Setiap tahun perusahaan dan organisasi menginvestasikan jutaan rupiah dan jam untuk mengembangkan karyawannya menjadi lebih baik. Ironisnya, secara mengejutkan, investasi ini tidak memiliki landasan ilmu yang memadai.
Eduardo Salas, ilmuwan psikologi dari University of Central Florida menyatakan bahwa training tidak se-intuitif kelihatannya. ”Ada ilmu (the science of training) yang menunjukkan cara yang benar dan salah dalam mendesain, menyampaikan, dan menerapkan program training.”
Ilmu tentang pelatihan atau training ini sudah berkembang sejak 30 tahun lalu. Namun ilmu ini terlalu sering diabaikan oleh vendor/penyelenggara training yang menyandarkan training pada pendekatan non-ilmiah dan juga oleh manager yang menganggap bahwa intuisi mereka dalam memilih program dan menempatkan karyawan peserta training lebih dapat diandalkan.
Laporan Salas menunjukkan betapa asumsi berdasar intuisi seringkali membuat trainer keluar jalur, sementara landasan ilmu akan membuahkan efektivitas training.
Berikut ini koreksi atas beberapa kesalahpahaman yang umum terjadi dalam penyelenggaraan training.
Yang terpenting adalah apa yang terjadi selama training. Sesungguhnya, apa yang terjadi sebelum dan setelah training sama pentingnya. Sebelum training, penyelenggara–misalnya manager atau HRD- perlu mengomunikasikan dengan jelas tujuan training dan bagaimana kaitannya dengan pekerjaan kepada trainee. Setelah training, penyelenggara meminta umpan balik serta menawarkan bantuan/support untuk implementasi keterampilan/skill yang baru saja dipelajari.
Training seharusnya berfokus pada bagaimana karyawan mengingat segala hal yang perlu ia ketahui untuk diterapkan dalam pekerjaan. Sekarang ini, trainer dihadapkan pada begitu banyak informasi yang perlu dibedakan antara konten yang perlu diketahui (need-to-know) dan yang perlu diakses (need-to-access). Untuk kategori yang terakhir, menurut Salas, “training seharusnya mengajarkan orang di mana dan bagaimana menemukan informasi daripada mencarinya–yang membuat mereka harus menyimpan informasi tersebut dalam ingatan-.”
Training seharusnya berfokus pada bagaimana karyawan mengingat segala hal yang perlu ia ketahui untuk diterapkan dalam pekerjaan. Sekarang ini, trainer dihadapkan pada begitu banyak informasi yang perlu dibedakan antara konten yang perlu diketahui (need-to-know) dan yang perlu diakses (need-to-access). Untuk kategori yang terakhir, menurut Salas, “training seharusnya mengajarkan orang di mana dan bagaimana menemukan informasi daripada mencarinya–yang membuat mereka harus menyimpan informasi tersebut dalam ingatan-.”
Sebagai bagian dari training, karyawan harus menjalani tes/uji kemampuan dan memberi perhatian pada area yang membutuhkan peningkatan. Penelitian menunjukkan bahwa training lebih efektif ketika diberikan sebagai kesempatan daripada sebuah tes, dan ketika lebih ditekankan pada manfaat untuk karyawan ketimbang pada kurangnya kemampuan yang dimiliki karyawan. Jadi, hindari menyebutkan alasan karyawan dipilih untuk training karena kurangnya kemampuan presentasi, misalnya, tetapi informasikan bahwa keterampilan yang diajarkan dalam training tsb akan menjadi nilai tambah dirinya ketika mempersuasi klien.
Sekali karyawan di-training, skill tersebut menetap dan training berikutnya dapat beralih ke skill baru. Faktanya, sebagaimana dilaporkan oleh Salas, kemerosotan skill menjadi masalah utama dalam training. Temuan meta-analisisnya menunjukkan bahwa setahun setelah training, trainee kehilangan lebih dari 90% materi yang mereka pelajari. Penurunan ini dapat dicegah dengan memberi karyawan banyak kesempatan untuk mempraktekkan keterampilan baru tersebut, atau menjadwalkan mereka untuk refresher training.
Motivasi untuk belajar harus datang dari diri karyawan –tidak banyak yang bisa dilakukan oleh manager/HRD. Sebenarnya, menurut Salas, manager dapat meningkatkan motivasi karyawan, dengan menjelaskan keterkaitan antara materi training dan bagaimana hal tersebut digunakan dalam pekerjaan, serta dengan memastikan karyawan bahwa mereka didukung oleh atasan atau organisasi secara keseluruhan.
Metode ceramah, workbook/lembar kerja, dan video adalah cara terbaik untuk menyampaikan training. Berbagai sarana ini, yang menekankan pada informasi dan demonstrasi, tetap menjadi pilihan penyelenggara training. “Dan ini masalah”, tegas Salas. “Kita mengetahui dari hasil riset bahwa proses belajar terjadi melalui latihan dan umpan balik.” Manager/HRD dapat meningkatkan efektivitas training melalui proses training yang lebih aktif dan melibatkan trainee.
Cara terbaik menjalankan training adalah dengan menunjukkan kepada trainee hal yang perlu dilakukan kemudian membiarkan mereka mencobanya sendiri. “Tidak semua praktek/latihan dibuat sesuai dengan situasi aslinya,” Salas berpendapat. “Latihan yang disusun tanpa tujuan, stimulasi yang benar, dan feedback yang berguna dapat memberi pelajaran yang salah.” Karyawan akan mendapat hasil maksimal dari latihan ketika diberikan feedback konstruktif pada saat yang tepat yang menunjukkan apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya.
Semakin baik prestasi karyawan selama training, semakin baik kinerja mereka dalam pekerjaannya kelak. Tidak otomatis demikian. Riset menunjukkan bahwa kondisi yang memaksimalkan kinerja karyawan selama training seringkali berbeda dengan kondisi yang memaksimalkan proses transfer dan pengendapan keterampilan. Sebagai contoh, informasi yang diberikan secara “drilling” membawa trainee pada proses belajar cepat, namun justru berdampak pada proses transfer dan penyimpanan yang buruk, yang tidak akan ditemukan pada metode pembelajaran mendalam (deep learning).
Membuat kesalahan selama training harus dihindari. “Karena kesalahan sering terjadi dalam pekerjaan, salah satu yang menjadi nilai/prinsip training adalah mengajarkan trainee cara mengatasi kesalahan baik pada level strategis maupun emosional,” ungkap Salas. Memandu karyawan dalam membuat kesalahan selama training kemudian membekali mereka dengan strategi untuk memperbaikinya, akan mendorong mereka memiliki pemahaman lebih mendalam dan membantunya menghadapi kesalahan dalam pekerjaan.
Teknologi dipercaya merupakan cara yang ampuh untuk meningkatkan efektivitas training. Menurut observasi Salas, format tradisional maupun pro-teknologi dapat berjalan baik, tetapi keduanya pun dapat gagal. Teknologi harus diterapkan secara bijaksana berdasarkan data ilmiah dengan tujuan meningkatkan efektivitas training.
Karyawan harus diberi kebebasan untuk membuat pilihan mereka sendiri tentang apa yang perlu mereka pelajari. Riset menunjukkan bahwa apa yang disebut learner control walaupun terdengar menarik, tidak membawa seseorang pada proses belajar yang luar biasa. Dilepas dengan rencana mereka sendiri, karyawan tidak cukup paham dan termotivasi untuk membuat keputusan yang bijak tentang bagaimana dan apa yang harus dipelajari.
Dalam training yang menggunakan simulasi, penting untuk membuat situasi virtual persis sama dengan yang dihadapi pada situasi kerja. Sesungguhnya, yang penting bukanlah ketepatan fisik tetapi ketepatan psikologis—seberapa akurat simulasi tersebut menghadirkan perasaan dan respon yang akan dialami karyawan ketika bekerja.
Dengan sederet bukti riset di atas, akan lebih baik jika kita tidak bersandar pada intuisi semata ketika mendesain training.
Finally, that’s what science is for.
***
Tulisan ini merupakan terjemahan dari artikel Learning on the Job : Myth vs Science karya Wray Herbert yang mengulas tulisan Annie Murphy Paul tentang “The Science of Training and Development in Organizations” –temuan riset Salas dkk. yang dipublikasikan pada jurnal Psychological Science in the Public Interest (2012). Lebih lanjut tentang hasil bedah ilmu of training ini akan saya sampaikan pada tulisan berikutnya.
0 responses:
Posting Komentar