Dari artikel sebelumnya Ditemukan: The Science of Training and Development, dapat disimpulkan bahwa paradigma yang perlu diadopsi oleh praktisi training, manajer organisasi, maupun praktisi HR mengenai training di antaranya :
- Yang terpenting bukan hanya proses selama training, tetapi juga sebelum dan setelahnya.
- Berikan training kepada karyawan sebagai kesempatan, bukan tes/uji kemampuan. Sampaikan alasan pemilihan trainee karena manfaat training, bukan menyoroti kelemahan skill-nya.
- Motivasi belajar tidak semata-mata berasal dari karyawan, manager/HRD dapat berperan untuk memotivasi.
- Prestasi selama training tidak otomatis sama dengan prestasi ketika bekerja. Metode deep learning ketimbang drilling bisa menjadi solusinya.
- Metode training terbaik adalah keterlibatan aktif trainee dan umpan balik.
- Tidak masalah bila trainee melakukan kesalahan selama training. Berikan feedback konstruktif dengan menunjukkan langsung apa yang salah dan ajarkan cara mengatasinya baik pada level strategis maupun emosional sehingga trainee memiliki pemahaman yang dalam.
- Simulasi bukan soal ketepatan fisik tetapi ketepatan psikologis—yang menghadirkan perasaan dan respon yang dialami trainee dalam situasi kerja.
- Dalam menyampaikan materi training, fokuskan pada bagaimana mengakses informasi penting, bukan bagaimana mengingat segala informasi.
- Teknologi bukan dewa, ia tetap harus diterapkan secara bijaksana untuk meningkatkan efektivitas training.
- Bagaimanapun menariknya learner control, trainee tetap perlu dipandu untuk memilih apa yang harus dipelajari.
- Training bukan proses sekali jadi. Berikan banyak kesempatan pada karyawan untuk mempraktekkan keterampilan barunya atau jadwalkan mereka untuk refresher training.
Pengelola organisasi, khususnya para praktisi HR (human resources), tentu tidak asing mendengar kata training atau pelatihan. Kita mengenalnya juga dengan sebutan diklat—pendidikan dan pelatihan. Telah banyak organisasi memahami bahwa training membantu pencapaian target maupun mengurangi human error dengan cara mengedukasi tenaga kerja. Mereka memahami bahwa berinvestasi pada tenaga kerja akan memberikan hasil yang luar biasa.
Penulis pernah berkecimpung dalam dunia training selama kurang lebih 5 tahun. Tiga tahun terakhir menangani training di sebuah perusahaan mengarahkan saya pada deretan pertanyaan seputar panduan training design, training execution, training method, training evaluation, adult learning, termasuk mengapa orang diundang mengikuti training yang sama yang pernah diikutinya tahun lalu, mengapa hasil training hanya berdampak dalam hitungan minggu, dan banyak lainnya. Penulis sependapat dengan Salas et al. (2012) yang menyatakan bahwa training tidaklah seintuitif kelihatannya. Bukan sekadar “by feeling” ketika memilih metode, trainer, karyawan yang menjadi trainee, atau memperkirakan keberhasilan sebuah training. Ada ilmu yang mendasarinya, the science of training, yang menunjukkan cara yang benar dan salah dalam merancang, membawakan, dan mengimplementasikan program training.
Eduardo Salas (Institute for Simulation & Training University of Central Florida), Scott I. Tannenbaum (The Group for Organizational Effectiveness Albany New York), Kurt Krainger (Department of Psychology Colorado State University), dan Kimberly A. Smith-Jentsch (Department of Psychology University of Central Florida) melakukan penelitian tentang training—mengenai manfaat training dan cara training dirancang, dibawakan, serta diimplementasikan oleh trainee sehingga berdampak secara luar biasa terhadap efektivitas kerja.
Training yang didesain dengan baik sungguh diperlukan dan kini menjadi semacam filosofi yang dianut organisasi modern untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka. Terus belajar dan mengembangkan diri, itulah yang diperlukan untuk bertahan dalam era informasi sekarang ini. Karena itu kegiatan training & development dipercaya dapat membantu organisasi untuk melakukan adaptasi, kompetisi, inovasi, akselerasi, produksi, peningkatan pelayanan, serta pencapaian target. Salas mencatat berdasarkan literatur dari Patel (2010), organisasi di Amerika menginvestasikan US$135 miliar per tahun untuk training. Mereka percaya bahwa tenaga kerja yang terampil mencerminkan keuntungan kompetitif. Menurut sumber (2007), perusahaan di Asia menganggarkan rata-rata US$ 543 per tahun. Sementara di Indonesia--mengambil contoh perusahaan tempat penulis dulu bekerja-- anggaran training mencapai 800 juta hingga 1 miliar rupiah per tahun. Lalu, apakah hasil dari investasi ini berdampak signifikan?
Dalam beberapa posting berikutnya, saya akan meringkas hasil penelitian Salas et. al bertajuk The Science of Training and Development in Organizations : What Matters in Practice yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science in the Public Interest (2012) oleh Association for Psychological Science. Dengan mengacu pada beberapa literatur, mereka menjelaskan tentang apa itu training, mengapa penting, serta memberikan rekomendasi implementasi program training dalam organisasi.
0 responses:
Posting Komentar