Satu bulan terakhir ini
kita mendengar sedikitnya dua berita berlabel SARA. Yang gemar
berselancar di dunia maya pasti pernah mendengar tentang film Innocence of Muslims, atau bahkan pernah
melihat cuplikan filmnya via youtube. Menurut berita, film ini menimbulkan pertentangan
di berbagai negara, berwujud aksi protes dan bom bunuh diri yang menewaskan
sejumlah warga masyarakat termasuk seorang duta besar AS di Libya. Pada skala
lokal, pilkada DKI -pemilihan gubernur & calon gubernur DKI Jakarta- yang berlangsung belum lama ini pun “diramaikan” isu SARA
menyangkut identitas calon-calonnya.
Ya, isu perbedaan
memang sensitif. SARA masih ampuh mengoyak kerukunan antarmanusia. Dan jika
kita perhatikan, isu SARA bukan hanya milik negara, politisi, atau pemuka agama
sebagaimana disiarkan media. Dalam kemasan yang berbeda, barangkali kita pun
pernah melakukan diskriminasi, atau lebih-lebih lagi, memusuhi orang lain. Kita
tidak ingin orang lain lebih unggul, lebih pintar, lebih kaya, lebih populer.
Mungkin bermula dari rasa iri, lalu ingin menandingi orang lain. Rasanya puas
jika bisa mengalahkan orang lain. Kita merasa paling benar, atau juga paling
baik, sementara orang lain salah. Kita bersaing dengan motivasi menjatuhkan
orang lain. Hmm..kenapa, ya, orang-orang atau bahkan kita sendiri punya
keinginan mengalahkan orang lain?
Saya lalu teringat
obrolan dengan seorang teman. Ia pemain futsal, sangat populer di antara
teman-temannya hingga dijuluki “Ratu Futsal”. Ya, ia perempuan berusia 23 tahun,
cantik, atletis, dan sangat gemar bermain “sepakbola minimalis” ini—untuk
menyebut olahraga yang tiap regu beranggotakan 5 orang dengan ukuran lapangan
yang lebih kecil daripada lapangan sepakbola. Ia mengatakan bahwa tujuannya
bermain untuk bersenang-senang, dan juga belajar. Maksudnya, selama
bermain, ia mengejar lawan untuk menyamai, atau lebih baik lagi, mengungguli
keahlian lawan, tetapi bukan mengalahkannya. Ini memang terdengar kontradiktif.
Ia sangat menyadari bahwa setiap tim yang bermain, baik timnya dan tim lawan,
pasti menginginkan kemenangan. Akan tetapi, mencapai kemenangan bukan
semata-mata untuk mendapatkan “predikat” superior dan memandang rendah orang lain atau lawan sebagai
inferior. Baginya, kemenangan adalah
ketika bisa bermain baik, mengeluarkan usaha maksimal, dan meningkatkan
keterampilan sepakbolanya. Ketika bisa mengungguli keahlian lawan, itu berarti
ia mencapai target yang ia tetapkan untuk dirinya, yaitu meningkatkan
keahliannya. Jadi, ukurannya dibandingkan dengan diri sendiri. Selama bermain,
ia lebih sering mengoper bola kepada teman satu tim ketimbang menguasai bola
sendirian. Ia lalu berujar, “Seandainya saja orang bermain sepakbola untuk
belajar, belajar untuk menyamai/mengungguli kemampuan lawan demi menaklukkan
target pribadi, pasti pertandingan ga akan
berakhir rusuh.” Banyak yang bisa dipelajari dari lapangan (sepakbola). Dan
situasi lapangan ini juga bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkompetisi itu bukan
dengan orang lain, tetapi dengan diri sendiri. Bukankah musuh terbesar adalah
diri sendiri? Musuh kemalasan, iri hati, dendam, marah, ketakpedulian, dsb. Kalau begitu, mengapa kita bersaing dengan orang
lain? Mengapa tidak berkompetisi dengan diri sendiri, berusaha menaklukkan diri
dan mencapai target yang kita tetapkan bagi diri kita? Mungkin kita bisa
memulainya dengan menyusun daftar mengenai kualitas diri yang diinginkan. Melirik
keberhasilan orang lain boleh, kok, sebagai pemicu motivasi, tetapi yang kita
taklukkan tetap diri sendiri, lho...
Semoga akhirnya kita
bisa melihat orang/pihak yang berbeda bukan sebagai lawan, tetapi kawan
belajar.
1 responses:
hihihiii... itu pasti akuuu :p
Posting Komentar