Tampilkan postingan dengan label spiritualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label spiritualitas. Tampilkan semua postingan

31 Maret 2017

Bertanya dalam Senyap (dengan interpretasi dari novel & film "Silence")

Kalau saya, selama dua tahun ini masih meminta penjelasan dari-Nya namun tak kunjung mendapat jawaban yang tuntas, apakah itu berarti Tuhan bungkam? Atau justru saya yang buta dan tuli? Ya, dua tahun lalu, tepat pada tanggal 30 Maret, ia berpulang kepada-Nya. Sejak hari itu sampai hari ini masih bersarang butir-butir pertanyaan dalam benak, tentang mengapa, andai saja, apakah mungkin, dan sebagainya; menelusuri setiap asumsi logis yang mungkin terjadi, yang kemudian bercabang berdaun tanda tanya.

Sebastian Rodrigues, seorang misionaris Yesuit Portugis yang dikisahkan Shusaku Endo dalam novelnya, Silence (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2017), yang juga difilmkan baru-baru ini; menghadapi pergulatan iman dalam hari-harinya yang semakin sulit pada masa penyiksaan orang Kristen di Jepang pada abad ke-17: “Benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan?”

Baru kira-kira satu bulan yang lalu saya membaca novelnya kemudian menonton visualisasinya beberapa hari lalu. Bukan kisah yang mudah diterima akal dan rasa. Kisahnya bukan semata perjalanan misionaris, sejarah, agama baru, mayoritas vs minoritas, pengingkaran iman vs keteguhan iman. Ada suatu rasa yang lebih personal, lebih dalam, tentang hubungan manusia dengan-Nya. Rasa itu, sulit dituliskan, hanya bergetar, menyesak, saat saya membaca kalimat terakhir dalam novel; sama halnya ketika mendengar pemeran Rodrigues menarasikannya. “Tetapi Tuhan kita tidak bungkam. Andai pun Dia bungkam selama ini, kehidupanku sampai hari ini sudah cukup berbicara tentang Dia.” Ia, salah satu pastor yang terpaksa menyangkal iman atas desakan dan ancaman pemerintah Jepang pada masa itu, namun tetap menyimpan imannya rapat-rapat.

Iman dalam senyap. Iman dalam sembunyi. Beriman diam-diam, kalau bisa disebut demikian. Mengutip review-nya The Guardian terhadap film ini, “iman yang tak memerlukan panggung”; iman tidak memerlukan penilaian pun persetujuan orang lain; melainkan jawaban hati. Hanya ia dan Dia yang tahu.

Bahwa ada pribadi yang lemah, yang rela mengingkari iman berkali-kali, seperti Kichijiro dalam kisah tersebut, justru hal ini menunjukkan rahmat-Nya. Ia hanya tak setegar orang lain yang mengorbankan nyawa. Menggenggam imannya sambil memukul dada sendiri. Menelan rasa pahit. Dengan cara itu ia menjalani hidupnya. Dengan cara itu iman tak pernah benar-benar terhapus dari hatinya. Ia hanya tak sekuat para pemberani. Dan iman tetap menjadi rahmat baginya, bagi siapa saja.

Bolehlah saya mengambil makna untuk sementara ini. Ketika seseorang memohon dan berdoa, katakanlah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik (kesejahteraan, kesehatan, kebahagiaan, dsb), lalu merasa belum juga terkabul permohonannya; jauh melampaui abad sebelum ini, ribuan doa sudah dipanjatkan demi nafas terakhir dan darah yang masih bisa menetes agar Tuhan mengangkat penderitaan tersebut; namun nafas dan darah akhirnya tetap berhenti. Barangkali terlalu jauh membandingkan kehidupan saat ini dengan ratusan tahun lalu, karena ada banyak kenyataan yang juga bisa menjadi cermin sehari-hari.


Dia tidak bungkam terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Saya hanya sedang menelusuri, mengilas-balik, setiap pertanyaan itu bersama-Nya. 

25 Juli 2015

Menyapa jiwa

"Apakah kamu memberi makan jiwamu?
Apakah kamu bahkan memerhatikannya?
Apakah kamu menyembuhkan atau menyakitinya?
Apakah kamu bertumbuh ataukah menjadi layu?
Apakah kamu mengembang ataukah menyusut?

Apakah jiwamu itu sama kesepiannya dengan pikiranmu?
Apakah jiwamu bahkan lebih terlantar?
Dan kapan terakhir kali kamu merasa jiwamu itu diekspresikan?
Kapan terakhir kali kamu menangis gembira?
Menulis puisi? Bermusik? Menari di tengah hujan? Memanggang kue? Melukis apa saja? Memperbaiki sesuatu yang patah? Mengecup bayi? Menempelkan seekor kucing pada wajahmu? Mendaki bukit? Berenang telanjang? Berjalan saat mentari terbit? Memainkan harmonika? Mengobrol hingga fajar merekah? Bercinta berjam-jam? Menyatu dengan alam?
Mencari Tuhan?

Kapan terakhir kalinya kamu duduk sendirian ditemani keheningan, berjalan ke relung hatimu yang terdalam?
Kapan terakhir kalinya kamu menyapa jiwamu?"


-Neale Donald Walsch, dalam Conversations with God Buku 2-




01 Februari 2015

PK, sepotong resensi

Kehilangan barang berharga. Ke mana akan mencarinya? Orang-orang di sekitar, tidak melihat. Pusat informasi, apabila kehilangannya terjadi di tempat umum, tak memberi kabar. Bagian keamanan atau polisi, tidak juga menemukan. Orang pintar alias cenayang, barangkali? Tak berhasil. Ke mana akan mencarinya?

“Tanyalah pada Tuhan.” “Hanya Dia yang bisa memberi jawaban.” Ada pula yang tertawa nyinyir, “Hahaha… Mana kutahu? Berdoa saja.”

Sekarang, kata “barang berharga” bisa kauubah, misalnya dengan “uang”, “kesehatan ginjal”, “penglihatan”, “keceriaan anak”, “kasih sayang orangtua”, “kekasih”, “kekuasaan”, “pekerjaan”, “tempat tinggal”, “harapan”, dan lain sebagainya yang bernilai untukmu, lalu tanyakan kembali pertanyaan di atas. Apakah juga akan berujung pada saran serupa?

12 Juli 2013

Masih takut gagal?

Pernahkah kamu mengalami kegagalan? Bagaimana rasanya? Remuk. Hancur. Berat. Ada lagi? Sedih, marah, frustrasi? Ingin memutar waktu dan melakukannya sekali lagi dengan lebih baik?

Kegagalan terasa lebih berat ketika kendali terbesarnya ada pada diri kita, benar atau tidak? Kalau kendalinya fifty-fifty dengan hal di luar kita, biasanya kegagalan lebih bisa diterima walau tetap menyesakkan hati juga. Misalnya, ketika gagal ujian seleksi masuk universitas yang diharapkan atau gagal mendapat pekerjaan, kendali kita tidak begitu besar, bukan? Kita sudah mengerjakan tes dengan sebaik-baiknya, tetapi ternyata kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan tidak sesuai dengan diri kita, atau kuota kelas di jurusan yang kita inginkan sudah penuh. Akan tetapi, ketika menghadapi ujian akhir semester, membawakan presentasi, mengikuti perlombaan, menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan, atau contoh lain yang pernah kamu alami, berhasil atau gagalnya sangat ditentukan oleh usaha yang kita kerahkan. Kita yang pegang kendali. Kita yang bertanggung jawab. Maka, ketika mengalami kegagalan, biasanya lebih terasa ‘sakit’-nya.

15 Maret 2013

Spiritualitas?


Ada percakapan seorang manusia dengan Tuhan*.
Manusia : Aku selalu diajari untuk takut kepada Tuhan.
Tuhan : Aku tahu. Dan sejak itu hubunganmu dengan-Ku menjadi lumpuh. Hanya dengan berhenti merasa takut kepada-Ku, kamu akan dapat menciptakan relasi yang berarti dengan-Ku. Kamu harus bebas dari rasa takut sehingga kamu dapat memiliki keberanian untuk memasuki pengalamanmu sendiri tentang Tuhan.

Apakah kita juga takut kepada Tuhan? Saya hampir yakin 100% bahwa kita pernah diajarkan demikian. Maka saya pribadi sesungguhnya terkejut membaca cuplikan percakapan di atas. Seperti membalik logika berpikir. Rasa takut membuat hubungan manusia dengan Tuhan menjadi lumpuh. Tapi... ya, masuk akal juga. Ketika takut, bukankah kita biasanya menjauhi sosok yang kita takuti itu? Atau malah membuat kita melakukan ajaran-Nya dengan terpaksa? 


20 Juli 2012

Hidup itu memilih

"Dalam banyak hal, kehidupan itu seperti CD-ROM." (hlm.148)
Seperti permainan video di komputer. Setiap respon, setiap akhir permainan telah diprogram dalam CD.

"Semua akhir permainan telah tersedia." (hlm.147)
Sama halnya dengan hidup.

"Alam semesta hanya menunggu mana yang kamu pilih saat ini." (hlm.147)
Benarlah, hidup itu pilihan. Tak ada keputusan salah, yang ada hanya konsekuensi. Ini mirip, dan diilustrasikan dengan sangat baik, pada buku dongeng anak-anak yang dulu suka kubaca. Ada pilihan pada setiap halaman yang akan membawa kita ke berbagai versi akhir cerita.

15 Juli 2012

Siapalah saya?

Lima tahun lalu pada sebuah pelatihan pengembangan diri, saya tertampar oleh pernyataan seorang fasilitator, “Jika kamu memandang rendah dirimu, itu sama saja dengan merendahkan Tuhan Penciptamu.” Sama halnya pula ketika kamu tidak memberikan usaha terbaikmu.

Saya lalu ingin bertanya, “Pernahkah kamu menolak ketika dipilih menjadi ketua/penanggung jawab karena kamu merasa tidak pantas? Atau merasa tidak sanggup karena
tidak berpengalaman? Pernahkah juga merasa tidak cukup pandai untuk mengajukan saran/ide dalam rapat? Apa kamu pernah merasa minder karena tidak cukup cantik/tampan/menarik? Pernahkah berhenti berusaha di tengah jalan karena tidak yakin berhasil? Atau malah mengerahkan usaha yang setengah-setengah? Pernahkah kamu ragu untuk memiliki cita-cita besar?” Dan masih ada sederet pertanyaan yang bisa kamu tambahkan. Nah, pertanyaannya, mengapa? Mengapa kita meragukan kemampuan diri sendiri?


Bebas dari perasaan negatif & positif

“…jika Anda tidak mempunyai perasaan negatif, Anda dapat bertindak lebih efektif, jauh lebih efektif dibandingkan bila Anda dikuasai oleh perasaan negatif”(Anthony de Mello)
Membaca kalimat membuat saya bertanya-tanya. Apakah kalimat ini juga berlaku untuk perasaan positif? Maksudnya, bila membebaskan diri dari perasaan positif terhadap orang lain, apakah ini akan membuat tindakan lebih efektif, karena mungkin saja perasaan positif juga menimbulkan bias?