12 Juli 2013

Masih takut gagal?

Pernahkah kamu mengalami kegagalan? Bagaimana rasanya? Remuk. Hancur. Berat. Ada lagi? Sedih, marah, frustrasi? Ingin memutar waktu dan melakukannya sekali lagi dengan lebih baik?

Kegagalan terasa lebih berat ketika kendali terbesarnya ada pada diri kita, benar atau tidak? Kalau kendalinya fifty-fifty dengan hal di luar kita, biasanya kegagalan lebih bisa diterima walau tetap menyesakkan hati juga. Misalnya, ketika gagal ujian seleksi masuk universitas yang diharapkan atau gagal mendapat pekerjaan, kendali kita tidak begitu besar, bukan? Kita sudah mengerjakan tes dengan sebaik-baiknya, tetapi ternyata kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan tidak sesuai dengan diri kita, atau kuota kelas di jurusan yang kita inginkan sudah penuh. Akan tetapi, ketika menghadapi ujian akhir semester, membawakan presentasi, mengikuti perlombaan, menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan, atau contoh lain yang pernah kamu alami, berhasil atau gagalnya sangat ditentukan oleh usaha yang kita kerahkan. Kita yang pegang kendali. Kita yang bertanggung jawab. Maka, ketika mengalami kegagalan, biasanya lebih terasa ‘sakit’-nya.


Tak jarang kita menyalahkan orang lain atau lingkungan sebagai penyebab kegagalan. “Gara-gara hujan, nih!” “Jalanan macet.” “Timnya ga kompak.” “Dia ga mengerjakan seperti yang saya minta.” Ada pula orang-orang yang cenderung menyalahkan diri, yang biasanya menjadi murung, menyesali diri, hingga capek sendiri. Lalu, apakah jangan-jangan kita juga tergoda untuk menyalahkan Tuhan?

Kita mungkin bertanya, mengapa Tuhan mengizinkan saya mengalami kegagalan? Mari kita simak kutipan berikut. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rom. 8:28). Dengan jelas disebutkan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu, dan semua itu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Barangkali pertanyaan sebelumnya perlu kita ubah, bukan tergoda untuk menyalahkan Tuhan, tetapi sebaiknya kita tergoda untuk bertanya pada Tuhan, “Karakter apa, kesadaran apa, potensi apa yang ingin Tuhan bentuk dalam diri saya melalui peristiwa kegagalan ini?”

Maka, kegagalan juga adalah anugerah, seperti halnya keberhasilan. Sulit memang, membayangkan kegagalan sebagai hadiah. Mana mungkin bersorak gembira ketika mengalami kegagalan? Dan ternyata penyebabnya sederhana, kok. Sejak kecil, yang kita pahami adalah, keberhasilan itu diapresiasi, sedangkan kegagalan itu disesali. Anak yang mendapat nilai bagus dalam berhitung dipuji-puji oleh orangtuanya. Anak yang keliru menghitung perkalian sebagai penjumlahan, bisa jadi dimarahi. Semakin dewasa, kita belajar untuk menghindari kegagalan, karena dampaknya tidak mengenakkan. Karena takut gagal, kita juga takut mencoba. Padahal, tanpa mengalami kegagalan, kita minim pengalaman, bukan? Tanyakan pada semua orang sukses atau cek dalam biografi mereka; mereka pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya, yang akhirnya membuat mereka semakin mahir mengatasi berbagai bentuk rintangan.

Kalau begitu, apa yang masih ditakutkan dari kegagalan? Perasaan menyesak yang saya tulis di atas? Rasa-rasa itu boleh ada sebagai pewarna kehidupan, tetapi tenang, itu semua bukan masalah besar. Salah satu tips, lakukan setiap usaha dengan maksimal, sehingga tidak ada yang perlu disesali ketika gagal. Saran ini bisa dibuktikan, kok, karena saya sering mengalaminya. Ketika usaha yang dilakukan belum maksimal, ada saja yang bisa dikritisi dan disesalkan sebagai penyebab kegagalan. Tetapi ketika sudah melakukan dengan sebaik-baiknya dan percaya pada penyelenggaraan-Nya, apa pun hasil yang diperoleh –berhasil atau gagal, senang atau kecewa- selalu menjadi pengalaman luar biasa.

0 responses: