15 Juli 2012

Siapalah saya?

Lima tahun lalu pada sebuah pelatihan pengembangan diri, saya tertampar oleh pernyataan seorang fasilitator, “Jika kamu memandang rendah dirimu, itu sama saja dengan merendahkan Tuhan Penciptamu.” Sama halnya pula ketika kamu tidak memberikan usaha terbaikmu.

Saya lalu ingin bertanya, “Pernahkah kamu menolak ketika dipilih menjadi ketua/penanggung jawab karena kamu merasa tidak pantas? Atau merasa tidak sanggup karena
tidak berpengalaman? Pernahkah juga merasa tidak cukup pandai untuk mengajukan saran/ide dalam rapat? Apa kamu pernah merasa minder karena tidak cukup cantik/tampan/menarik? Pernahkah berhenti berusaha di tengah jalan karena tidak yakin berhasil? Atau malah mengerahkan usaha yang setengah-setengah? Pernahkah kamu ragu untuk memiliki cita-cita besar?” Dan masih ada sederet pertanyaan yang bisa kamu tambahkan. Nah, pertanyaannya, mengapa? Mengapa kita meragukan kemampuan diri sendiri?


Keraguan ini bisa mewujud bermacam-macam dan pada akhirnya melumpuhkan kemampuan kita. Kita lalu memilih untuk menjadi orang biasa-biasa saja, padahal sesungguhnya kita memiliki potensi dan bakat yang luar biasa. Kita lalu menyangkal -atau bahkan tidak pernah tahu- bahwa kita memiliki potensi yang berharga karena tidak pernah memberi kesempatan pada diri kita untuk mencobanya, menunjukkannya, menggunakannya. Tokoh Tuhan dalam buku Conversations with God berkata, “Setiap kata yang kamu ucap atau pikirkan yang merendahkan dirimu, berarti menyangkal Aku. Setiap tindakan yang kamu lakukan dan membuat kamu menjadi tidak cukup baik atau kurang baik, atau semacam itu, adalah sebuah penyangkalan.” (Walsch, 1997:250). Karena sesungguhnya, “Tuhan ingin kamu selalu memunyai pemikiran yang paling baik tentang dirimu sendiri.” (Walsch, 1997:117).

Ya, bisa jadi kita sering menyangkal kebesaran-Nya, Tuhan yang tinggal di dalam kita. Ambil contoh sederhana, ya. Seminggu sebelum ujian semester, seorang mahasiswa mulai panik. “Apa yang harus saya pelajari dari ketiga buku setebal 500 halaman ini?” “Belajar bareng teman, tetap aja ga ngerti.” “Hmm..apa sebaiknya bikin contekan, ya? Cuma dikit, kok…” “Huff…tetap ga bisa konsen belajar, biarin deh, dapet nilai C aja.” Apa yang terjadi di sini? Ia merasa tidak mampu. Ia merendahkan kemampuan dirinya. Barangkali kita tidak asing dengan pengalaman semacam ini. Kita mengabaikan bahwa Tuhan yang hebat sesungguhnya ada di dalam kita. Ya, Allah yang hebat ada di dalam kita, dan ini artinya dalam keterbatasan apa pun, kita tetap bisa mengerahkan usaha maksimal.  Perhatikan hal ini, usaha maksimal berarti usaha terbaik. Kita tidak diharuskan menjadi orang nomor 1. Tidak berarti juga kita harus lebih unggul dari yang lain. Ini bukan soal persaingan atau kompetisi. Yang utama adalah usaha terbaik untuk mengembangkan talenta yang dimiliki sehingga setiap karya kita menjadi perayaan atas kebesaran-Nya.

Sebagai penulis, saya pun masih berusaha menerapkan pesan ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu saya membagikannya kepada Anda agar saya pun selalu ingat akan pesan ini. Dan tulisan ini tak akan lengkap tanpa kutipan dari seorang penulis inspiratif, Marianne Williamson,


“Our deepest fear is not that we are inadequate. Our deepest fear is that we are powerful beyond measure. It is our light, not our darkness that most frightens us. We ask ourselves, Who am I to be brilliant, gorgeous, talented, fabulous?


Actually, who are you not to be?


… We were born to make manifest the glory of God that is within us. It's not just in some of us; it's in everyone. And as we let our own light shine, we unconsciously give other people permission to do the same. As we are liberated from our own fear, our presence automatically liberates others.”
dengan terjemahan singkatnya,


“Ketakutan kita yang terdalam bukan karena kita tidak mampu. Ketakutan kita yang terdalam karena kita memiliki kekuatan yang tak terkira. Kita lalu bertanya, siapalah saya sehingga berhak menjadi seseorang yang hebat, memesona, berbakat, luar biasa?


Sesungguhnya, siapakah Anda sehingga tidak pantas seperti itu?


Kita dilahirkan untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan yang ada di dalam diri kita. Dan ini bukan hanya pada orang-orang tertentu, ini ada pada kita semua. Ketika kita membiarkan cahaya kita bersinar, kita membuat orang lain melakukan hal yang sama. Ketika kita membebaskan diri dari ketakutan, kita pun membebaskan orang lain dari ketakutannya.”

0 responses: