10 Mei 2025

Tepatkah Kita Memandang Siswa Bermasalah?

Meniti jalan panjang pendidikan di Indonesia dan kita tidak benar-benar yakin apakah selama ini berjalan mendekati tujuan, memutar, atau sedang diam di tempat karena bingung melangkah. Seperti berada di dalam rombongan perjalanan, yang di dalamnya ada banyak pemandu, pengamat, dan kritikus. Banyak saran dan usulan tentang jalan yang perlu dipilih, sementara inisiator langsung mengambil tindakan, untuk nantinya dievaluasi dan dikaji ulang. Begitu terus. Berbagai kebijakan muncul dan berganti, sebagai bagian dari proses mencari bentuk yang paling tepat. Hanya dengan kejernihan dalam mengamati, barulah permasalahan bisa dipandang dan disikapi dengan benar.

Menyikapi siswa yang memiliki masalah perilaku, apakah kita sudah mengamatinya dengan jernih? Masalah perilaku siswa meliputi perilaku tidak disiplin, perilaku mengganggu kegiatan belajar, mengganggu teman, menantang guru, merusak fasilitas sekolah, mengganggu masyarakat, yang dalam kadar tertentu bisa termasuk ke dalam gangguan perilaku (conduct disorder). Siswa dianggap berulah dan sulit dibina.

Masalah Perilaku dan Kesulitan Belajar

Siswa yang memiliki masalah perilaku pada umumnya memiliki riwayat kesulitan belajar yang tidak tertangani dengan baik. Studi kepustakaan oleh Gabriel dan Börnert-Ringleb (2023) terhadap ribuan artikel penelitian dalam 25 tahun terakhir menunjukkan bahwa masalah perilaku siswa berhubungan dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar yang dimaksud dapat didasari kesulitan spesifik membaca, menulis, menghitung, dan kesulitan dalam hal atensi atau rentang perhatian (ADHD), yang mengakibatkan siswa tidak mampu menunjukkan performa belajar yang diharapkan. Masalah emosi dan sosial turut mendasari kesulitan siswa dalam belajar, dan dinamikanya seperti siklus. Siswa yang kendala belajarnya tidak teratasi cenderung mengalami frustrasi. Konsekuensi dari rasa frustrasi ini dapat diekspresikan dalam bentuk kecemasan ke dalam diri, atau sebaliknya, mencari penyaluran ke luar diri untuk melimpahkan beban emosionalnya atau untuk memperoleh pengakuan yang dibutuhkannya. Tidak menampilkan performa belajar kemudian menampilkan masalah perilaku, atau memiliki masalah perilaku sehingga tidak menampilkan performa belajar. Dinamikanya tidak selalu seperti ini, tetapi kondisi ini kerap dijumpai dalam sesi-sesi konsultasi psikologi bersama siswa.

Apakah performa belajar sedemikian penting bagi siswa, sampai-sampai jika tidak berhasil maka siswa jadi berulah? Ini bukan semata-mata tentang hasil prestasi belajarnya, tetapi tentang membangun perasaan bahwa dirinya baik dan mampu. Inilah krisis perkembangan psikososial pada anak berusia 6-12 tahun, antara membangun kompetensi dan merasa percaya diri, atau sebaliknya, menjadi tidak kompeten dan merasa rendah diri. Sementara pada remaja, atau usia 12-18 tahun, krisisnya adalah antara membangun identitas diri versus kebingungan jati diri. Perasaan kompeten dan jati diri ini yang terus dicari oleh anak dan remaja dengan berbagai cara, baik positif maupun yang negatif menurut pandangan norma sosial.  

"Busy and Happy"

Apabila isu dan krisis yang siswa alami tidak dipahami secara jernih, maka siswa bermasalah hanya dipandang sebelah mata dan tidak akan mencapai solusi yang memberdayakan. Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah memenuhi kebutuhan anak dan remaja untuk menyibukkan diri dan merasa puas (atau jargonnya: being busy and happy). Dengan energinya yang besar serta perkembangan otak yang menuju kematangan, sesungguhnya para siswa perlu mengalami aktivitas yang membuat mereka merasa tertantang, mau bertekun, dan pada akhirnya merasa puas akan proses dan hasil yang dicapai.

Sibuk bukan berarti menghabiskan waktu untuk banyak kegiatan. Sibuk berarti ada asupan yang menstimulasi proses berpikir siswa, termasuk mengasah keterampilan fisik mereka. Rasa senang dan puas diperoleh dari keberhasilan menciptakan permainan, membuat karya, memenangkan lomba, mencapai tingkat tertentu, atau menghasilkan sesuatu. Kepuasan inilah yang memberi rasa mampu, percaya diri, mengenal identitas diri, dan siap menghadapi tantangan kehidupan.

Tantangan Siswa Masa Kini

Bagaimana kesibukan siswa masa kini? Apakah mereka mengalami kesibukan yang menyehatkan mentalnya atau justru resah dengan energi yang berlebih tetapi bingung penyalurannya? Apa jadinya jika energi dan daya pikir siswa hanya terpusat pada aktivitas gawai? Atau justru gawai menjadi pelarian dari rasa jemu karena tidak ada aktivitas yang membuat mereka sibuk di dunia nyata?

Kebutuhan untuk sibuk dan merasa puas ini seperti aliran air yang mencari wadahnya. Bisa jadi, bersama teman nongkrong dan media sosial, kebutuhan ini menemukan wadahnya. Bisa jadi, menjelajah hiburan tidak sehat menjadi penyalurannya. Dengan kemampuan berpikir yang belum sepenuhnya matang, siswa menghadapi risiko yang besar jika mereka tidak mengontrol diri, sulit berhenti, malah kecanduan.

Kehadiran AI (artificial intelligence) tampaknya semakin menjauhkan siswa dari kesibukan berpikir, karena mereka dengan mudah mendapatkan jawaban dari AI. Survei dari Tirto dan Jakpat menunjukkan bahwa 87 persen pelajar Indonesia menggunakan AI untuk mengerjakan tugas mereka. Adakah siswa mengalami kepuasan dalam proses belajar seperti ini?

Terlebih apabila soal ujian untuk siswa SMA adalah menggambar dan mewarnai organ tubuh, apakah aktivitas ini menyasar tingkat berpikir yang lebih tinggi dibandingkan jenjang pendidikan TK? Apakah guru sudah memberikan asupan berpikir yang menantang kemampuan dan motivasi belajar siswa? Ini pertanyaan yang penulis ajukan juga ketika mengobservasi proses belajar-mengajar di sekolah. Apabila guru belum benar-benar memahami tujuan dan capaian pembelajaran, maka kita perlu bertanya, apakah siswa benar-benar belajar? Temuan menarik dari penelitian Enjang Yusup Ali dan Dalia Susilawati (2024), bahwa 27,6% dari 300 guru yang diteliti atau 76 guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan Capaian Pembelajaran, Tujuan Pembelajaran, dan Alur Tujuan Pembelajaran. Kondisi yang perlu dicermati adalah jika satu orang guru yang mengalami kesulitan ini mengajar puluhan siswa, maka ada ribuan siswa yang mengalami dampaknya.

Dalam dunia yang berubah dan tuntutan zaman berubah, kebutuhan psikologis anak dan remaja relatif masih sama. Apakah kita sudah mengenali kebutuhan mereka untuk menyibukkan diri secara sehat, merasa kompeten, dan menikmati proses belajar, atau kita memilih cara-cara sporadis yang tidak tepat sasaran dalam mengatasi masalah perilaku siswa?

0 responses: