Berbuat salah itu lumrah. Apa
yang kamu lakukan jika berbuat salah?
- Menutupinya agar tidak diketahui orang lain
- Mengakuinya
- Melupakannya
- Berbohong
- Kabur
- Melemparkan kesalahan pada orang lain
- Mencari tahu penyebabnya dan memperbaikinya
- atau yang lainnya?
Ada
banyak cara yang biasa kita lakukan dalam menyikapi kesalahan. Kesalahan itu sendiri
ada banyak macamnya. Kesalahan yang disengaja dan tidak disengaja. Kesalahan
sepele hingga kesalahan yang merusak, bahkan menyangkut nyawa. Kesalahan terhadap
orang lain dan terhadap diri sendiri. Kesalahan yang mengandung hukuman dan
yang bisa diabaikan. Tetapi, ada pula kesalahan yang membuatmu ingin menghilang
ditelan bumi. Coba kamu ingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukan. Bagaimana
perasaanmu saat dan setelah melakukannya?
Menyadari
bahwa kita melakukan kesalahan, tentu tidak enak rasanya, ya. Tetapi ada juga,
mungkin kita mengalaminya, yang menjadikan kesalahan sebagai kebiasaan.
Orang-orang di sekitar kita mungkin bertanya-tanya, mengapa kita tidak juga
jera?
“Efek domino” kesalahan
Bayangkan kisah ini.
Seorang pemuda 18 tahun melamar kerja sebagai operator mesin fotokopi di sebuah
kios. Oleh pemilik kios, pemuda ini diterima dan diminta langsung bekerja hari
itu. Tentu pemuda ini senang sekali. Ia memperhatikan dengan seksama cara
pengoperasian mesin fotokopi yang diajarkan boss-nya.
Tak berapa lama, ia mendapat pesanan dari konsumen. Mulai dari fotokopi KTP,
soal latihan SBMPTN, hingga buku setebal 200 halaman berhasil ia layani. Saat
kios sepi, pemuda ini diijinkan beristirahat. Sambil minum kopi, tiba-tiba
seorang konsumen datang ingin memfotokopi sertifikat dan dengan segera pemuda
ini meletakkan gelas kopinya. Ketika mengambil kertas dari rak, tanpa sengaja
ia menyenggol gelas dan kopi tumpah mengenai sertifikat. Sang konsumen lantas
berteriak marah hingga terdengar oleh pemilik kios. Mengetahui kecerobohan ini,
pemilik kios pun tersulut marahnya. Ucapan maaf berulang kali dari pemuda ini
tidak berhasil menyelamatkan dirinya dari pemecatan. Pemuda ini pun pergi sambil
berjalan terhuyung. Pekerjaan yang baru didapatnya hilang di depan mata. Ia
sangat menyesali kecerobohannya lalu terbayang dalam pikirannya segala kecerobohan
yang pernah dilakukannya di masa lalu. Semakin menyesal, semakin galau, semakin
tak tentu langkah kakinya, sampai-sampai ia dikagetkan pekik klakson yang
seakan persis di sebelah telinganya. Memang benar, antara dirinya dan mobil
hanya berjarak sejengkal saja karena sebelumnya pemuda ini secara tiba-tiba membelokkan
langkahnya hendak menyeberang jalan. Pengendara mobil pun berteriak-teriak
mengumpat pemuda ini. Hingga beberapa lama, sang pengendara mobil masih
diliputi kekesalan bercampur kaget, maka ketika menjawab panggilan telepon dari
istrinya, nada bicaranya masih tinggi. Sang istri yang tak senang mendengar
sambutan seperti itu semakin memperkuat anggapannya selama ini bahwa
hubungannya dengan suaminya sudah tidak cocok. Kekesalannya lalu dilampiaskan
pada anak bungsunya yang terlambat tiba di rumah karena mengerjakan tugas bersama
teman-teman di sekolah.
Oke,
kita cukupkan cerita yang semakin ruwet ini. Semua bermula dari kesalahan kecil
yang dilakukan tanpa sengaja tetapi “efek domino”-nya menembus kehidupan
beragam manusia. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Jika
kesalahan tak sengaja bisa berdampak seperti ini, bagaimana dengan kesalahan
yang disengaja dan dilakukan berulang kali, ya? Apa pernah terpikirkan
dampaknya?
Memaafkan diri
Ketika berbuat salah pada
orang lain, kita ingin meminta maaf. Dengan maaf, kita berharap kesalahan bisa
terhapus dan kita terbebas dari rasa bersalah. Bagi kamu yang pernah mengalami
rasa bersalah, tentu kamu tahu bagaimana tidak enaknya perasaan itu. Nah, kalau
begitu, coba jawab pertanyaan ini. Manakah yang lebih sulit, meminta maaf atau
memaafkan?
Saya
termasuk yang menjawab bahwa memaafkan lebih sulit. Memaafkan merupakan
tindakan memberi. Seringkali, memberi lebih sulit dibandingkan meminta. Memberi
maaf tidak cukup satu kali, tetapi setiap kali kita mengingat kesalahan
tersebut. Sementara meminta maaf, ketika satu kali sudah mendapat maaf, rasanya
kita bisa lega dan terbebas dari rasa salah itu (meskipun tergantung juga berat
ringannya kesalahan).
Jika
demikian, berbuat salah itu sesungguhnya melatih kita untuk memaafkan diri. Dengan
berbuat salah, kita diberi kesempatan belajar untuk mengenal diri dan
lingkungan. Kita belajar menerima diri secara utuh –menyadari kelebihan dan kekurangan-
dan pada akhirnya belajar menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.
“One way ticket”
Ketika
menyadari bahwa kesalahan memiliki “efek domino”, jangan lantas takut bertindak
lalu menutup diri dalam tempurung. Berbuat salah itu manusiawi. Bukankah ini
pula gunanya waktu? Waktu memberi kesempatan pada kita untuk belajar dari kesalahan.
Tetapi, perlu diingat bahwa untuk setiap kesalahan berlaku “one way ticket”, sekali jalan. Artinya,
kesalahan yang telah lalu tidak bisa dibatalkan, sekalipun dengan permintaan
maaf dan usaha-usaha koreksi. Perbaikan atau koreksi hanya menghadirkan hal
baru di masa kini, bukan meniadakan kesalahan di masa lalu. Maka yang berlaku
adalah tekad baru, untuk bertindak, berkata-kata, dan berpikir dengan cara yang
lebih baik.
2 responses:
Benar ya, Mi.. ternyata kalau berbuat salah, harus meminta maaf [mungkin berkali-kali] dan memberi maaf ke diri sendiri [juga berkali-kali].. Thanks for sharing..
yang mana kadang tidak mudah memberi maaf ke diri sendiri ya :)
Terima kasih kembali, Lin..
Posting Komentar