28 September 2012

Berkompetisi dengan diri sendiri



Satu bulan terakhir ini kita mendengar sedikitnya dua berita berlabel SARA. Yang gemar berselancar di dunia maya pasti pernah mendengar tentang film Innocence of Muslims, atau bahkan pernah melihat cuplikan filmnya via youtube. Menurut berita, film ini menimbulkan pertentangan di berbagai negara, berwujud aksi protes dan bom bunuh diri yang menewaskan sejumlah warga masyarakat termasuk seorang duta besar AS di Libya. Pada skala lokal, pilkada DKI -pemilihan gubernur & calon gubernur DKI Jakarta- yang berlangsung belum lama ini pun “diramaikan” isu SARA menyangkut identitas calon-calonnya.


Ya, isu perbedaan memang sensitif. SARA masih ampuh mengoyak kerukunan antarmanusia. Dan jika kita perhatikan, isu SARA bukan hanya milik negara, politisi, atau pemuka agama sebagaimana disiarkan media. Dalam kemasan yang berbeda, barangkali kita pun pernah melakukan diskriminasi, atau lebih-lebih lagi, memusuhi orang lain. Kita tidak ingin orang lain lebih unggul, lebih pintar, lebih kaya, lebih populer. Mungkin bermula dari rasa iri, lalu ingin menandingi orang lain. Rasanya puas jika bisa mengalahkan orang lain. Kita merasa paling benar, atau juga paling baik, sementara orang lain salah. Kita bersaing dengan motivasi menjatuhkan orang lain. Hmm..kenapa, ya, orang-orang atau bahkan kita sendiri punya keinginan mengalahkan orang lain?

Saya lalu teringat obrolan dengan seorang teman. Ia pemain futsal, sangat populer di antara teman-temannya hingga dijuluki “Ratu Futsal”. Ya, ia perempuan berusia 23 tahun, cantik, atletis, dan sangat gemar bermain “sepakbola minimalis” ini—untuk menyebut olahraga yang tiap regu beranggotakan 5 orang dengan ukuran lapangan yang lebih kecil daripada lapangan sepakbola. Ia mengatakan bahwa tujuannya bermain untuk bersenang-senang, dan juga belajar. Maksudnya, selama bermain, ia mengejar lawan untuk menyamai, atau lebih baik lagi, mengungguli keahlian lawan, tetapi bukan mengalahkannya. Ini memang terdengar kontradiktif. Ia sangat menyadari bahwa setiap tim yang bermain, baik timnya dan tim lawan, pasti menginginkan kemenangan. Akan tetapi, mencapai kemenangan bukan semata-mata untuk mendapatkan “predikat” superior dan memandang  rendah orang lain atau lawan sebagai inferior.  Baginya, kemenangan adalah ketika bisa bermain baik, mengeluarkan usaha maksimal, dan meningkatkan keterampilan sepakbolanya. Ketika bisa mengungguli keahlian lawan, itu berarti ia mencapai target yang ia tetapkan untuk dirinya, yaitu meningkatkan keahliannya. Jadi, ukurannya dibandingkan dengan diri sendiri. Selama bermain, ia lebih sering mengoper bola kepada teman satu tim ketimbang menguasai bola sendirian. Ia lalu berujar, “Seandainya saja orang bermain sepakbola untuk belajar, belajar untuk menyamai/mengungguli kemampuan lawan demi menaklukkan target pribadi, pasti pertandingan ga akan berakhir rusuh.” Banyak yang bisa dipelajari dari lapangan (sepakbola). Dan situasi lapangan ini juga bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.  

Berkompetisi itu bukan dengan orang lain, tetapi dengan diri sendiri. Bukankah musuh terbesar adalah diri sendiri? Musuh kemalasan, iri hati, dendam, marah, ketakpedulian, dsb. Kalau begitu, mengapa kita bersaing dengan orang lain? Mengapa tidak berkompetisi dengan diri sendiri, berusaha menaklukkan diri dan mencapai target yang kita tetapkan bagi diri kita? Mungkin kita bisa memulainya dengan menyusun daftar mengenai kualitas diri yang diinginkan. Melirik keberhasilan orang lain boleh, kok, sebagai pemicu motivasi, tetapi yang kita taklukkan tetap diri sendiri, lho... 

Semoga akhirnya kita bisa melihat orang/pihak yang berbeda bukan sebagai lawan, tetapi kawan belajar. 

1 responses:

Anonim mengatakan...

hihihiii... itu pasti akuuu :p