Memperjuangkan ide. Bukan, lebih dari itu. Memperjuangkan nilai keadilan. Ini bukan soal uang, bukan juga soal pengakuan semata.
Saya teringat obrolan dalam salah satu grup social media antarteman-kuliah belum lama ini. Kami
pernah membahas tentang pencurian ide yang terjadi di tempat kerja. Topik ini
memang bukan topik baru yang sedang tren. Topik ini seklasik masalah-masalah
yang dijumpai dalam dunia kerja pada umumnya. Rekan kerja mencuri ide, atasan
mengambil ide bawahan sebagai miliknya, dan sebagainya.
Boleh dibilang, saya pernah mengalaminya juga. Perlu saya
sampaikan di awal bahwa penilaian tentang ‘ide saya diambil’ bisa saja
subjektif. Maksudnya, mungkin itu hanya perasaan saya saja. Hanya dugaan. Tapi
justru karena subyektivitas itulah, saya mengangkatnya dalam tulisan ini dengan
maksud menyampaikan beragam perspektif mengenai topik ini.
Waktu itu, saya sering mengutarakan setiap ide yang muncul kepada
atasan saya. Saya beruntung berada dalam organisasi yang memiliki hubungan
akrab antara atasan dan bawahan. Saya pun tidak sungkan untuk menyampaikan
gagasan baik dalam situasi formal dan informal. Kami bersama beberapa rekan
kerja yang lain bahkan pernah meluangkan akhir pekan bersama dalam suasana
santai untuk membicarakan ide-ide yang dapat menjadi terobosan untuk
pengembangan karyawan. Dedikasi kami terhadap perusahaan memang tak perlu diragukan
kala itu. Tak lama berselang, saya mendengar kabar bahwa perusahaan membuat
rangkaian program pemberdayaan karyawan. Atasan saya menjadi salah satu
penggerak program tersebut. Beberapa program terdengar mirip dengan gagasan
yang pernah saya lontarkan. Waktu itu saya belum terpikir untuk menerka
penyebab kemiripan tersebut.
Pada kejadian berikutnya, tidak hanya sekali, juga terjadi bahwa
ide spontan yang saya sampaikan kemudian menjadi program kerja. Bahkan pernah
suatu kali saya dengar dari teman bahwa atasan saya mengatakan bahwa ia yang
merancang program tersebut. Sempat terkejut? Tentu saja. Sebal? Umm…mungkin
ada, sedikit. Entah karena kepolosan saya, atau rasionalisasi diri yang bekerja
mengabaikan ego, atau bekal dari pelatihan karakter yang pernah saya peroleh,
saya langsung berpikir bahwa hal tersebut bukan masalah besar.
Saya berkata pada diri sendiri, “Tidak masalah. Tidak perlu
khawatir jika idemu diambil orang. Kalau idemu digunakan, justru itu bagus,
dong? Berarti idemu bermanfaat, bukan? Toh, tujuanmu menciptakan ide adalah
hasil akhirnya, kan? Tidak masalah jika bukan dirimu yang melaksanakannya. Yang
penting adalah outputnya, yaitu kualitas yang lebih baik. Memangnya kamu perlu
pengakuan dari orang-orang bahwa itu idemu? Ide itu hanya sebagian kecil dari
ide-ide yang kamu miliki, bukan? Ingat, orang kreatif tidak pernah kehabisan
ide. Biarkan orang lain mengambilnya, kamu akan tetap mampu menghasilkan ide
baru. Jadi, untuk apa merepotkan diri dengan menggerutu atau memusingkannya?” (baca
juga: Apa idemu?)
Ya, itulah sikap saya terhadap pencurian ide. Dan saya memang tak
pernah memusingkannya. Tak pernah merasa perlu untuk menuntut pengakuan atau
apa pun itu. Dan memang ini bukan masalah besar buat saya. Lagipula, semua ini
juga hanya berdasar pada asumsi dan dugaan. Tak ada bukti. Hanya pada tataran
ide. Dan siapa pun sah untuk mendapat inspirasi dari mana saja, termasuk saya
dan atasan saya itu.
Nah, inilah bedanya dengan sikap Dr. Robert Kearns (1927-2005).
Beliau adalah penemu sistem kipas kaca intermitten (intermittent windshield
wiper) yang digunakan pada
kebanyakan mobil sejak 1969 hingga sekarang. Kisah penemuannya begitu fenomenal
hingga dibukukan dan difilmkan. Baru saja saya menonton filmnya, Flash of Genius (2008). Singkatnya, Dr. Kearns –yang
dibintangi oleh Greg Kinnear- menemukan mekanisme kerja wiper otomatis. Didorong oleh rekannya, ia
sampaikan ide tersebut kepada Ford Motor Company. Secara lisan, Ford menyatakan
sepakat bekerja sama dengan Kearns. Negosiasi dilakukan dan Kearns meminjamkan
prototipe wiper buatannya. Namun kemudian Ford membatalkan secara sepihak dan
tanpa sepengetahuan Kearns, Ford menggunakan ide Kearns dan memproduksi wiper
tersebut untuk produk Mustang terbaru secara masal. Kearns, yang sudah
mendaftarkan hak paten untuk wiper tersebut, menuntut Ford untuk mengakui
kepada publik bahwa Ford telah mengambil ide Kearns. Tampak tak masuk akal
memang, seorang pria biasa melawan korporasi raksasa. Bahkan perjuangannya ia
lakukan sendirian, karena pengacara pun mengundurkan diri dari kasus ini.
Perjuangannya tidak sia-sia. Oleh pengadilan, Ford Motor Company
dinyatakan melanggar hak cipta dan dituntut ganti rugi. Dr. Kearns memenangkan
pertarungan tersebut meski ia harus membayar mahal. Ya, momen 12 tahun bersama
keluarganya ia korbankan dan ia pun sempat mengalami gangguan mental akibat
kasus yang menyita hidupnya ini. Dalam pikiran orang sehat –mereka yang
menganggap sebagai pikiran waras-, Kearns mungkin dianggap berlebihan. Untuk
apa memperjuangkan tuntutan dengan sebegitu militannya? Padahal Ford Motor
Company sudah memberi penawaran damai mulai dari 1 hingga 30 juta dollar dan
ditolak mentah-mentah oleh Kearns. Jumlah yang lebih dari cukup untuk masa
depan keenam anaknya pada era 1980-an itu. Apa yang Dr. Kearns cari? Pengakuan
dan titel sebagai penemu?
Tapi akhirnya saya mengerti.
Bukan, ini bukan soal uang. Bukan pula pengakuan dan harga diri
semata. Ini soal nilai kebenaran dan keadilan. Jika Dr. Kearns mengalah dan
berdamai, tindakannya hanya semakin mengukuhkan bahwa tidak ada peluang bagi
penemu independen untuk memperjuangkan haknya dan bahwa perusahaan besar selalu
punya kuasa dan uang untuk membeli ide. Disebutkan juga dalam kisah Dr. Kearns,
bahwa ia mendapat banyak dukungan dari para penemu amatir lainnya, orang-orang
yang pernah mengalami nasib serupa dan berhenti berjuang karena tidak ada
harapan. Perjuangan Dr. Kearns mewakili perjuangan mereka.
“Money never was the point anyway. I've done too much hurting," Kearns says. "I want to protect other inventors by showing the little guy can win." (www.people.comVol.34, 1990).
“Money never was the point anyway. I've done too much hurting," Kearns says. "I want to protect other inventors by showing the little guy can win." (www.people.comVol.34, 1990).
Bukankah hal semacam ini sering terjadi? Maksud saya, bahwa “uang
damai” menjadi solusi yang ditawarkan dalam hampir semua masalah pelanggaran?
Jika dengan mudahnya orang menerima uang damai, mungkin masalahnya memang
selesai. Toh, masalah pelanggaran ide semacam ini bukan pelanggaran pidana yang
menyangkut nyawa. Tapi lihat, bayangkan, apa dampaknya 10 tahun, atau 20 tahun
yang akan datang jika semua kasus ditutup dengan uang damai? Akankah ada
peluang bagi hak orang-orang benar?
Dengan mengangkat kisah saya sendiri di awal tulisan, saya sama
sekali tidak bermaksud ikut-ikutan menuntut seperti yang Dr. Kearns lakukan.
Saya dan banyak orang lain pasti memiliki preferensi masing-masing dalam
menyikapi pencurian ide. Yang jelas, film Flash of Genius mengajarkan saya
perspektif baru, tentang memperjuangkan hal benar, bukan hanya demi diri
sendiri tetapi untuk keberlangsungan hidup manusia. Terdengar berat? Terlalu
serius? Silakan Anda menilainya sendiri J
3 responses:
: Tulisan yang menginspirasi nilai-nilai kebenaran sebagai nilai luhur lagi ksatria.
: To be or not to be, that is the question. (Per aspera ad astra)
: Tulisan yang menginspirasi nilai-nilai kebenaran sebagai nilai luhur lagi ksatria.
: To be or not to be, that is the question. (Per aspera ad astra)
Terima kasih Mas Djony, untuk apresiasinya :)
Posting Komentar