Meniti jalan
panjang pendidikan di Indonesia dan kita tidak benar-benar yakin apakah selama
ini berjalan mendekati tujuan, memutar, atau sedang diam di tempat karena
bingung melangkah. Seperti berada di dalam rombongan perjalanan, yang di
dalamnya ada banyak pemandu, pengamat, dan kritikus. Banyak saran dan usulan
tentang jalan yang perlu dipilih, sementara inisiator langsung mengambil
tindakan, untuk nantinya dievaluasi dan dikaji ulang. Begitu terus. Berbagai
kebijakan muncul dan berganti, sebagai bagian dari proses mencari bentuk yang
paling tepat. Hanya dengan kejernihan dalam mengamati, barulah permasalahan
bisa dipandang dan disikapi dengan benar.
Menyikapi
siswa yang memiliki masalah perilaku, apakah kita sudah mengamatinya dengan
jernih? Masalah perilaku siswa meliputi perilaku tidak disiplin, perilaku
mengganggu kegiatan belajar, mengganggu teman, menantang guru, merusak
fasilitas sekolah, mengganggu masyarakat, yang dalam kadar tertentu bisa termasuk
ke dalam gangguan perilaku (conduct disorder). Siswa dianggap berulah
dan sulit dibina.
Masalah Perilaku
dan Kesulitan Belajar
Siswa yang
memiliki masalah perilaku pada umumnya memiliki riwayat kesulitan belajar yang
tidak tertangani dengan baik. Studi kepustakaan oleh Gabriel dan Börnert-Ringleb (2023) terhadap ribuan
artikel penelitian dalam 25 tahun terakhir menunjukkan bahwa masalah perilaku
siswa berhubungan dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar yang dimaksud dapat
didasari kesulitan spesifik membaca, menulis, menghitung, dan kesulitan dalam
hal atensi atau rentang perhatian (ADHD), yang mengakibatkan siswa tidak mampu
menunjukkan performa belajar yang diharapkan. Masalah emosi dan sosial turut
mendasari kesulitan siswa dalam belajar, dan dinamikanya seperti siklus. Siswa
yang kendala belajarnya tidak teratasi cenderung mengalami frustrasi.
Konsekuensi dari rasa frustrasi ini dapat diekspresikan dalam bentuk kecemasan
ke dalam diri, atau sebaliknya, mencari penyaluran ke luar diri untuk melimpahkan
beban emosionalnya atau untuk memperoleh pengakuan yang dibutuhkannya. Tidak
menampilkan performa belajar kemudian menampilkan masalah perilaku, atau
memiliki masalah perilaku sehingga tidak menampilkan performa belajar.
Dinamikanya tidak selalu seperti ini, tetapi kondisi ini kerap dijumpai dalam
sesi-sesi konsultasi psikologi bersama siswa.
Apakah
performa belajar sedemikian penting bagi siswa, sampai-sampai jika tidak
berhasil maka siswa jadi berulah? Ini bukan semata-mata tentang hasil prestasi belajarnya,
tetapi tentang membangun perasaan bahwa dirinya baik dan mampu. Inilah krisis
perkembangan psikososial pada anak berusia 6-12 tahun, antara membangun
kompetensi dan merasa percaya diri, atau sebaliknya, menjadi tidak kompeten dan
merasa rendah diri. Sementara pada remaja, atau usia 12-18 tahun, krisisnya
adalah antara membangun identitas diri versus kebingungan jati diri. Perasaan
kompeten dan jati diri ini yang terus dicari oleh anak dan remaja dengan
berbagai cara, baik positif maupun yang negatif menurut pandangan norma sosial.
"Busy and Happy"
Apabila isu
dan krisis yang siswa alami tidak dipahami secara jernih, maka siswa bermasalah
hanya dipandang sebelah mata dan tidak akan mencapai solusi yang memberdayakan.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah memenuhi kebutuhan anak dan
remaja untuk menyibukkan diri dan merasa puas (atau jargonnya: being busy
and happy). Dengan energinya yang besar serta perkembangan otak yang menuju
kematangan, sesungguhnya para siswa perlu mengalami aktivitas yang membuat
mereka merasa tertantang, mau bertekun, dan pada akhirnya merasa puas akan
proses dan hasil yang dicapai.
Sibuk bukan berarti
menghabiskan waktu untuk banyak kegiatan. Sibuk berarti ada asupan yang
menstimulasi proses berpikir siswa, termasuk mengasah keterampilan fisik
mereka. Rasa senang dan puas diperoleh dari keberhasilan menciptakan permainan,
membuat karya, memenangkan lomba, mencapai tingkat tertentu, atau menghasilkan
sesuatu. Kepuasan inilah yang memberi rasa mampu, percaya diri, mengenal
identitas diri, dan siap menghadapi tantangan kehidupan.
Tantangan
Siswa Masa Kini
Bagaimana kesibukan
siswa masa kini? Apakah mereka mengalami kesibukan yang menyehatkan mentalnya
atau justru resah dengan energi yang berlebih tetapi bingung penyalurannya? Apa
jadinya jika energi dan daya pikir siswa hanya terpusat pada aktivitas gawai?
Atau justru gawai menjadi pelarian dari rasa jemu karena tidak ada aktivitas yang
membuat mereka sibuk di dunia nyata?
Kebutuhan
untuk sibuk dan merasa puas ini seperti aliran air yang mencari wadahnya. Bisa
jadi, bersama teman nongkrong dan media sosial, kebutuhan ini menemukan
wadahnya. Bisa jadi, menjelajah hiburan tidak sehat menjadi penyalurannya.
Dengan kemampuan berpikir yang belum sepenuhnya matang, siswa menghadapi risiko
yang besar jika mereka tidak mengontrol diri, sulit berhenti, malah kecanduan.
Kehadiran AI
(artificial intelligence) tampaknya semakin menjauhkan siswa dari
kesibukan berpikir, karena mereka dengan mudah mendapatkan jawaban dari AI. Survei
dari Tirto dan Jakpat menunjukkan bahwa 87 persen pelajar Indonesia
menggunakan AI untuk mengerjakan tugas mereka. Adakah siswa mengalami kepuasan
dalam proses belajar seperti ini?
Terlebih apabila
soal ujian untuk siswa SMA adalah menggambar dan mewarnai organ tubuh, apakah
aktivitas ini menyasar tingkat berpikir yang lebih tinggi dibandingkan jenjang
pendidikan TK? Apakah guru sudah memberikan asupan berpikir yang menantang
kemampuan dan motivasi belajar siswa? Ini pertanyaan yang penulis ajukan juga
ketika mengobservasi proses belajar-mengajar di sekolah. Apabila guru belum
benar-benar memahami tujuan dan capaian pembelajaran, maka kita perlu bertanya,
apakah siswa benar-benar belajar? Temuan menarik dari penelitian Enjang Yusup
Ali dan Dalia Susilawati (2024), bahwa 27,6% dari 300 guru yang diteliti atau
76 guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan Capaian Pembelajaran, Tujuan Pembelajaran,
dan Alur Tujuan Pembelajaran. Kondisi yang perlu dicermati adalah jika satu
orang guru yang mengalami kesulitan ini mengajar puluhan siswa, maka ada ribuan
siswa yang mengalami dampaknya.
Dalam dunia yang berubah dan tuntutan zaman berubah, kebutuhan psikologis anak dan remaja relatif masih sama. Apakah kita sudah mengenali kebutuhan mereka untuk menyibukkan diri secara sehat, merasa kompeten, dan menikmati proses belajar, atau kita memilih cara-cara sporadis yang tidak tepat sasaran dalam mengatasi masalah perilaku siswa?
0 responses:
Posting Komentar