Tampilkan postingan dengan label learning. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label learning. Tampilkan semua postingan

25 September 2018

Kepekaan Waktu


Sense of time. Istilah ini muncul begitu saja dalam pikiran saat saya bercakap-cakap dengan adik saya hari Minggu kemarin. Saat menulis ini, saya coba cari di Google tentang istilah ini, masih sedikit pembahasan (dalam pengertian saya, masih sedikit adalah ketika ia hanya muncul pada 1 atau 2 artikel dalam laman pertama pencarian) maupun kata gantinya. Padanan istilah dalam bahasa Indonesia yang paling mendekati tampaknya adalah “kepekaan waktu”. Kepekaan waktu yang dimaksud ini tentang kemampuan seseorang dalam memperkirakan waktu (kapan) dan durasi (berapa lama).

Pada Minggu siang terik yang membuat enggan beraktivitas, saya bertanya kepada adik.
“De, kamu pernah tahu lima menit itu seberapa lama?”
“Maksudnya?”
“Lima menit itu setara dengan waktu kamu mengerjakan apa, apakah misalnya menyikat gigi, berjalan kaki dari rumah ke warung, dsb. Kira-kira kamu bisa isi lima menit dengan apa? Kita sudah menyadari belum, lamanya tiga menit, lima menit, setengah jam itu seberapa.”

Seringnya, sih, waktu berlalu begitu saja. Kita larut dalam aktivitas, entah bekerja, mengobrol, main game online, membaca, termasuk menyikat gigi dan berjalan kaki itu. Biasanya, waktu baru terasa kalau sedang menunggu berjam-jam. Bahkan berjalannya waktu yang sudah diukur dengan timer pun, kadang disadari kadang juga tidak, seperti misalnya saat memanggang kue. Barangkali berbeda dengan atlet atletik yang paham betul artinya satu detik itu seperti apa.

Bila seseorang datang terlambat dari waktu yang ditetapkan, selain terjadi peristiwa di luar prediksi, sangat mungkin perhitungan waktunya belum tepat, atau bisa juga ia tidak membuat perhitungan rencana. Sementara itu, seseorang yang dalam setiap janji temu berusaha tiba satu atau dua jam lebih awal, mungkin juga ia belum memahami ukuran waktu, maka mengambil perhitungan waktu yang berlebih. Daripada terlambat, biarlah tiba dua jam lebih awal, pikirnya, lalu estimasi waktu ia tambahkan, karena belum mengenali seberapa persisnya ia menggunakan waktu.

Ketika orang bicara tentang manajemen waktu yang dilatihkan dalam training-training di kantor, kampus, dsb, sepertinya ada konsep yang lebih mendasar atau mungkin lebih mendalam pemahamannya, dibandingkan tahap awal memilah kegiatan penting dan mendesak, membuat prioritas, dan jadwal kegiatan harian, itu ialah kepekaan waktu (sense of time). Paham dengan ukuran waktu. Umpamanya, dalam lima belas menit bisa melakukan apa saja, apakah membalas email-email, mengarsip lembar tagihan, menyusun satu konsep proposal, membaca jurnal, dsb. Dengan memahami ini, pasti akan memudahkan dalam membuat keputusan tindakan. Seperti misalnya, datang tugas tambahan sementara masih ada tugas rutin, tetapi hanya tersisa waktu lima belas menit sebelum menghadiri rapat, maka lima belas menit ini bisa diisi dengan pekerjaan yang mana agar efektif.

Apakah peka terhadap waktu mudah dilakukan? Dalam percakapan dengan beberapa teman, hanya seorang dari kami yang mampu mengenali ukuran waktu dalam satuan menit tanpa bantuan alat, dan bagi kami yang mendengarnya dengan takjub, itu seperti kemampuan spesial yang hanya dimiliki orang-orang tertentu. Sama seperti saya mengagumi nenek saya dan orang-orang di generasinya yang bisa menyebutkan waktu dengan tepat, tanpa melihat jam, yang kepekaannya sangat terasah dalam mengenali perubahan waktu. Padahal, sesungguhnya tidak selangka itu. Kepekaan ini sangat bisa dilatih, dengan disertai kesadaran dalam setiap waktu yang dilalui. Menyadari keberadaan waktu demi waktu inilah yang perlu proses.

Menurut suatu sumber, salah satu cara praktisnya bisa dengan menebak jam atau durasi, lalu mengeceknya pada arloji. Lebih dari itu, kita bisa berlatih memantau jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan suatu aktivitas, atau menetapkan waktu sekian menit lalu mengisinya dengan aktivitas. Kita bisa memantaunya selama beberapa kali, sehingga diketahui kisaran waktu rata-ratanya. Lambat laun, kita bisa mengenali bobot satu jam itu seberapa, tiga puluh menit itu seberapa, lalu dapat masuk ke ukuran waktu yang lebih kecil. Tampaknya tidak sulit untuk dicoba. 

Bersamaan dengan mampu mengukur waktu, kita juga mampu mengukur kemampuan diri, hendak mengisi dengan apa saja, kapan melanjutkan dan kapan berhenti.



Oke, sudah saatnya berhenti menulis dan berlanjut ke kegiatan lain. Sampai bertemu pada tulisan berikutnya.


31 Januari 2018

Milenial Pengubah Indonesia bisa mengubah apa?

Satu buku yang baru saya tuntaskan berjudul “Generasi Phi Memahami Milenial Pengubah Indonesia” yang ditulis Dr. Muhammad Faisal. Penamaan Generasi Phi ini tampaknya strategi yang menarik untuk memperkenalkan suatu konsep baru. Pertama, pembaca diajak untuk berada di pemahaman yang sama, bahwa ketika menyebut Gen Phi, mereka adalah generasi milenial Indonesia. Ini memisahkan dari istilah Gen X, Gen Y, atau istilah milenial secara global yang sudah banyak digunakan. Maka selama proses membaca buku ini, kata Gen Phi bisa dengan mudah terasosiasi atau terhubung dengan definisi anak muda yang dimaksud penulisnya, bukan definisi di luar buku ini. Spesifik dan  membantu konstruksi berpikir pembaca. Kedua, mungkin berkaitan dengan branding, meskipun saya masih awam berbicara tentang marketing. Suatu karya bisa dengan mudah dikenal karena kebaruannya. Ada keunikan, orisinalitas ide penulisnya, yang membuat penulis/pencipta identik dengan karyanya dan begitu pula sebaliknya, karya identik dengan penciptanya. Dengan istilah Gen Phi ini, Mas Faisal adalah pelopornya dan ini membuat beliau menjadi acuan atau referensi ketika siapa pun mau mempelajari generasi milenial Indonesia. Ibaratnya, kalau kita mengetikkan kata ‘generasi phi’ di laman pencarian Google, dengan mudah kita menemukan nama beliau dan bukunya.

Salah satu bagian dari buku ini yang menarik buat saya adalah tentang wirausaha generasi Phi. Paparan di buku ini mampu menjelaskan fenomena menjamurnya tempat nongkrong di kota besar maupun kota yang sedang bertumbuh. Kita bisa menyebutnya kedai, kafe, warunk, mulai dari yang sederhana sampai yang premium. Begitu pula outlet, distro, dan sebagainya. Disebutkan bahwa salah satu alasan utama yang menjadi motivasi Gen Phi menjadi wirausaha adalah melestarikan lingkungan pertemanan. Alasan ini berangkat dari core kepribadian Gen Phi yang komunal, senang berkumpul, alias nongkrong. Rasanya nongkrong di sini tidak hanya aktivitas yang dilakukan remaja SMA sepulang sekolah duduk-duduk di lapangan basket (ini definisi dari satu klien saya yang masih SMA). Kumpul dengan teman kuliah sepulang kerja, itu pun bisa termasuk nongkrong, kalau mengacu pada pemahaman di buku ini, ketika “nongkrong is a word for sitting, talking and generally doing nothing.”

06 Mei 2017

Ide-ide Sekolah Waldorf

Willing-nya besar, thinking-nya kecil. Bagi orang-orang ini, yang penting kerja, langsung eksekusi, ga perlu pikir-pikir dulu, lah. Ada sebutan dalam bahasa Sunda: ‘kumaha engke’. Gimana nanti. Sebaliknya, kalau thinking yang besar, willing-nya kecil, orang-orang ini adalah people with big idea, tapi pelaksanaannya… duh, ini gimana, ya, nanti bagaimana, dst. Orang Sunda bilang, ‘engke kumaha?’ Nah, yang seimbang itu, gambar yang di tengah, seimbang antara thinking dan willing.”


Penjelasan Amanda Andi Wellang bagian ini sepertinya melekat sekali dalam ingatan saya. Barangkali, karena memproyeksikan karakter diri (saya). Ups. Manda, panggilan akrabnya, membuat gambar tersebut untuk memberi penjelasan tentang rhytmic system yang menjadi salah satu dasar filosofi pendidikan Waldorf.

“Sebagai dosen, saya menemukan bahwa problem yang dialami mahasiswa saat ini adalah kurang memiliki pemahaman konsep yang mendalam dan komprehensif, untuk mengaitkan suatu konsep dengan konsep lain. Mereka pintar, bisa menjawab pertanyaan mengenai konsep, tetapi diam saat diminta memberikan contoh. Masalah ini tentunya bukan tiba-tiba muncul saat mereka kuliah, tetapi adalah hasil dari proses belajarnya sejak kecil. Apakah proses belajar mereka sudah tepat?” demikian penuturan Kenny Dewi saat ia pada mulanya tergerak mengadopsi model pendidikan Waldorf, dan kemudian mendirikan sekolah Jagad Alit Waldorf School di Bandung.

28 Desember 2016

Kekaguman akhir tahun


“Kamu ikut kegiatan ini karena mau sendiri atau ditunjuk guru?”
“Mau sendiri, mau belajar yang diajarin ini (tentang SiGAP).”

Itu sepotong percakapan saya dengan salah satu anak, yang menjawab dengan malu-malu. Ia dan 74 anak lainnya mewakili 5 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mengikuti pelatihan SiGAP yang diselenggarakan oleh Save the Children. Kelak mereka dipersiapkan sebagai leader bagi teman-temannya di sekolah untuk membentuk sekolah aman bencana.  Karena itu, mereka dibekali kemampuan komunikasi, sikap positif terhadap diri, dan sikap kepemimpinan dalam pelatihan kemarin.

Berproses dengan anak-anak hampir selalu menimbulkan getar kekaguman. Itu yang saya alami lagi bersama sahabat saya, Dian Nirmala, saat memandu pelatihan untuk mereka. Dari satu permainan sederhana; kami menyebutnya “Berhitung Siaga”, yakni setiap orang menyebut satu angka secara berurutan misalnya 1-38 (karena ada 38 anak), bebas dimulai dari siapa saja, tetapi tidak boleh berbarengan; saya merinding berada di tengah-tengah mereka.  Permainan ini memang cukup bikin kesal ketika ada dua orang atau lebih menyebut angka berbarengan, karena hal itu berarti permainan mesti diulang dari awal. Apalagi kalau sudah mencapai angka belasan atau puluhan. Memang akhirnya mereka berhasil setelah berkali-kali mengulang dari awal dan raut wajah antusias mulai berubah menjadi lemas. Saya ikut deg-degan ketika menunggu setiap angka yang terucap dari mulut-mulut kecil itu perlahan mendekati urutan ke-20, 30, dan…. ah 38!  

Selepas permainan, kami membahas poin-poin pembelajaran. Permainan ini tentang kepekaan dalam berkomunikasi, tetapi kami tidak memberitahukan maksud permainan kepada mereka. Kami tanyakan pendapat mereka tentang kunci keberhasilan permainan ini. Menurut mereka, yang dibutuhkan (dalam komunikasi) adalah tenang, fokus/konsentrasi, dan melihat sekitar. Tenang, agar dapat mendengar suara teman-temannya. Konsentrasi agar tak salah menyebut angka. Melihat sekitar, gerak-gerik teman, agar tahu waktu yang tepat untuk gilirannya bicara.

Tenang, fokus, dan melihat sekitar. Bukankah kalau dipikirkan lagi, tiga hal ini memang dibutuhkan dalam komunikasi kita? Kita perlu tenang agar dapat mendengar dan menyimak dengan jernih, agar tidak mudah tersulut emosi yang membuat kita terburu-buru menilai, menyerobot , menghardik. Fokus dan konsentrasi juga diperlukan, agar tidak salah menangkap informasi, tidak mudah mengabaikan orang yang sedang berbicara, tidak mudah terdistraksi oleh informasi lain dan asumsi. Komunikasi dua orang, tiga orang, sepuluh orang, bahkan lebih, tetap merupakan komunikasi dua arah.  Apa kita cukup memperhatikan situasi sekitar, kondisi orang lain, dan dampak pada orang lain, ketika berbicara? Nyatanya, komunikasi juga tidak terbatas pada bicara, tetapi pernyataan sikap verbal dan nonverbal.

Tiga pembelajaran penting yang saya pelajari dari anak-anak ini. Anak-anak kelas 4, 5, dan 6, yang menyebutkan kekuatan mereka adalah senyum, semangat pantang menyerah, dan niat menolong sesama. Anak-anak, yang sebagian dari mereka tidak mengenal “Moana”, film terbaru Disney tahun ini, dan “Om Telolet Om”, trending topic di jagat media sosial akhir-akhir ini.  


Itu pun baru dari satu permainan. 
Berproses dengan anak-anak memang menimbulkan getar kekaguman. 


10 September 2016

Seramah apa sekolah kita?


Saat melihat gambar di atas, bisa jadi kita mencoba mengingat-ingat di mana pernah melihatnya sebelum ini atau justru sudah amat mengenalinya. Gambar ini ada dalam iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengampanyekan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Pada 2014 lalu, maraknya kasus kekerasan dan pelecehan mendorong pemerintah untuk membuat konsep sekolah ramah anak. Apakah SRA semata-mata adalah program sekolah tanpa tindak kekerasan? Kebijakan SRA memuat standar pelayanan minimal terkait kesehatan anak sebagai peserta didik, penanganan dan antisipasi keselamatan anak di daerah rawan bencana, dan kebijakan anti kekerasan. Pada dasarnya, Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Kita yang tinggal di kota, menyekolahkan anak, atau bersekolah di sekolah swasta atau negeri, mungkin berpikir, konsep sekolah ramah anak bukankah merupakan kewajiban bagi semua sekolah, dan bukankah memang demikian yang sudah terjadi? Bahwa sekolah memiliki bangunan yang kokoh, tersedia berbagai fasilitas yang bersih, memiliki lingkungan nyaman, dilengkapi dengan petugas pelayanan kebersihan, dan siswa juga diajar untuk menjaga kebersihan lingkungan. Bahwa tersedia kantin, perpustakaan, lapangan olahraga,  toilet, taman, beserta sederet kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Bahwa petugas keamanan sekolah dengan ramah membantu siswa menyeberang jalan. Lalu, apakah di sekolah yang memiliki jalan berupa tangga, juga tersedia jalur khusus lain yang bisa digunakan oleh anak yang menggunakan kursi roda? Apakah kapasitas ruangan kelas sesuai dengan jumlah anak, memiliki penerangan yang cukup, tersedia tempat sampah dan memiliki tempat cuci tangan dengan air bersih yang mengalir? Apakah kantin memiliki tempat dan peralatan yang bersih untuk pengolahan dan persiapan penyajian makanan, tidak berada di dekat toilet atau tempat sampah, serta makanan dan minuman memenuhi standar keamanan dan kesehatan?

18 Juni 2016

Piper

Sekawanan burung kedidi mendarat di hamparan pasir yang baru saja dibasuh ombak. Mereka mematuk mencari kerang untuk dimakan. Tak sampai semenit, ombak datang dan dengan sigap mereka terbang.


Di atas pasir lembut yang terlindung oleh sekumpulan rumput, seekor anak burung kedidi berkeciap-ciap. Warna bulunya putih berselimut abu-abu pada kepala dan sayapnya. Bola matanya bulat berbinar. Paruhnya kuning dan runcing. Ibunya baru saja meninggalkannya untuk mengambil kerang. Tapi kerang itu bukan untuk anaknya. Dengan anggukan kepala, ia panggil anaknya untuk mengikuti ia ke tepian pantai. 



Anak burung tidak tahu harus melakukan apa di pantai itu. Kerang kecil di paruh ibunya lagi-lagi bukan untuk anak burung itu. Sorot mata ibunya memandang ramah kepada anaknya, meyakinkan anaknya untuk mencoba sendiri mematuk kerang di atas pasir. Anak burung itu berusaha mematuk, namun belum-belum ia berhasil, gemuruh ombak sudah terdengar. Belum sempat pula ia paham apa yang terjadi ketika semua burung lainnya berlari dan mulai terbang. Langkah larinya masih pendek-pendek dengan wajah bingung dan mata mengerjap. Dalam hitungan detik, ia diguyur ombak. Melayang-layang di dalam air hingga terdampar di atas pasir. Saat terbangun, bulu-bulunya kusut. Sejak itu ia takut pada laut. Biarpun diajak kembali oleh ibunya, ia tetap memilih bersembunyi di balik rumput. Hingga akhirnya muncul bunyi keroncongan dari dalam perut. Ia mesti cari makanan! Maka ia beranikan diri melangkah mendekati laut. Setiap ada suara gemuruh, ia kembali ke balik rumput. Akhirnya tiba juga di tepian, sepertinya situasi tenang, ia mencoba mematuk. Rupanya ia berebut dengan dua kelomang yang juga mencari kerang. Dan….o’ow, ombak mendekati pantai. Anak burung diam terpaku. Ia bingung seketika. Dua kelomang langsung masuk ke dalam pasir untuk berlindung. Insting hidup mendorong anak burung itu untuk mengikuti cara kedua kelomang, membenamkan tubuhnya yang bulat itu ke dalam pasir. Hulp, ia bersembunyi. Lantas ombak memerangkap mereka. Pasir terangkat, begitu pula mereka. Anak burung kembali melayang-layang dalam air. Cukup dalam, cukup lama. Perlahan ia buka matanya. Takjub ia melihat ada begitu banyak kerang di dasar. Ketika air kembali surut dan ia terbangun, anak burung ini segera berdiri. Dengan penuh semangat, ia memasukkan paruhnya ke dalam pasir, tepat sasaran mematuk kerang! Tak hanya satu, ia patuk lagi dan lagi, seolah hafal posisi kerang-kerang itu di balik pasir hingga terkumpul banyak makanan untuknya dan ibunya. Burung-burung pantai yang lain ikut senang dan terbantu oleh anak burung itu. Ketika ombak bergulung kembali datang, anak burung segera membenamkan kepalanya di dalam pasir, menunggu rahasia kerang terkuak. Tanpa lelah ia mengumpulkan kerang. Ia kegirangan dengan keberhasilannya. Berhasil mengalahkan ketakutannya pada ombak. Berhasil menemukan cara efektif memperoleh kerang. Belajar hal baru dari kawan  yang berbeda.  


Piper”, sebuah film pendek karya Pixar.


Hingga usia sekarang ini aku masih menyukai gambar-gambar kartun atau animasi. Kini gambar-gambarnya semakin memanjakan mata. Efek visualnya menjadikan gambar menyerupai wujud aslinya. Lebih banyak sensasi yang dirasakan, terlebih emosi yang tersentuh karena visualisasi yang lembut, ekspresif, seperti nyata, dan banyak lainnya. Salah satunya film mengenai burung pantai yang tadi kuceritakan. Riak airnya sempat membuatku tersadar, apakah itu dari gambar atau nyata? 

Sempat heran, apa yang mendorong para senimannya membuat karya sedemikian indah? Dengan teknologi yang tentunya tidak sederhana, tidak murah, membutuhkan kesabaran untuk mengoreksi, sementara teknologi terus saja meningkatkan kemahirannya. Karya terbaik mereka tahun ini barangkali mudah dilupakan oleh orang dan oleh jaman yang semakin mampu menghasilkan efek visual yang lebih baik di tahun-tahun mendatang. Film pendek yang menjadi pembuka film utama ini barangkali diingat samar-samar kisahnya dibandingkan isi film utama yang dibicarakan oleh banyak penontonnya. 

Tentu ada spirit luar biasa yang mendasari para seniman ini. Tampaknya yang mereka berikan bukan sekadar warna dan efek visual. Bukan itu, karena warna dan efek bisa pudar oleh jaman. Sepertinya, yang mereka beri adalah nilai-nilai sejati kehidupan, yang mereka anggap baik untuk diteruskan kepada anak-anak, pun orang dewasa. Kepada setiap hati yang tersentuh. 

Biar nilai-nilai itu terus hidup, tak pudar, tak tergerus.   

29 Juni 2015

perihal seleksi karyawan


Beberapa kali membuat laporan evaluasi tes psikologi untuk seleksi karyawan mengantarku pada pemikiran lain. Ah, ya, kujelaskan singkat dahulu apa yang kukerjakan. Aku menerima berkas hasil tes psikologi lalu kubuatkan laporannya. Kadang ada yang sudah disertai saran dari supervisorku, apakah pelamar yang dites ini disarankan untuk diterima bekerja, dipertimbangkan, atau ditolak. Kadang aku diberi kepercayaan untuk menuliskan saran tersebut dengan tetap disupervisi. 

Pengalamanku belum banyak di bidang ini. Aku tergolong pemula di ranah rekrutmen dan seleksi karyawan, setelah sebelumnya lebih berkecimpung dalam dunia pelatihan atau training.  Beruntung, aku masih di bawah supervisi dalam melakukan diagnosis dan mengambil keputusan terhadap lolos-tidaknya calon karyawan. Di satu sisi, melakukan diagnosis itu pekerjaan yang menyenangkan buatku. Seru, mungkin bisa dibilang begitu, ketika mendinamikakan kepribadian dan menemukan benang merahnya. Ya, kalau jadi terbayang gambaran umum pribadinya memang menyenangkan, tapi kalau tidak, memusingkan juga…hehehe. Di sisi lain, menetapkan saran untuk merekomendasikan atau menolak seseorang bekerja di suatu perusahaan, ini bagian yang sejak lulus S1 Psikologi kuhindari, sehingga aku memilih bidang pelatihan. Dan, dengan kapasitasku sekarang, aku diharapkan dapat memberikan saran terbaik perihal seleksi karyawan ini, untuk kemaslahatan kedua pihak, perusahaan dan karyawan. Bagi perusahaan, mereka bisa langsung memanfaatkan laporan evaluasi tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan. Lalu bagaimana dengan pelamar atau calon karyawan? Ada beberapa perusahaan yang memberikan feedback, tetapi banyak pula yang tidak. Yaa, pekerjaan untuk mengurusi karyawan mereka saja sudah banyak, mungkin itu pertimbangan efisiensi mereka. 

Jadi, sudah beberapa kali aku terusik ketika menghadapi laporan psikologi yang kubuat, yang berujung pada saran “menolak”. Biasanya, itu terjadi karena aku menyayangkan adanya potensi cerdas yang kurang didukung dengan sikap kerja yang baik, atau potensi cerdas yang karena kurang didukung kebiasaan belajar atau upaya pengembangan diri, potensinya menjadi tidak berkembang.
Contoh saja ya, ada seseorang yang cerdas secara intelektual. Dalam bekerja, ia cenderung bertindak “semau gue”, kalau suka dikerjakan, kalau tidak, ya, tidak dikerjakan. Tidak suka keteraturan. Selain itu, kurang memiliki daya tahan untuk bekerja hingga tuntas. Dengan begini saja, dikhawatirkan ia tidak selalu mampu memenuhi jadwal pekerjaan atau target. Keinginannya sangat besar untuk pamer atau unjuk kemampuan. Apabila melakukan kesalahan, ia tidak mudah mengakuinya. Sayangnya, ia juga sulit menyelami sudut pandang dan perasaan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana kontribusinya dalam tim? Bagaimana pula seandainya ia diplot sebagai pemimpin? 


Lantas, apakah para pelamar ini kemudian tahu tentang evaluasi kepribadiannya yang menyebabkan mereka tidak lolos seleksi? Ya, itu tadi, mereka tidak selalu mendapat kesempatan untuk mengetahuinya. Dengan berbekal ketidaktahuan, mereka mungkin tetap mengikuti tes seleksi di perusahaan yang lain, bermodal hafalan jawaban dari buku latihan psikotes yang sekarang sangat menjamur, yang tetap tidak mengubah cerminan kepribadiannya. Ketika suatu saat ia diterima bekerja, tak jarang muncul ketidakpuasan, misalnya, merasa pekerjaannya tidak sebanding dengan impiannya, atau menemukan kesulitan dalam beradaptasi, dan sebagainya. Mereka yang berhasil melalui kesulitan-kesulitan ini, tentulah karena beroleh kesempatan luar biasa untuk mengenali dan mengembangkan dirinya, berani menempa diri untuk menerima keadaan dan meningkatkan kemampuannya (menerima apa yang tidak mampu diubah dan mengubah apa yang mampu ia ubah).


Sampai sini, bagaimana kulanjutkan tulisan ini? Banyak harapan yang bermunculan terhadap lembaga yang mengeluarkan hasil pemeriksaan psikologis, terhadap para pelamar kerja, dan perusahaan. Tapi, akan lebih konkret untuk meniatkan diri bekerja dengan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab terhadap-Nya yang "menitipkan" persimpangan hidup mereka di jalanku. 

10 Juni 2015

Jujur

Syarat pertumbuhan adalah jujur pada diri sendiri. Barangkali ada syarat lainnya, tapi kali ini tentang jujur. Seperti pohon yang dengan jujur menghadapkan tubuhnya pada cahaya matahari, ia bertumbuh ke atas, atau menyamping, agar pucuk-pucuk pertamanya menerima hangat matahari. Bunga matahari tidak memalingkan wajahnya dari sang surya, sadar bahwa ia juga membutuhkan cerah yang lebih cerah dibandingkan cerah mahkotanya sendiri.

01 Februari 2015

Surat Semangat



Senang sekali, surat semangat ini sampai juga di tangan anak-anak SD Inpres di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur melalui Senza Arsendy, salah seorang pengajar muda program Indonesia Mengajar. 
Gambar ini, bisa dibilang sebagai replika surat tersebut, saya tampilkan di sini, agar semangat, keceriaan, atau apapun rasa senang yang dirasakan saat membacanya, dapat menular kepada siapapun yang membacanya :)


salam semangat,
Mia Marissa Kumala
awal tahun 2015



30 Januari 2015

Belajar (2)

Pekik kegirangan itu mengejutkanku. Bukan, bukan dari seorang anak kecil. Suara itu berasal dari seorang paruh baya, yang usianya hampir mendekati usia ibuku. Apa sebab? Beliau baru saja berhasil menuangkan pikirannya ke dalam baris-baris paragraf.

Mundur ke beberapa menit sebelumnya, ada semburat sayu pada matanya. Lelah, sudah pasti. Jenuh, apalagi. Itu akumulasi perjalanan penelitiannya 3 tahun terakhir. Kini, ia sudah ada di penghujung. Sebagai hiperbolis, bolehlah kusebut tinggal sejengkal lagi menuju gelar doktornya.

20 Desember 2014

belajar (1)

Sesekali mata G beradu pandang denganku. Ya, sebut saja namanya G. Ia laki-laki berusia 2 tahun 8 bulan. Sejak beberapa menit sebelum ini, ia hanya menciduk bubur kacang hijau dengan sendok yang dipegangnya. Ia menggenggamnya seperti kalau kita menggenggam batang sikat gigi untuk menyikat gigi. Belum tepat benar, tetapi untuk seusianya, genggamannya sudah baik dan kuat. Berkali-kali ia hanya mengangkat sendok berisi bubur hingga beberapa milimeter di atas mulut gelas lalu menuangkan isinya kembali ke dalam gelas plastik tersebut. Kadang sambil tetap mengangkatnya, ia menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan teman-temannya yang dengan lancar menyuapkan bubur kacang hijau itu ke dalam mulut mereka. Tidak ada satu kata yang terucap dari G. Ia hanya diam. Tiga orang guru yang mendampingi kesembilan anak itu juga tidak menyadari tingkah laku G.

22 Januari 2013

Self-efficacy in learning



Alvin Toffler, an American writer and futurist, stated, “The illiterate of 21st century will not be those who can not read and write but those who cannot learn, unlearn, and relearn”. It is about the future human in information age. The Information Age, also commonly known as the Digital Age, is an idea that the current age will be characterized by the ability of individuals to transfer information freely, and to have instant access to information that would have been difficult or impossible to find previously. It is assumed that all people in the world are able to read and write. Ironically, in the present day we still face a number of illiterate. According to data from UNESCO’s Institute for Statistics (2011), 793 million adults –most of them girls and women- are illiterate.  Indonesia, and eight other countries (Bangladesh, Brazil, China, Egypt, India, Mexico, Nigeria, and Pakistan) are home to over two-thirds of the world’s adult illiterates and more than half the planet’s out-of-school children.
In West Java, Indonesia, specifically in Jatinangor, I found a group of 30-40 year old illiterate women who learned to read and write. Everyday after finishing their housework, they gathered at one member’s home and started the class. In another location, I found a group consists of young adults aged 18-21 who dropped out of high school. They dropped out because of lack of financial support. Then they continued to study in a non formal school, which free of charge, named Kejar Paket C (Study Group Package C) at PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat or community learning centre) Linuhung. Study Group Package C is a non-formal education program organized by Department of National Education Indonesia which equivalent to senior high school. Either the first group (illiterate women) or the second group (dropout students) is a group of learner, no matter how old they are. It is argued that they had something motivated them to learn, to achieve, to succeed. What kind of psychological state that underlies and affects the learning process?

Sekolah Ayah Edy



Kamis pagi pekan lalu (17/1) dengan rintik hujan yang kadang menjadi deras-gerimis-deras kembali, tak bisa dibedakan apakah itu pagi atau sore hari. Matahari tak tampak, semua warna berselimut kelabu. Di Jakarta tersiar berita bahwa hari itu menjadi hari cuti bersama karena banjir telah menjangkau pusat kota. Sebagian commuter dari Bogor turut merasakan dampaknya. Namun berita tersebut tidak berpengaruh banyak pada saya yang sedang libur semester, walaupun tetap saja terkejut menyadari banjir yang meluas pada hari-hari berikutnya.

Hari itu sebagaimana telah direncanakan dari satu minggu sebelumnya dan diniatkan sejak satu tahun sebelumnya –hehehe..sebegitu lamanya, ya-, saya berkunjung ke sekolah milik Ayah Edy, bernama STAR International. Sekolah ini merupakan prasekolah –meliputi childcare, playgroup, dan kindergarten- yang menerapkan kombinasi konsep internasional dalam sistem pendidikan dan program pembelajarannya, di antaranya multiple intelligence, holistic learning, character building, dan entrepreneurship.

15 Agustus 2012

Personal mastery

When we talk about knowledge management (KM), we cannot ignore the concept of learning organization. Yes, organizational learning is complementary to KM.

This followed article was taken from “The Fifth Discipline –The art and practice of the learning organization”, a bestselling book written by Peter M. Senge (1990). To transform an organization into a learning organization, we have to integrate five main disciplines:  personal mastery, systems thinking, mental models, shared vision and team learning. Personal mastery is the foundation on which organizational learning is built. This article is devoted to the first discipline, personal mastery, also personal vision, that has fascinated me a lot. 

Personal mastery is the discipline of personal growth and learning. People with high levels of personal mastery are continually expanding their ability to create the results in life they truly seek. From their quest for continual learning comes the spirit of the learning organization. (p.141)

21 Juli 2012

Ditemukan : The Science of Training and Development

Setiap tahun perusahaan dan organisasi menginvestasikan jutaan rupiah dan jam untuk mengembangkan karyawannya menjadi lebih baik. Ironisnya, secara mengejutkan, investasi ini tidak memiliki landasan ilmu yang memadai.

Eduardo Salas, ilmuwan psikologi dari University of Central Florida menyatakan bahwa training tidak se-intuitif kelihatannya. ”Ada ilmu (the science of training) yang menunjukkan cara yang benar dan salah dalam mendesain, menyampaikan, dan menerapkan program training.” 

Ilmu tentang pelatihan atau training ini sudah berkembang sejak 30 tahun lalu. Namun ilmu ini terlalu sering diabaikan oleh vendor/penyelenggara training yang menyandarkan training pada pendekatan non-ilmiah dan juga oleh manager yang menganggap bahwa intuisi mereka dalam memilih program dan menempatkan karyawan peserta training lebih dapat diandalkan.