuntas dan ia bisa melakukannya sendiri. Dalam pesan tertulis ia sampaikan bahwa ia mendapat pelajaran baru, bahwa tidak semua hal harus bergantung pada orang lain dan selama bisa dikerjakan sendiri maka dikerjakan sendiri. Pemahaman ini, yang di luar ekspektasi saya, membuat saya bersyukur sekali untuk proses yang diupayakan agar terjadi, menghadirkan peran kakak yang mendampingi pengalaman belajarnya. 

Beberapa hari lalu ia berulang tahun. Selamat bertambah usia, Win. Selamat menikmati proses mendewasa. Terima kasih untuk mau belajar bersama. 


30 Oktober 2013

Kualitas dari sebuah proses

Pecinta kuliner sering menggunakan ungkapan “cita rasa”. Apa artinya, hanya pecinta kuliner yang tahu. Kalau begitu saya akan bertanya. Apa yang membuat sebuah roti bisa mempunyai rasa yang begitu enak? Kita tahu ada banyak jenis roti. Ada roti gandum yang biasanya berwarna kecokelatan (brown bread), roti tawar (toast bread), roti Prancis (baguette), roti Italia yang biasa diolah menjadi pizza, dan berbagai jenis roti lainnya. Selain itu, di Jerman, terdapat roti tradisional Jerman (brotchen) yang baru-baru ini diajukan ke UNESCO agar menjadi warisan budaya. 

Sejak jaman Mesir kuno hingga masa sekarang, roti dibuat dari adonan tepung. Ada yang menggunakan ragi, ada yang tidak. Yang pasti, adonan itu mengalami proses diaduk, ditekan, digiling, digulung, diregangkan, dan ditekan kembali. Cita rasa setiap roti menjadikannya berbeda dibandingkan roti-roti lainnya. Anda yang pernah menonton “Bread, Dream, and Loves”, yang menjadi Drama Korea Terbaik 2010, mungkin langsung membayangkan gambaran roti lezat yang dipuja-puja dalam kisah film tersebut. 

Kalau begitu, bisakah Anda bayangkan bagaimana bentuk roti bila adonan tepung hanya diaduk kemudian didiamkan? Oke, barangkali adonan tetap mengembang menjadi roti karena telah diberi ragi, tetapi roti yang dihasilkan pasti kurang enak karena tidak lembut. Apa sebab? Adonan tepung tidak lentur karena tidak digiling, ditekan, diremas, bahkan bila perlu, dibanting di atas meja dapur. Ya, itulah proses. Itulah yang menjadikan suatu masakan memiliki cita rasa. Itulah yang menjadikan seseorang memiliki kualitas. Kita pun seperti adonan itu.

image: www.savorsa.com


Bahan yang ditambahkan kepada kita bisa bermacam-macam. Jika adonan roti ditambahkan filling cokelat, kismis, mentega, kita pun menerima asupan bahan, baik itu berupa pengetahuan atau didikan. Setelah mendapat asupan, justru proses tempaan, yang menciptakan kualitas diri kita, baru dimulai. Tidak selalu proses yang mudah, cepat, dan nyaman. Kadang perlu melewati kegagalan, penyesalan, makian, cercaan, rasa sakit, lelah dan peluh, dan sebagainya. Otot kesabaran kita kadang perlu diregangkan sepanjang-panjangnya. Motivasi kita perlu dipecut sekeras-kerasnya. Hati benar-benar diremas dengan berbagai emosi. Tetapi, tenang, kawan, semuanya itu tidak sia-sia. Bahkan menurut saya, kita perlu bersyukur bila mengalaminya. Bayangkan sebuah ember berisi air dan sebuah danau. Ketika sebuah batu kecil dilemparkan ke dalam ember, air melonjak bahkan tumpah keluar. Ketika batu itu dilemparkan ke danau, air hanya beriak kecil. Apa yang berbeda? Permukaan airnya. Ketika kita memiliki hati yang demikian luas, cemoohan yang sebelumnya membuat sakit hati, kini tidak berarti apa-apa. Bagaimana permukaan hati kita bisa bertambah luas? Jawabannya ada pada setiap pengalaman dan proses yang kita jalani, yang mematangkan diri kita.

Kadang, memang muncul pilihan cara yang lebih instan. Lalu, mengapa tidak dipilih saja? Masalahnya, cara yang instan tidak selalu menambah kualitas diri kita. Kita memang memperoleh “hasil”, tujuan kita, dan barangkali juga menghemat waktu. Akan tetapi, ketika memilih proses, tidak hanya “hasil” yang kita peroleh, tetapi kita memperoleh bonus “kualitas”.

Kadang saya merasa, pengalaman merupakan anugerah yang langka. Saya pernah melakukan perjalanan dari ujung ke ujung rel kereta api demi menyelamatkan sebuah map berisi berkas penting. Dalam waktu 4,5 jam saya bolak-balik stasiun –tentunya dengan menumpang kereta-, dari Bogor ke Jakartakota, Manggarai, lalu Jatinegara. Saya anggap perjalanan itu seperti amazing race. Benar-benar dikejar waktu dengan berbagai campuran emosi. Singkat cerita, map yang tertinggal di Stasiun Bogor pada hari sebelumnya dan menurut petugas stasiun mustahil ditemukan, ternyata terbawa kereta dan akhirnya berhasil ditemukan di Stasiun Jatinegara, ±55 km dari Bogor. Penemuan itu semata-mata karena berkat-Nya. Terlepas dari “hasil” yang saya dapat, pengalaman itu menempa satu kualitas dalam diri saya. Begini, sejak awal kehilangan, saya sudah yakin akan menemukan map itu kembali. Akan tetapi intuisi saya mengatakan bahwa saya perlu melalui proses ini, terutama perasaan panik sepanik-paniknya. Sempat saya bertanya dalam hati, untuk apa perlu merasakan semua ini? Muncul pula jawaban, agar saya bisa memahami bagaimana rasanya orang-orang yang mengalami situasi panik dengan intensitas serupa. Kelak pemahaman ini akan berguna dalam lingkup pekerjaan saya di bidang psikologi.

Anda sendiri pasti memiliki anugerah pengalaman masing-masing, yang dengan atau tanpa sadar, telah membentuk kualitas diri Anda. Kita yang merasa belum menemukan kualitas diri, tidak perlu khawatir. Adik-adik SMA yang masih mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, nikmatilah proses melenturkan adonan mentalitasmu. Ketika belajar dengan sungguh-sungguh, kamu tidak hanya mempersiapkan kesuksesan tetapi juga mentalitas diri yang semakin berkualitas.

Seorang kawan pernah bercerita, ada seorang pemuda mendatangi guru beladiri. Ia minta kepada guru itu agar bisa menjadi orang bertubuh kuat. Usia pemuda itu 16 tahun, tetapi penampilannya tidak berbeda dengan anak 14 tahun karena tubuhnya kurus kecil. Guru tersebut memberinya tugas membelah dan mengangkut kayu setiap hari. Enam bulan lamanya pemuda itu hanya membelah kayu. Karena bosan tidak pernah berlatih beladiri, ia protes kepada gurunya. Guru itu menjawab, “Saat kau datang menemuiku, kamu minta agar dilatih menjadi orang bertubuh kuat. Kini, lihat otot tubuhmu yang besar dan kuat karena berlatih setiap hari. Kamu sudah mendapatkan yang kamu minta.” Kita pun demikian, sering meminta kepada Tuhan, tetapi sering pula merasa bosan dengan prosesnya. Padahal, kita sedang dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari yang kita minta. Nikmati prosesnya, Tuhan bersamamu :)


12 Juli 2013

Masih takut gagal?

Pernahkah kamu mengalami kegagalan? Bagaimana rasanya? Remuk. Hancur. Berat. Ada lagi? Sedih, marah, frustrasi? Ingin memutar waktu dan melakukannya sekali lagi dengan lebih baik?

Kegagalan terasa lebih berat ketika kendali terbesarnya ada pada diri kita, benar atau tidak? Kalau kendalinya fifty-fifty dengan hal di luar kita, biasanya kegagalan lebih bisa diterima walau tetap menyesakkan hati juga. Misalnya, ketika gagal ujian seleksi masuk universitas yang diharapkan atau gagal mendapat pekerjaan, kendali kita tidak begitu besar, bukan? Kita sudah mengerjakan tes dengan sebaik-baiknya, tetapi ternyata kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan tidak sesuai dengan diri kita, atau kuota kelas di jurusan yang kita inginkan sudah penuh. Akan tetapi, ketika menghadapi ujian akhir semester, membawakan presentasi, mengikuti perlombaan, menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan, atau contoh lain yang pernah kamu alami, berhasil atau gagalnya sangat ditentukan oleh usaha yang kita kerahkan. Kita yang pegang kendali. Kita yang bertanggung jawab. Maka, ketika mengalami kegagalan, biasanya lebih terasa ‘sakit’-nya.

Menyikapi kesalahan

Berbuat salah itu lumrah. Apa yang kamu lakukan jika berbuat salah?
  •          Menutupinya agar tidak diketahui orang lain
  •          Mengakuinya
  •          Melupakannya
  •          Berbohong
  •          Kabur
  •          Melemparkan kesalahan pada orang lain
  •          Mencari tahu penyebabnya dan memperbaikinya
  •     atau yang lainnya?

Ada banyak cara yang biasa kita lakukan dalam menyikapi kesalahan. Kesalahan itu sendiri ada banyak macamnya. Kesalahan yang disengaja dan tidak disengaja. Kesalahan sepele hingga kesalahan yang merusak, bahkan menyangkut nyawa. Kesalahan terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri. Kesalahan yang mengandung hukuman dan yang bisa diabaikan. Tetapi, ada pula kesalahan yang membuatmu ingin menghilang ditelan bumi. Coba kamu ingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukan. Bagaimana perasaanmu saat dan setelah melakukannya?

09 Mei 2013

Memperjuangkan ide


Memperjuangkan ide. Bukan, lebih dari itu. Memperjuangkan nilai keadilan. Ini bukan soal uang, bukan juga soal pengakuan semata.



Saya teringat obrolan dalam salah satu grup social media antarteman-kuliah belum lama ini. Kami pernah membahas tentang pencurian ide yang terjadi di tempat kerja. Topik ini memang bukan topik baru yang sedang tren. Topik ini seklasik masalah-masalah yang dijumpai dalam dunia kerja pada umumnya. Rekan kerja mencuri ide, atasan mengambil ide bawahan sebagai miliknya, dan sebagainya.


Boleh dibilang, saya pernah mengalaminya juga. Perlu saya sampaikan di awal bahwa penilaian tentang ‘ide saya diambil’ bisa saja subjektif. Maksudnya, mungkin itu hanya perasaan saya saja. Hanya dugaan. Tapi justru karena subyektivitas itulah, saya mengangkatnya dalam tulisan ini dengan maksud menyampaikan beragam perspektif mengenai topik ini.

26 April 2013

Jangan terburu-buru


Sekarang ini semua yang serba cepat dianggap lebih baik, lebih efisien. I hate slow, kata salah satu provider internet. Banyak orang tergesa-gesa, entah karena dikejar waktu, atau bisa apa saja. Apa kamu juga termasuk salah satu di antaranya? Kalau iya, untuk bahasan yang satu ini, yuk, jangan terburu-buru dulu.
Bahasan kali ini tentang organisasi. Barangkali tidak semua kelompok menamakan dirinya organisasi. Ada yang menyebut sebagai komunitas, kepanitiaan, dan sebagainya. Yang jelas, ketika minimal dua atau tiga orang berkumpul, mereka terlibat dalam dinamika yang membuat masing-masing dari mereka perlu menurunkan ego, “mendengarkan” kebutuhan orang lain, dan membangun kepercayaan. Apakah prosesnya mudah? Bisa ya, bisa tidak, dan biasanya tidak selalu mudah.

28 September 2012

Berkompetisi dengan diri sendiri



Satu bulan terakhir ini kita mendengar sedikitnya dua berita berlabel SARA. Yang gemar berselancar di dunia maya pasti pernah mendengar tentang film Innocence of Muslims, atau bahkan pernah melihat cuplikan filmnya via youtube. Menurut berita, film ini menimbulkan pertentangan di berbagai negara, berwujud aksi protes dan bom bunuh diri yang menewaskan sejumlah warga masyarakat termasuk seorang duta besar AS di Libya. Pada skala lokal, pilkada DKI -pemilihan gubernur & calon gubernur DKI Jakarta- yang berlangsung belum lama ini pun “diramaikan” isu SARA menyangkut identitas calon-calonnya.

27 Agustus 2012

Apa idemu?

Ketika diminta mengajukan ide, manakah yang sesuai dengan dirimu? Spontan melontarkan ide yang terlintas. Menerawang ke langit-langit lalu mencari-cari ide hingga ke sudutnya. Atau, menyimpan ide itu sambil bertanya dalam benak...kasih tau ga, yaa?? Haha..mungkin kamu tertawa membaca respon ini.

Kadangkala kita dihadapkan pada pilihan untuk berbagi atau menyembunyikan apa yang dimiliki. Bisa jadi kita berpikir bahwa berbagi dapat merugikan. Terlebih soal ide kreatif. Jangan sampai orang lain menjiplak atau mengakui ide kita sebagai karyanya. Jangan sampai orang lain lebih hebat daripada kita. Lantas kita memutuskan tidak memberikan ide yang dibutuhkan. Lah, tapi kalau ide itu disimpan diam-diam, apa manfaatnya?

Sekarang mari kita bayangkan dunia yang penuh dengan orang-orang hebat. Semua kemampuan hebat tersedia pada suatu masa. Kejeniusan Albert Einstein, kemahiran basket Michael Jordan, kreativitas J.K.Rowling, bahkan kecanggihan teknologi Iron Man, dan setiap kehebatan lain yang mungkin ada yang dimiliki masing-masing orang. Tiap orang dengan kehebatan khasnya sendiri. Bahkan kehebatan fiktif bisa saja menjadi nyata dalam imajinasi kisah ini. Kemudian semua tokoh hebat dikumpulkan dalam konferensi besar untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi bumi. Akankah mereka menyimpan ide kreatif masing-masing atau justru membagikannya?

15 Agustus 2012

Personal mastery

When we talk about knowledge management (KM), we cannot ignore the concept of learning organization. Yes, organizational learning is complementary to KM.

This followed article was taken from “The Fifth Discipline –The art and practice of the learning organization”, a bestselling book written by Peter M. Senge (1990). To transform an organization into a learning organization, we have to integrate five main disciplines:  personal mastery, systems thinking, mental models, shared vision and team learning. Personal mastery is the foundation on which organizational learning is built. This article is devoted to the first discipline, personal mastery, also personal vision, that has fascinated me a lot. 

Personal mastery is the discipline of personal growth and learning. People with high levels of personal mastery are continually expanding their ability to create the results in life they truly seek. From their quest for continual learning comes the spirit of the learning organization. (p.141)

15 Juli 2012

Siapalah saya?

Lima tahun lalu pada sebuah pelatihan pengembangan diri, saya tertampar oleh pernyataan seorang fasilitator, “Jika kamu memandang rendah dirimu, itu sama saja dengan merendahkan Tuhan Penciptamu.” Sama halnya pula ketika kamu tidak memberikan usaha terbaikmu.

Saya lalu ingin bertanya, “Pernahkah kamu menolak ketika dipilih menjadi ketua/penanggung jawab karena kamu merasa tidak pantas? Atau merasa tidak sanggup karena
tidak berpengalaman? Pernahkah juga merasa tidak cukup pandai untuk mengajukan saran/ide dalam rapat? Apa kamu pernah merasa minder karena tidak cukup cantik/tampan/menarik? Pernahkah berhenti berusaha di tengah jalan karena tidak yakin berhasil? Atau malah mengerahkan usaha yang setengah-setengah? Pernahkah kamu ragu untuk memiliki cita-cita besar?” Dan masih ada sederet pertanyaan yang bisa kamu tambahkan. Nah, pertanyaannya, mengapa? Mengapa kita meragukan kemampuan diri sendiri?


Bebas dari perasaan negatif & positif

“…jika Anda tidak mempunyai perasaan negatif, Anda dapat bertindak lebih efektif, jauh lebih efektif dibandingkan bila Anda dikuasai oleh perasaan negatif”(Anthony de Mello)
Membaca kalimat membuat saya bertanya-tanya. Apakah kalimat ini juga berlaku untuk perasaan positif? Maksudnya, bila membebaskan diri dari perasaan positif terhadap orang lain, apakah ini akan membuat tindakan lebih efektif, karena mungkin saja perasaan positif juga menimbulkan bias?

06 Juli 2012

Individualis vs Kolektivis di balik kesuksesanmu

Kesuksesan itu milik siapa?


Bertolak dari judul di atas, orang individualis akan mengatakan sukses itu miliknya. Ia sendiri yang mewujudkannya, tenaga, pikiran, waktu, materi, telah ia curahkan. Orang yang kolektivis mungkin akan mengatakan 'ah..saya sebetulnya tidak bisa apa-apa, itu karena A, si B, waktu C, ada D. Suksesnya tidak dirasakan sebagai milik sendiri. Kata teori, orang individualis melihat kepemilikan sebagai ekspresi dari identitas mereka. Pada orang kolektivis, kepemilikan lebih merupakan indikator identitas kelompok. Kelompok di sini bisa diartikan luas, mulai kelompok kecil pertemanan, keluarga, organisasi, budaya, serta situasi norma yang menyertainya.