Merawat anak kecil menumbuhkan harapan. Setiap hari baru, setiap bulan baru, setiap kali ia menguasai suatu
kemampuan baru, ada sukacita, kegembiraan, dan harapan, melihatnya
semakin terampil, semakin sehat, semakin cerdas.
Merawat lansia tak berbeda dengan merawat anak kecil,
kecuali bahwa setiap tahun, setiap bulan, setiap hari menumbuhkan kewaspadaan,
kekhawatiran,
tentang kemampuan apa yang perlahan hilang.
Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi dan berulang dari
seorang balita menumbuhkan harapan dan keyakinan bahwa ia semakin pandai.
Menghadapi pertanyaan berulang dari seorang lansia
menghadirkan kecemasan akan degradasi apa lagi yang kelak dialaminya.
Pertama kalinya aku menyadari kemiripan ini ketika duduk menghadapi seorang anak kecil di dalam kendaraan umum. Pertanyaan berulang yang bagi ibunya terasa menjengkelkan terus-menerus terucap dari mulut mungilnya. Ya, benar, pertanyaan berulang kadang menjengkelkan. Jika pertanyaan itu datang dari nenekmu sendiri, bagaimana rasanya? Ya, benar, pertanyaan berulang kadang menjengkelkan. Tetapi juga menghadirkan kewaspadaan dalam diri, sekaligus rasa syukur, karena itu tetap lebih baik daripada pertanyaan yang tersimpan dan sulit terucap. Ketika saat itu tiba –kuharap jangan sampai terjadi—akan sulit mengetahui keinginannya.
Selang lima bulan berlalu, pertanyaan berulang lebih
sering ditanyakan seputar makan. Apakah sudah makan? Ada makanan apa? Apa sudah waktunya makan? Pernah aku meragukan,
apakah benar lapar yang
dirasanya ataukah pertanyaan
ini berasal dari pola memorinya?
Pertanyaan berulang itu memiliki pola yang sama. Seputar makan dan keamanan. Dua
kebutuhan mendasar manusia.
Rasa takut merasa sendiri bercampur dengan ketergantungan
untuk selalu ditemani. Setiap saat. Kadangkala ia merasa ada sesuatu lain yang mengganggu
dirinya.
Meski begitu, penglihatannya masih mampu menangkap benda
kecil dalam jarak dua meter. Pendengarannya masih sangat baik. Suaranya masih
lantang membahana. Pengambilan
keputusan, pun celetukan,
menunjukkan kemampuan berpikirnya. Yang lucu, ia cerdas memanipulasi agar
keinginannya terpenuhi. Ya, seperti juga anak kecil yang berpura-pura. Satu hal hebat, ia mengajariku
beberapa kata sederhana dalam bahasa belanda.
Menghadapi lansia yang semakin pemilih dalam hal makan tak
ubahnya dengan menghadapi balita yang sulit makan. Sekali berkata tidak,
makanan tetap ditolak. Dalam beberapa bulan terakhir, nafsu makannya berkurang,
tetapi sering merasa lapar. Berbagai
eksperimen memasak kulakukan semampuku. Pun berbagai penolakan kuterima, dari satu
dua komentar hingga sepiring sajian tak termakan. Mengesalkan pada awalnya.
Tapi kemudian, aku bisa menerima dan terpacu menguji resep lain.
Aku
memahami penolakannya. Tidak apa. Penolakan itu tak lagi melukaiku karena pada akhirnya,
aku belajar arti “memberi”. Memberi itu tanpa mengharap apa pun, bahkan berharap pemberianku diterima. Goede morgen Oma! Gelukkige verjaardag!
2 responses:
Nice blog Mia :)
aku pernah mengalami hal yang sama. waktu tujuh tahun yang lalu menemani oma yang sakit sampai akhirnya beliau meninggal. emang bener sih kalo orang yang sudah sepuh itu akan kembali mempunyai sifat seperti anak kecil.
Terima kasih Gian :) Iya, Gian pasti sangat memahami ya, pernah mengalaminya. Kadang lucu juga mengamati perilakunya. Hmm..kita termasuk orang-orang yang beruntung yah, dikasih pengalaman ini :)
Posting Komentar