Kesuksesan itu milik siapa?
Bertolak dari judul di atas, orang individualis akan mengatakan sukses itu miliknya. Ia sendiri yang mewujudkannya, tenaga, pikiran, waktu, materi, telah ia curahkan. Orang yang kolektivis mungkin akan mengatakan 'ah..saya sebetulnya tidak bisa apa-apa, itu karena A, si B, waktu C, ada D. Suksesnya tidak dirasakan sebagai milik sendiri. Kata teori, orang individualis melihat kepemilikan sebagai ekspresi dari identitas mereka. Pada orang kolektivis, kepemilikan lebih merupakan indikator identitas kelompok. Kelompok di sini bisa diartikan luas, mulai kelompok kecil pertemanan, keluarga, organisasi, budaya, serta situasi norma yang menyertainya.
Bukan maksud saya memisahkan kepribadian orang, karena kedua hal ini sesungguhnya tidak bertolak belakang, tapi berjalan bersamaan. Memang benar, kan, bahwa orang pertama di atas mengaku bahwa kesuksesan itu miliknya. Wong dia yang mengangkat dan mengayunkan kedua kakinya bergantian, jantungnya sendiri yang berdegup keras, kulit wajahnya sendiri yang merasakan angin menderu menabrak dirinya, peluhnya sendiri yang bercucuran dari kepalanya, nafasnya sendiri yang tersengal-sengal, hingga akhirnya dadanya sendiri yang menerabas tali finish. Ia menang!! Ia memenangkan lomba lari marathon mengalahkan ratusan peserta lainnya! Kesuksesan itu miliknya.
Apakah kemenangan ini kebetulan? Kemenangan ini, dan kesuksesan lainnya, bukan suatu ”kebetulan”. Sebuah film pernah mengangkat tema ”kebetulan” dengan permainan akting, skenario, dan pengambilan gambar yang dianggap baik pada masanya. Saya tidak tahu persis apakah film ini mendapat penghargaan atau tidak, saya tidak menaruh perhatian ke sana. Film ini berjudul Serendipity, ceritanya bukan tentang kemenangan, tapi tentang jodoh. Kok menyimpang dari topik bahasan? Bukan, maksudnya supaya mudah menjelaskan tentang kebetulan. Serendipity artinya ketaksengajaan yang menguntungkan, kurang lebih begitu. (Silakan ditonton, tapi alurnya agak monoton) Kalau memang ada kebetulan, orang sering menghubungkan itu dengan takdir atau nasib. Apa kamu setuju? Berdasarkan film itu, saya membuat pemahaman sendiri tentang takdir.
Takdir seseorang akan tergenapi jika ada will dari orang tsb. Hidup ini dipenuhi tanda-tanda (signs). Semesta menyediakan signs itu, entah seseorang menyadari atau melewatkannya. Manusia yang memutuskan, apakah akan mengikuti ajakan signs itu atau tidak. Jika kita memutuskan untuk mengabaikan signs itu, bukan berarti nasib berhenti di sana, tetap saja hidup berlanjut. Ketika kita menganggap signs itu berarti lalu kita mengejarnya (di sana ada usaha, ada will), kemudian kita menamakan itu sebagai takdir. Menurut saya manusialah yang memilih, bukan dituntun takdir. Ini mirip buku cerita anak-anak yang dulu menjadi favorit saya, buku cerita yang di setiap halamannya menyediakan pilihan kelanjutan cerita. Mungkin kamu pernah ingat dengan, ‘’Jika Pinokio memutuskan tetap bersekolah dan menolak ajakan rubah, baca hal 23”, “Jika Pinokio tertarik untuk bermain bersama kereta rubah, lanjutkan ke hal 24”.
Suatu kebetulan sering terjadi dalam hidup sehari-hari. Mungkin saja itu pertanda. Tapi jika kita merasa tanda itu tidak bermakna, ia akan lewat begitu saja. Lain halnya jika kita menanggapi suatu signs dan mengejarnya karena merasa hal itu bermakna. Saat itu semesta membantu, dan kita menganggapnya seakan takdir yang mengatur. Bukan. Itu karena will yang berasal dari dalam diri. Mungkin boleh dikatakan bahwa takdir menyuguhkan kebetulan atau ketaksengajaan itu, tapi tidak merangkainya sebagai kehidupan seseorang. Karena, jalan mana yang dipilih, di sana akan tersedia kebetulan-kebetulan juga, dan manusialah yang merangkai untaian manik-manik hidupnya. Jika dikaitkan dengan kesuksesan seorang individualis, kesuksesan itu benar miliknya karena ia yang memutuskan, ia yang merangkainya menjadi kesuksesan.
Di lain pihak, Yudi Alcampari dalam blognya (yudialcampari.blogspot., 2005) pernah mengatakan,
Saya pernah mengalami suatu kesuksesan, yang saya rasakan bukanlah milik saya sendiri. Saya pernah memenangkan juara fotografi -sudah lama sekali. Waktu itu mengikuti lomba bersama teman-teman tim ekskul SMA, jadi kami saling meminjam kamera. Foto yang menang itu hasil jepretan saya, tetapi dengan kamera teman. Jika ditelusuri lagi, kesuksesan saya itu juga hasil dukungan teman, ketika mereka menyetujui ide saya dan membuat saya terdorong untuk menjepretnya. Sama halnya dengan contoh tadi. Atlet marathon itu bisa menang, juga karena fisiknya sehat. Ia mendapat cukup asupan gizi. Akan tetapi, apa kamu tahu siapa yang menyiapkan makanannya? Siapa yang membuatkan sepatu yang telah membawanya terbang setinggi 1-1,5cm dari permukaan aspal? Saya sendiri tidak tahu siapa. Lalu,
Kalau begitu, apakah di balik kesuksesanmu ada sisi individu dan kolektifnya? Silakan menelusurinya hingga benang di pakaianmu, sayup doa dari relung hati ibumu, masinis kereta api, penerbit buku, guru-guru dan mentormu, atau mungkin dukungan teman yang memotivasi dirimu. Dengan memahami hal itu, kita akan lebih menghargai orang-orang disekitar kita, juga apa yang diberikan Sang Pencipta.
Nah, bagaimana jika posisinya diubah? Dirimulah yang berperan bagi orang lain. Ketika dengan kesal menunggu pelayanan petugas fotokopi yang baru pertama kali bekerja, pernahkah terpikir bahwa kamu memiliki andil dalam proses belajarnya? Mungkin saja setelah melayanimu, dia lebih gesit melayani pelanggan lain. Betapa dirimu memberi pengaruh besar bagi orang lain.
Orang lain bermakna bagimu –kesuksesanmu, kebahagiaanmu, kekecewaanmu, kegagalanmu (bersyukurlah telah mengalaminya)-, dan dirimu juga bermakna bagi orang lain.
Bertolak dari judul di atas, orang individualis akan mengatakan sukses itu miliknya. Ia sendiri yang mewujudkannya, tenaga, pikiran, waktu, materi, telah ia curahkan. Orang yang kolektivis mungkin akan mengatakan 'ah..saya sebetulnya tidak bisa apa-apa, itu karena A, si B, waktu C, ada D. Suksesnya tidak dirasakan sebagai milik sendiri. Kata teori, orang individualis melihat kepemilikan sebagai ekspresi dari identitas mereka. Pada orang kolektivis, kepemilikan lebih merupakan indikator identitas kelompok. Kelompok di sini bisa diartikan luas, mulai kelompok kecil pertemanan, keluarga, organisasi, budaya, serta situasi norma yang menyertainya.
Bukan maksud saya memisahkan kepribadian orang, karena kedua hal ini sesungguhnya tidak bertolak belakang, tapi berjalan bersamaan. Memang benar, kan, bahwa orang pertama di atas mengaku bahwa kesuksesan itu miliknya. Wong dia yang mengangkat dan mengayunkan kedua kakinya bergantian, jantungnya sendiri yang berdegup keras, kulit wajahnya sendiri yang merasakan angin menderu menabrak dirinya, peluhnya sendiri yang bercucuran dari kepalanya, nafasnya sendiri yang tersengal-sengal, hingga akhirnya dadanya sendiri yang menerabas tali finish. Ia menang!! Ia memenangkan lomba lari marathon mengalahkan ratusan peserta lainnya! Kesuksesan itu miliknya.
Apakah kemenangan ini kebetulan? Kemenangan ini, dan kesuksesan lainnya, bukan suatu ”kebetulan”. Sebuah film pernah mengangkat tema ”kebetulan” dengan permainan akting, skenario, dan pengambilan gambar yang dianggap baik pada masanya. Saya tidak tahu persis apakah film ini mendapat penghargaan atau tidak, saya tidak menaruh perhatian ke sana. Film ini berjudul Serendipity, ceritanya bukan tentang kemenangan, tapi tentang jodoh. Kok menyimpang dari topik bahasan? Bukan, maksudnya supaya mudah menjelaskan tentang kebetulan. Serendipity artinya ketaksengajaan yang menguntungkan, kurang lebih begitu. (Silakan ditonton, tapi alurnya agak monoton) Kalau memang ada kebetulan, orang sering menghubungkan itu dengan takdir atau nasib. Apa kamu setuju? Berdasarkan film itu, saya membuat pemahaman sendiri tentang takdir.
Takdir seseorang akan tergenapi jika ada will dari orang tsb. Hidup ini dipenuhi tanda-tanda (signs). Semesta menyediakan signs itu, entah seseorang menyadari atau melewatkannya. Manusia yang memutuskan, apakah akan mengikuti ajakan signs itu atau tidak. Jika kita memutuskan untuk mengabaikan signs itu, bukan berarti nasib berhenti di sana, tetap saja hidup berlanjut. Ketika kita menganggap signs itu berarti lalu kita mengejarnya (di sana ada usaha, ada will), kemudian kita menamakan itu sebagai takdir. Menurut saya manusialah yang memilih, bukan dituntun takdir. Ini mirip buku cerita anak-anak yang dulu menjadi favorit saya, buku cerita yang di setiap halamannya menyediakan pilihan kelanjutan cerita. Mungkin kamu pernah ingat dengan, ‘’Jika Pinokio memutuskan tetap bersekolah dan menolak ajakan rubah, baca hal 23”, “Jika Pinokio tertarik untuk bermain bersama kereta rubah, lanjutkan ke hal 24”.
Suatu kebetulan sering terjadi dalam hidup sehari-hari. Mungkin saja itu pertanda. Tapi jika kita merasa tanda itu tidak bermakna, ia akan lewat begitu saja. Lain halnya jika kita menanggapi suatu signs dan mengejarnya karena merasa hal itu bermakna. Saat itu semesta membantu, dan kita menganggapnya seakan takdir yang mengatur. Bukan. Itu karena will yang berasal dari dalam diri. Mungkin boleh dikatakan bahwa takdir menyuguhkan kebetulan atau ketaksengajaan itu, tapi tidak merangkainya sebagai kehidupan seseorang. Karena, jalan mana yang dipilih, di sana akan tersedia kebetulan-kebetulan juga, dan manusialah yang merangkai untaian manik-manik hidupnya. Jika dikaitkan dengan kesuksesan seorang individualis, kesuksesan itu benar miliknya karena ia yang memutuskan, ia yang merangkainya menjadi kesuksesan.
Di lain pihak, Yudi Alcampari dalam blognya (yudialcampari.blogspot., 2005) pernah mengatakan,
Manusia itu bukanlah makhluk yang memiliki kekuatan untuk mengukuhkan dirinya. Manusia adalah makhluk yang tak mungkin memiliki eksistensi tanpa bantuan dari sekitarnya. Sukses yang kita lakukan sesungguhnya merupakan sukses kolektif yang dilakukan orang banyak untuk kita.
Saya pernah mengalami suatu kesuksesan, yang saya rasakan bukanlah milik saya sendiri. Saya pernah memenangkan juara fotografi -sudah lama sekali. Waktu itu mengikuti lomba bersama teman-teman tim ekskul SMA, jadi kami saling meminjam kamera. Foto yang menang itu hasil jepretan saya, tetapi dengan kamera teman. Jika ditelusuri lagi, kesuksesan saya itu juga hasil dukungan teman, ketika mereka menyetujui ide saya dan membuat saya terdorong untuk menjepretnya. Sama halnya dengan contoh tadi. Atlet marathon itu bisa menang, juga karena fisiknya sehat. Ia mendapat cukup asupan gizi. Akan tetapi, apa kamu tahu siapa yang menyiapkan makanannya? Siapa yang membuatkan sepatu yang telah membawanya terbang setinggi 1-1,5cm dari permukaan aspal? Saya sendiri tidak tahu siapa. Lalu,
Pernahkah terpikir bahwa tepuk tanganmu yang bercampur dengan ribuan tepuk tangan lainnya menumbuhkan kebanggaan dalam diri orang yang menerima dukungan tsb? (Agustus 2006)
Kalau begitu, apakah di balik kesuksesanmu ada sisi individu dan kolektifnya? Silakan menelusurinya hingga benang di pakaianmu, sayup doa dari relung hati ibumu, masinis kereta api, penerbit buku, guru-guru dan mentormu, atau mungkin dukungan teman yang memotivasi dirimu. Dengan memahami hal itu, kita akan lebih menghargai orang-orang disekitar kita, juga apa yang diberikan Sang Pencipta.
Nah, bagaimana jika posisinya diubah? Dirimulah yang berperan bagi orang lain. Ketika dengan kesal menunggu pelayanan petugas fotokopi yang baru pertama kali bekerja, pernahkah terpikir bahwa kamu memiliki andil dalam proses belajarnya? Mungkin saja setelah melayanimu, dia lebih gesit melayani pelanggan lain. Betapa dirimu memberi pengaruh besar bagi orang lain.
Orang lain bermakna bagimu –kesuksesanmu, kebahagiaanmu, kekecewaanmu, kegagalanmu (bersyukurlah telah mengalaminya)-, dan dirimu juga bermakna bagi orang lain.
0 responses:
Posting Komentar