Pernahkah kamu mengalami kegagalan? Bagaimana
rasanya? Remuk. Hancur. Berat. Ada lagi? Sedih, marah, frustrasi? Ingin memutar
waktu dan melakukannya sekali lagi dengan lebih baik?
Kegagalan terasa lebih berat ketika kendali terbesarnya
ada pada diri kita, benar atau tidak? Kalau kendalinya fifty-fifty dengan hal di luar kita, biasanya kegagalan lebih bisa
diterima walau tetap menyesakkan hati juga. Misalnya, ketika gagal ujian
seleksi masuk universitas yang diharapkan atau gagal mendapat pekerjaan, kendali
kita tidak begitu besar, bukan? Kita sudah mengerjakan tes dengan
sebaik-baiknya, tetapi ternyata kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan tidak
sesuai dengan diri kita, atau kuota kelas di jurusan yang kita inginkan sudah
penuh. Akan tetapi, ketika menghadapi ujian akhir semester, membawakan
presentasi, mengikuti perlombaan, menyelesaikan
tanggung jawab yang diberikan, atau contoh lain yang pernah kamu alami,
berhasil atau gagalnya sangat ditentukan oleh usaha yang kita kerahkan. Kita
yang pegang kendali. Kita yang bertanggung jawab. Maka, ketika mengalami
kegagalan, biasanya lebih terasa ‘sakit’-nya.
Tak
jarang kita menyalahkan orang lain atau lingkungan sebagai penyebab kegagalan.
“Gara-gara hujan, nih!” “Jalanan macet.” “Timnya ga kompak.” “Dia ga
mengerjakan seperti yang saya minta.” Ada pula orang-orang yang cenderung
menyalahkan diri, yang biasanya menjadi murung, menyesali diri, hingga capek sendiri. Lalu, apakah
jangan-jangan kita juga tergoda untuk menyalahkan Tuhan?
Kita
mungkin bertanya, mengapa Tuhan mengizinkan saya mengalami kegagalan? Mari kita
simak kutipan berikut. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam
segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,
yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rom. 8:28).
Dengan jelas disebutkan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu, dan
semua itu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Barangkali pertanyaan sebelumnya perlu kita ubah,
bukan tergoda untuk menyalahkan Tuhan, tetapi sebaiknya kita tergoda untuk
bertanya pada Tuhan, “Karakter apa, kesadaran apa, potensi apa yang ingin Tuhan
bentuk dalam diri saya melalui peristiwa kegagalan ini?”
Maka,
kegagalan juga adalah anugerah, seperti halnya keberhasilan. Sulit memang,
membayangkan kegagalan sebagai hadiah. Mana mungkin bersorak gembira ketika
mengalami kegagalan? Dan ternyata penyebabnya sederhana, kok. Sejak kecil, yang
kita pahami adalah, keberhasilan itu diapresiasi, sedangkan kegagalan itu
disesali. Anak yang mendapat nilai bagus dalam berhitung dipuji-puji oleh
orangtuanya. Anak yang keliru menghitung perkalian sebagai penjumlahan, bisa
jadi dimarahi. Semakin dewasa, kita belajar untuk menghindari kegagalan, karena
dampaknya tidak mengenakkan. Karena takut gagal, kita juga takut mencoba. Padahal,
tanpa mengalami kegagalan, kita minim pengalaman, bukan? Tanyakan pada semua
orang sukses atau cek dalam biografi mereka; mereka pasti pernah mengalami
kegagalan dalam hidupnya, yang akhirnya membuat mereka semakin mahir mengatasi
berbagai bentuk rintangan.
Kalau
begitu, apa yang masih ditakutkan dari kegagalan? Perasaan menyesak yang saya
tulis di atas? Rasa-rasa itu boleh ada sebagai pewarna kehidupan, tetapi
tenang, itu semua bukan masalah besar. Salah satu tips, lakukan setiap usaha
dengan maksimal, sehingga tidak ada yang perlu disesali ketika gagal. Saran
ini bisa dibuktikan, kok, karena saya sering mengalaminya. Ketika usaha yang
dilakukan belum maksimal, ada saja yang bisa dikritisi dan disesalkan sebagai
penyebab kegagalan. Tetapi ketika sudah melakukan dengan sebaik-baiknya dan
percaya pada penyelenggaraan-Nya, apa pun hasil yang diperoleh –berhasil atau gagal,
senang atau kecewa- selalu menjadi pengalaman luar biasa.
0 responses:
Posting Komentar