“Ah…angkatan sekarang lebih manja dari angkatan gw”, ungkap salah seorang senior. Oo… jadi orang muda sekarang, tuh, lebih manja, ya, dari generasi sebelumnya? Ets, jangan ge-er dulu, yang lebih senior belasan tahun ikut menimpali, “Angkatan kalian juga manja dibanding kami dulu.” Sepertinya, sampai angkatan kakek-nenek kita juga akan berkomentar senada, ya.
Sekarang ini, hampir semua kebutuhan memang bisa dipenuhi
semudah menekan tombol. Apa masih ada resto yang tidak menyediakan delivery service? Bahkan warteg pun
punya touch-screen, maksudnya kita
tinggal menunjuk makanan yang dipilih dari lemari kaca pemilik warung. Segala
informasi juga mudah diperoleh, cukup mengetikkan apa yang ingin diketahui di
layar “mbah” Google. Berdagang pun bisa dilakukan dengan transaksi via telepon,
SMS, e-mail, transfer uang, kemudian barang terkirim. Kalau generasi terdahulu butuh
banyak kertas ketika mengetik berulang-ulang dengan mesin ketik, kita hanya
perlu menekan tombol delete di
komputer. Ya, benar sih, hampir segala hal menjadi lebih mudah.
Lalu, kata orang, semua kemudahan
dan proses instan ini membuat generasi sekarang menjadi manja. Kalau dahulu
orang rela berangkat jauh lebih awal dari waktu yang dijanjikan, mempersiapkan
diri sebaik-baiknya untuk mengantisipasi segala hambatan, sehingga bisa tiba
tepat waktu, kini kita bisa dengan mudah memundurkan jadwal atau mengganti
janji temu melalui SMS atau telepon, hanya karena alasan macet, hujan,
pekerjaan belum selesai, mengantuk, dan sebagainya. Tampaknya, dengan adanya
kemudahan, kita membuat banyak pengecualian (excuse) pada diri kita.
Apabila kita menyalahkan teknologi,
rasanya tidak tepat. Jika ditelusuri lagi, perilaku manja juga ada pada
generasi-generasi terdahulu. Perilaku manja menjadi bermasalah ketika perilaku
yang umumnya terjadi pada masa kanak-kanak ini masih terbawa hingga dewasa, dan
justru merugikan orang lain. Benang merah perilaku ini tampak dalam ciri-ciri
selalu mengharapkan dan tergantung pada bantuan orang lain untuk mengerjakan
hal-hal yang dapat dikerjakan sendiri, memaksa orang lain agar keinginannya
terpenuhi, serta mudah menyerah karena daya juang (endurance) yang rendah (Hawadi, 2001). Berdasarkan ciri-ciri
tersebut, perilaku ini kelak juga bisa merugikan diri orang yang manja, bukan?
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa seseorang yang manja mengalami
hambatan penyesuaian diri dalam pergaulan. Di samping itu, karena terbiasa
keinginannya terpenuhi dan harus tergantung pada orang lain, tampaknya ia akan butuh
ekstra usaha untuk menghadapi tantangan dunia yang lebih kompleks.
Kemandirian
Berkebalikan dengan sikap manja
adalah kemandirian. Idealnya, ketika seseorang menginjak usia remaja, sikap
manja tergantikan dengan sikap mandiri. Seseorang yang mandiri mampu mengambil
keputusan sendiri dan mengerahkan kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan.
Tidak mengherankan bila orang yang mandiri akan lebih percaya diri dan diterima
baik oleh lingkungan sosialnya. Ketika mengambil keputusan, ia telah mengukur
kekuatan dan kelemahan dirinya, sumber daya yang dimilikinya, dan konsekuensi
dari keputusannya, tidak hanya terhadap dirinya tetapi juga terhadap orang lain.
Kalau begitu, mana yang lebih menyenangkan, bekerja sama dengan orang yang
manja atau orang yang mandiri? Selain itu, bagi perkembangan diri kita sendiri,
memiliki sikap mandiri jauh lebih efektif dibandingkan sikap manja.
Lalu, bagaimana caranya menjadi
mandiri?
- Mulailah mengambil inisiatif sendiri ketika menghadapi kesulitan.
- Tahan keinginan untuk selalu bertanya atau meminta orang lain yang mengambil keputusan.
- Buat pertimbangan mengenai berbagai pilihan dan konsekuensi.
- Ketika menghadapi rintangan, tetaplah berusaha sambil mencari berbagai cara kreatif.
Pada akhirnya, kita bisa menepis penilaian manja dari para
senior. Dan beruntunglah kita, karena justru kemudahan teknologi membantu kita
menjadi kreatif dan solutif.
Sumber:
Hawadi Akbar, Reni. 2001. Psikologi
Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak. Jakarta: PT.
Grasindo
0 responses:
Posting Komentar