10 September 2016

Seramah apa sekolah kita?


Saat melihat gambar di atas, bisa jadi kita mencoba mengingat-ingat di mana pernah melihatnya sebelum ini atau justru sudah amat mengenalinya. Gambar ini ada dalam iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengampanyekan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Pada 2014 lalu, maraknya kasus kekerasan dan pelecehan mendorong pemerintah untuk membuat konsep sekolah ramah anak. Apakah SRA semata-mata adalah program sekolah tanpa tindak kekerasan? Kebijakan SRA memuat standar pelayanan minimal terkait kesehatan anak sebagai peserta didik, penanganan dan antisipasi keselamatan anak di daerah rawan bencana, dan kebijakan anti kekerasan. Pada dasarnya, Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Kita yang tinggal di kota, menyekolahkan anak, atau bersekolah di sekolah swasta atau negeri, mungkin berpikir, konsep sekolah ramah anak bukankah merupakan kewajiban bagi semua sekolah, dan bukankah memang demikian yang sudah terjadi? Bahwa sekolah memiliki bangunan yang kokoh, tersedia berbagai fasilitas yang bersih, memiliki lingkungan nyaman, dilengkapi dengan petugas pelayanan kebersihan, dan siswa juga diajar untuk menjaga kebersihan lingkungan. Bahwa tersedia kantin, perpustakaan, lapangan olahraga,  toilet, taman, beserta sederet kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Bahwa petugas keamanan sekolah dengan ramah membantu siswa menyeberang jalan. Lalu, apakah di sekolah yang memiliki jalan berupa tangga, juga tersedia jalur khusus lain yang bisa digunakan oleh anak yang menggunakan kursi roda? Apakah kapasitas ruangan kelas sesuai dengan jumlah anak, memiliki penerangan yang cukup, tersedia tempat sampah dan memiliki tempat cuci tangan dengan air bersih yang mengalir? Apakah kantin memiliki tempat dan peralatan yang bersih untuk pengolahan dan persiapan penyajian makanan, tidak berada di dekat toilet atau tempat sampah, serta makanan dan minuman memenuhi standar keamanan dan kesehatan?


Ramah mendidik

Tidak hanya hal-hal terkait fisik sekolah, apakah sekolah yang kita anggap semestinya sudah ramah anak, juga menunjukkan “keramahan” dalam mendidik anak? Idealnya di Sekolah Ramah Anak, anak merasa betah berlama-lama di sekolah. Untuk dapat merasa betah, kita dapat mengacu pada apa yang menjadi kebutuhan anak. Apakah anak sudah memiliki ruang gerak yang “aman” ketika mengekspresikan diri? Ia merasa aman bahwa ketika menyatakan pendapat atau menjawab pertanyaan, ia tidak khawatir akan segera disalahkan atau dituduh salah oleh guru dan teman-temannya. Ia tidak takut didiskriminasi oleh teman-temannya karena ia berpenampilan fisik berbeda, lambat belajar, memiliki keluarga yang tidak utuh, atau kondisi ekonomi yang berbeda.

Sekolah Ramah Anak melarang pemberlakukan hukuman fisik terhadap anak, perilaku menghina, meremehkan, mengejek, menyakiti perasaan dan harga diri anak, serta memiliki mekanisme pengaduan dan penanganan kasus kekerasan termasuk kejahatan seksual. Anak berhak mendapatkan pendidikan yang tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, pornografi, dan terorisme. Materi pembelajaran tidak diskriminatif dan menjamin penghormatan kepada anak yang memerlukan perlindungan khusus seperti anak penyandang disabilitas, anak dengan HIV/AIDS atau kelompok minoritas. Anak berhak mendapatkan pengalaman belajar yang dapat mengembangkan keragaman karakter dan potensinya.

Hampir serupa dengan kebutuhan akan rasa aman adalah kebutuhan untuk merasa dihargai, disayang, dan diterima. Sekolah Ramah Anak turut mengedepankan bahwa guru mendidik anak dengan cara yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Kemudian, muncul kontroversi, ketika guru mengajar dengan lembut tanpa hukuman sekali pun karena khawatir dengan  “mekanisme” pengaduan oleh siswa dan orangtua. Hal ini perlu disikapi secara bijaksana oleh para pendidik. Sikap tegas tetap diperlukan, agar anak paham apa yang sesuai dan tidak sesuai dengan norma kehidupan bermasyarakat, serta paham bahwa setiap tindakannya mengandung konsekuensi. Pendekatan personal juga diperlukan agar anak memahami bahwa ketegasan guru adalah bentuk perhatian dan sayang terhadapnya. Anak dibiasakan untuk berdialog dan berkomunikasi dengan baik, untuk berani menyatakan pendapatnya secara asertif dan  mendengarkan orang lain dengan rendah hati.

Ketika seorang anak merasa aman, nyaman, semangat bersekolah, tumbuh kepercayaan dirinya, memiliki perasaan mampu terhadap kemampuannya, tentu ia dapat berkembang optimal. Kelak tumbuh pula motivasinya untuk berprestasi dan mewujudkan cita-citanya.

Sekolah dalam mikrosistem anak

Mengapa peran sekolah menjadi amat penting bagi anak sehingga perlu dicanangkan Sekolah Ramah Anak? Urie Bronfenbrenner (1917) membagi konteks sosial yang memengaruhi perkembangan anak ke dalam lima sistem lingkungan, yang merentang dari interaksi interpersonal yang paling dekat dengan anak hingga pengaruh kultur yang lebih luas. Sekolah berada dalam lapisan pertama, atau mikrosistem, bersama dengan keluarga, teman sebaya, tetangga, dan komunitas. Karenanya, bentuk didikan terhadap anak akan berdampak pada aspek perkembangan dirinya, yang meliputi aspek fisiologis, intelektual, sosial-emosional, dan spiritualnya. Pendidikan dalam setting sekolah bukan berarti meniadakan hak dan karakteristik setiap anak, melainkan diharapkan mendukung optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan pribadi setiap anak, karena pada dasarnya pendidikan setiap anak bersifat individual. Kembali kita dapat bertanya, sudah seramah apa sekolah kita?


Referensi:
Jatnika, R. 2016. Mengenal Hak Anak dan Orang Tua di Sekolah Ramah Anak. http://www.keselamatankeluarga.com/mengenal-hak-anak-dan-orang-tua-di-sekolah-ramah-anak/
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak

0 responses: