15 Juli 2012

Bebas dari perasaan negatif & positif

“…jika Anda tidak mempunyai perasaan negatif, Anda dapat bertindak lebih efektif, jauh lebih efektif dibandingkan bila Anda dikuasai oleh perasaan negatif”(Anthony de Mello)
Membaca kalimat membuat saya bertanya-tanya. Apakah kalimat ini juga berlaku untuk perasaan positif? Maksudnya, bila membebaskan diri dari perasaan positif terhadap orang lain, apakah ini akan membuat tindakan lebih efektif, karena mungkin saja perasaan positif juga menimbulkan bias?
Simak beberapa contoh berikut ini.

Pertama, saya pernah dikecewakan oleh seorang teman yang terlambat datang hingga 1 jam. Untuk rencana pertemuan berikutnya saya sudah terlanjur berperasaan negatif. Maka saya sengaja menetapkan waktu bertemu 1 jam lebih awal, sedangkan saya datang melewati tiga perempat jam dari yang dijanjikan. Atau saya tetap membuat janji bertemu sesuai waktunya, lalu sebelum berangkat saya sudah ngedumel, sudah membangun keyakinan dalam diri saya bahwa teman saya itu pasti terlambat. Atau ketika menentukan waktu bertemu untuk yang berikutnya, saya sudah underestimate dan dengan/tanpa sengaja menyindir teman saya itu. Intinya tindakan saya tidak efektif karena sudah dikuasai perasaan negatif itu.

Kedua, saya mengagumi seorang teman yang sangat teliti. Mengenai pekerjaan, saya menaruh kepercayaan yang tinggi padanya. Pada titik tertentu, teman saya ini melakukan kecerobohan. Saya tidak mau percaya. Saya yakin sekali bahwa teman saya ini teliti, rapi pekerjaannya. Teman saya ini memang tidak mengakui bahwa ia melakukan kecerobohan. Teman yang lain yang memberitahu, tapi tetap tidak saya dengar. Saya abaikan kesalahan teman saya itu, dan yang sebenarnya terjadi adalah saya membuat teman saya tidak menyadari perbuatannya dan tidak membantunya bertumbuh menjadi lebih baik. Tindakan saya tidak efektif karena dikuasai perasaan positif itu.

Ketiga, ada anak laki-laki usia 7 tahun. Ia baru saja melihat adegan tinju di TV. Lalu ia menghampiri kakak sepupunya, dan tiba-tiba memukul punggung kakaknya itu. Ibu anak kecil itu melihat perbuatan anaknya. Adegan berhenti di sini. Bila ibu itu dikuasai perasaan negatif –perasaan negatif karena marah pada perbuatan si anak, atau malu karena takut dianggap tidak mendidik anak dengan baik, atau kebencian yang memang sudah dipendam sejak lama pada si anak-, kelanjutan adegannya mungkin ibu itu akan menarik anaknya keluar lalu memarahi atau menghukumnya. Bila ibu itu dikuasai perasaan positif –merasa sayang karena menganggap anaknya sedang proses pertumbuhan, menganggap anaknya adalah anak yang baik maka pukulan tadi pastinya tidak keras, atau malah begitu mengasihani anaknya hingga tidak mau percaya bahwa anak itu mampu memukul-, ibu itu mungkin membiarkan perilaku anaknya, atau malah mengelus tangan anaknya yang disangkanya kesakitan setelah memukul.

Bila tidak ada perasaan positif atau negatif yang menguasai, dengan kata lain, perasaan yang netral, ibu ini akan mampu melihat apakah perbuatan anaknya ini baik atau buruk. Mungkin saja, reaksi pertamanya adalah menarik anak itu, menanyakan tentang apa yang diperbuatnya sehingga memahami maksud anak itu memukul, dan akhirnya bertindak lebih efektif.

Ketika menghadapi orang lain, ada baiknya saya tidak “dikuasai” perasaan positif maupun negatif. Ini bukan berarti menjadi orang yang tidak berperasaan. Bila saya tidak dikuasai, saya mampu melihat orang lain dengan lebih jelas dan apa adanya. Pada contoh pertama tadi, tanpa dikuasai perasaan negatif, saya akan mampu mengetahui penyebab keterlambatannya dan tidak mengkait-kaitkan keterlambatan itu dengan janji berikutnya. Pada contoh kedua, saya mampu melihat kecerobohan teman saya namun tanpa maksud menghakimi. Setelah melihat dengan jelas, perasaan positif perlu saya miliki, yaitu ketika saya memaafkan, ketika saya mau membantunya menjadi lebih baik. Perasaan positif perlu saya miliki ketika membantu orang lain bertumbuh. Sumber energi adalah cinta. Perasaan positif bersumber dari cinta juga.

Untuk mendukung ulasan ini, terdapat eksperimen di mana saya pernah terlibat di dalamnya. Eksperimennya seperti ini. Seorang sukarelawan berdiri di tengah lingkaran sementara teman-teman lainnya mengirimkan energi negatif (memikirkan dan melemparkan perasaan negatif) pada sukarelawan itu. Hasilnya, sukarelawan tsb –secara fisik- menjadi lemas. Dan perasaan tidak nyaman juga dialami teman-teman lainnya. Nyata sekali bahwa perasaan negatif melemahkan, tidak hanya pada orang yang menjadi objek, tetapi juga pada pelakunya. Rasanya ini yang dimaksud de Mello sebagai tindakan tidak efektif. Adanya energi yang tersita akan mengurangi inte
nsitas suatu tindakan. Lalu, kami juga mencoba eksperimen dengan perasaan positif. Energi positif ini memberi kekuatan bagi sukarelawan dan rasa damai bagi pelakunya. Ya, saya setuju bahwa perasaan positif (yang dasarnya adalah cinta) akan membantu orang bertumbuh.

Kembali pada pertanyaan saya di awal, saya melihat bahwa penekanan pernyataan de Mello ada pada kata  “dikuasai”. Janganlah pernah dikuasai, karena bila demikian, berarti kita tidak sadar, maka tindakan menjadi tidak efektif. Ketika saya tidak dikuasai baik oleh perasaan negatif dan positif, saya akan mampu memastikan perasaan apa yang sesungguhnya saya rasakan. Ketika tidak dikuasai, maka saya memberikan KASIH=energi positif=perasaan positif secara sadar.

0 responses: