Berbuat salah itu lumrah. Apa
yang kamu lakukan jika berbuat salah?
- Menutupinya agar tidak diketahui orang lain
- Mengakuinya
- Melupakannya
- Berbohong
- Kabur
- Melemparkan kesalahan pada orang lain
- Mencari tahu penyebabnya dan memperbaikinya
- atau yang lainnya?
Ada
banyak cara yang biasa kita lakukan dalam menyikapi kesalahan. Kesalahan itu sendiri
ada banyak macamnya. Kesalahan yang disengaja dan tidak disengaja. Kesalahan
sepele hingga kesalahan yang merusak, bahkan menyangkut nyawa. Kesalahan terhadap
orang lain dan terhadap diri sendiri. Kesalahan yang mengandung hukuman dan
yang bisa diabaikan. Tetapi, ada pula kesalahan yang membuatmu ingin menghilang
ditelan bumi. Coba kamu ingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukan. Bagaimana
perasaanmu saat dan setelah melakukannya?
Menyadari
bahwa kita melakukan kesalahan, tentu tidak enak rasanya, ya. Tetapi ada juga,
mungkin kita mengalaminya, yang menjadikan kesalahan sebagai kebiasaan.
Orang-orang di sekitar kita mungkin bertanya-tanya, mengapa kita tidak juga
jera?
“Efek domino” kesalahan

Oke,
kita cukupkan cerita yang semakin ruwet ini. Semua bermula dari kesalahan kecil
yang dilakukan tanpa sengaja tetapi “efek domino”-nya menembus kehidupan
beragam manusia. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Jika
kesalahan tak sengaja bisa berdampak seperti ini, bagaimana dengan kesalahan
yang disengaja dan dilakukan berulang kali, ya? Apa pernah terpikirkan
dampaknya?
Memaafkan diri
Ketika berbuat salah pada
orang lain, kita ingin meminta maaf. Dengan maaf, kita berharap kesalahan bisa
terhapus dan kita terbebas dari rasa bersalah. Bagi kamu yang pernah mengalami
rasa bersalah, tentu kamu tahu bagaimana tidak enaknya perasaan itu. Nah, kalau
begitu, coba jawab pertanyaan ini. Manakah yang lebih sulit, meminta maaf atau
memaafkan?
Saya
termasuk yang menjawab bahwa memaafkan lebih sulit. Memaafkan merupakan
tindakan memberi. Seringkali, memberi lebih sulit dibandingkan meminta. Memberi
maaf tidak cukup satu kali, tetapi setiap kali kita mengingat kesalahan
tersebut. Sementara meminta maaf, ketika satu kali sudah mendapat maaf, rasanya
kita bisa lega dan terbebas dari rasa salah itu (meskipun tergantung juga berat
ringannya kesalahan).
Jika
demikian, berbuat salah itu sesungguhnya melatih kita untuk memaafkan diri. Dengan
berbuat salah, kita diberi kesempatan belajar untuk mengenal diri dan
lingkungan. Kita belajar menerima diri secara utuh –menyadari kelebihan dan kekurangan-
dan pada akhirnya belajar menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.
“One way ticket”
Ketika
menyadari bahwa kesalahan memiliki “efek domino”, jangan lantas takut bertindak
lalu menutup diri dalam tempurung. Berbuat salah itu manusiawi. Bukankah ini
pula gunanya waktu? Waktu memberi kesempatan pada kita untuk belajar dari kesalahan.
Tetapi, perlu diingat bahwa untuk setiap kesalahan berlaku “one way ticket”, sekali jalan. Artinya,
kesalahan yang telah lalu tidak bisa dibatalkan, sekalipun dengan permintaan
maaf dan usaha-usaha koreksi. Perbaikan atau koreksi hanya menghadirkan hal
baru di masa kini, bukan meniadakan kesalahan di masa lalu. Maka yang berlaku
adalah tekad baru, untuk bertindak, berkata-kata, dan berpikir dengan cara yang
lebih baik.
2 responses:
Benar ya, Mi.. ternyata kalau berbuat salah, harus meminta maaf [mungkin berkali-kali] dan memberi maaf ke diri sendiri [juga berkali-kali].. Thanks for sharing..
yang mana kadang tidak mudah memberi maaf ke diri sendiri ya :)
Terima kasih kembali, Lin..
Posting Komentar