12 Juli 2013

Menyikapi kesalahan

Berbuat salah itu lumrah. Apa yang kamu lakukan jika berbuat salah?
  •          Menutupinya agar tidak diketahui orang lain
  •          Mengakuinya
  •          Melupakannya
  •          Berbohong
  •          Kabur
  •          Melemparkan kesalahan pada orang lain
  •          Mencari tahu penyebabnya dan memperbaikinya
  •     atau yang lainnya?

Ada banyak cara yang biasa kita lakukan dalam menyikapi kesalahan. Kesalahan itu sendiri ada banyak macamnya. Kesalahan yang disengaja dan tidak disengaja. Kesalahan sepele hingga kesalahan yang merusak, bahkan menyangkut nyawa. Kesalahan terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri. Kesalahan yang mengandung hukuman dan yang bisa diabaikan. Tetapi, ada pula kesalahan yang membuatmu ingin menghilang ditelan bumi. Coba kamu ingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukan. Bagaimana perasaanmu saat dan setelah melakukannya?

Menyadari bahwa kita melakukan kesalahan, tentu tidak enak rasanya, ya. Tetapi ada juga, mungkin kita mengalaminya, yang menjadikan kesalahan sebagai kebiasaan. Orang-orang di sekitar kita mungkin bertanya-tanya, mengapa kita tidak juga jera?

“Efek domino” kesalahan
Bayangkan kisah ini. Seorang pemuda 18 tahun melamar kerja sebagai operator mesin fotokopi di sebuah kios. Oleh pemilik kios, pemuda ini diterima dan diminta langsung bekerja hari itu. Tentu pemuda ini senang sekali. Ia memperhatikan dengan seksama cara pengoperasian mesin fotokopi yang diajarkan boss-nya. Tak berapa lama, ia mendapat pesanan dari konsumen. Mulai dari fotokopi KTP, soal latihan SBMPTN, hingga buku setebal 200 halaman berhasil ia layani. Saat kios sepi, pemuda ini diijinkan beristirahat. Sambil minum kopi, tiba-tiba seorang konsumen datang ingin memfotokopi sertifikat dan dengan segera pemuda ini meletakkan gelas kopinya. Ketika mengambil kertas dari rak, tanpa sengaja ia menyenggol gelas dan kopi tumpah mengenai sertifikat. Sang konsumen lantas berteriak marah hingga terdengar oleh pemilik kios. Mengetahui kecerobohan ini, pemilik kios pun tersulut marahnya. Ucapan maaf berulang kali dari pemuda ini tidak berhasil menyelamatkan dirinya dari pemecatan. Pemuda ini pun pergi sambil berjalan terhuyung. Pekerjaan yang baru didapatnya hilang di depan mata. Ia sangat menyesali kecerobohannya lalu terbayang dalam pikirannya segala kecerobohan yang pernah dilakukannya di masa lalu. Semakin menyesal, semakin galau, semakin tak tentu langkah kakinya, sampai-sampai ia dikagetkan pekik klakson yang seakan persis di sebelah telinganya. Memang benar, antara dirinya dan mobil hanya berjarak sejengkal saja karena sebelumnya pemuda ini secara tiba-tiba membelokkan langkahnya hendak menyeberang jalan. Pengendara mobil pun berteriak-teriak mengumpat pemuda ini. Hingga beberapa lama, sang pengendara mobil masih diliputi kekesalan bercampur kaget, maka ketika menjawab panggilan telepon dari istrinya, nada bicaranya masih tinggi. Sang istri yang tak senang mendengar sambutan seperti itu semakin memperkuat anggapannya selama ini bahwa hubungannya dengan suaminya sudah tidak cocok. Kekesalannya lalu dilampiaskan pada anak bungsunya yang terlambat tiba di rumah karena mengerjakan tugas bersama teman-teman di sekolah.

Oke, kita cukupkan cerita yang semakin ruwet ini. Semua bermula dari kesalahan kecil yang dilakukan tanpa sengaja tetapi “efek domino”-nya menembus kehidupan beragam manusia. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Jika kesalahan tak sengaja bisa berdampak seperti ini, bagaimana dengan kesalahan yang disengaja dan dilakukan berulang kali, ya? Apa pernah terpikirkan dampaknya?

Memaafkan diri
Ketika berbuat salah pada orang lain, kita ingin meminta maaf. Dengan maaf, kita berharap kesalahan bisa terhapus dan kita terbebas dari rasa bersalah. Bagi kamu yang pernah mengalami rasa bersalah, tentu kamu tahu bagaimana tidak enaknya perasaan itu. Nah, kalau begitu, coba jawab pertanyaan ini. Manakah yang lebih sulit, meminta maaf atau memaafkan?

Saya termasuk yang menjawab bahwa memaafkan lebih sulit. Memaafkan merupakan tindakan memberi. Seringkali, memberi lebih sulit dibandingkan meminta. Memberi maaf tidak cukup satu kali, tetapi setiap kali kita mengingat kesalahan tersebut. Sementara meminta maaf, ketika satu kali sudah mendapat maaf, rasanya kita bisa lega dan terbebas dari rasa salah itu (meskipun tergantung juga berat ringannya kesalahan).

Jika demikian, berbuat salah itu sesungguhnya melatih kita untuk memaafkan diri. Dengan berbuat salah, kita diberi kesempatan belajar untuk mengenal diri dan lingkungan. Kita belajar menerima diri secara utuh –menyadari kelebihan dan kekurangan- dan pada akhirnya belajar menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.

One way ticket
Ketika menyadari bahwa kesalahan memiliki “efek domino”, jangan lantas takut bertindak lalu menutup diri dalam tempurung. Berbuat salah itu manusiawi. Bukankah ini pula gunanya waktu? Waktu memberi kesempatan pada kita untuk belajar dari kesalahan. Tetapi, perlu diingat bahwa untuk setiap kesalahan berlaku “one way ticket”, sekali jalan. Artinya, kesalahan yang telah lalu tidak bisa dibatalkan, sekalipun dengan permintaan maaf dan usaha-usaha koreksi. Perbaikan atau koreksi hanya menghadirkan hal baru di masa kini, bukan meniadakan kesalahan di masa lalu. Maka yang berlaku adalah tekad baru, untuk bertindak, berkata-kata, dan berpikir dengan cara yang lebih baik.

2 responses:

Unknown mengatakan...

Benar ya, Mi.. ternyata kalau berbuat salah, harus meminta maaf [mungkin berkali-kali] dan memberi maaf ke diri sendiri [juga berkali-kali].. Thanks for sharing..

mia marissa mengatakan...

yang mana kadang tidak mudah memberi maaf ke diri sendiri ya :)
Terima kasih kembali, Lin..