Beberapa kali membuat
laporan evaluasi tes psikologi untuk seleksi karyawan mengantarku pada
pemikiran lain. Ah, ya, kujelaskan singkat dahulu apa yang kukerjakan. Aku
menerima berkas hasil tes psikologi lalu kubuatkan laporannya. Kadang ada yang
sudah disertai saran dari supervisorku, apakah pelamar yang dites ini
disarankan untuk diterima bekerja, dipertimbangkan, atau ditolak. Kadang aku diberi kepercayaan untuk menuliskan saran tersebut dengan tetap
disupervisi.
Pengalamanku belum banyak
di bidang ini. Aku tergolong pemula di ranah rekrutmen dan seleksi karyawan,
setelah sebelumnya lebih berkecimpung dalam dunia pelatihan atau
training. Beruntung, aku masih di bawah supervisi dalam melakukan
diagnosis dan mengambil keputusan terhadap lolos-tidaknya calon karyawan. Di
satu sisi, melakukan diagnosis itu pekerjaan yang menyenangkan buatku. Seru,
mungkin bisa dibilang begitu, ketika mendinamikakan kepribadian dan menemukan
benang merahnya. Ya, kalau jadi terbayang gambaran umum pribadinya memang
menyenangkan, tapi kalau tidak, memusingkan juga…hehehe. Di sisi lain, menetapkan
saran untuk merekomendasikan atau menolak seseorang bekerja di suatu
perusahaan, ini bagian yang sejak lulus S1 Psikologi kuhindari, sehingga aku
memilih bidang pelatihan. Dan, dengan kapasitasku sekarang, aku diharapkan
dapat memberikan saran terbaik perihal seleksi karyawan ini, untuk kemaslahatan
kedua pihak, perusahaan dan karyawan. Bagi perusahaan, mereka bisa langsung
memanfaatkan laporan evaluasi tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan.
Lalu bagaimana dengan pelamar atau calon karyawan? Ada beberapa perusahaan yang
memberikan feedback, tetapi banyak pula yang tidak. Yaa, pekerjaan untuk
mengurusi karyawan mereka saja sudah banyak, mungkin itu pertimbangan efisiensi
mereka.
Jadi, sudah beberapa kali
aku terusik ketika menghadapi laporan psikologi yang kubuat, yang berujung pada
saran “menolak”. Biasanya, itu terjadi karena aku menyayangkan adanya potensi
cerdas yang kurang didukung dengan sikap kerja yang baik, atau potensi cerdas
yang karena kurang didukung kebiasaan belajar atau upaya pengembangan diri,
potensinya menjadi tidak berkembang.
Contoh saja ya, ada seseorang yang cerdas secara intelektual. Dalam bekerja, ia cenderung bertindak “semau gue”, kalau suka dikerjakan, kalau tidak, ya, tidak dikerjakan. Tidak suka keteraturan. Selain itu, kurang memiliki daya tahan untuk bekerja hingga tuntas. Dengan begini saja, dikhawatirkan ia tidak selalu mampu memenuhi jadwal pekerjaan atau target. Keinginannya sangat besar untuk pamer atau unjuk kemampuan. Apabila melakukan kesalahan, ia tidak mudah mengakuinya. Sayangnya, ia juga sulit menyelami sudut pandang dan perasaan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana kontribusinya dalam tim? Bagaimana pula seandainya ia diplot sebagai pemimpin?
Contoh saja ya, ada seseorang yang cerdas secara intelektual. Dalam bekerja, ia cenderung bertindak “semau gue”, kalau suka dikerjakan, kalau tidak, ya, tidak dikerjakan. Tidak suka keteraturan. Selain itu, kurang memiliki daya tahan untuk bekerja hingga tuntas. Dengan begini saja, dikhawatirkan ia tidak selalu mampu memenuhi jadwal pekerjaan atau target. Keinginannya sangat besar untuk pamer atau unjuk kemampuan. Apabila melakukan kesalahan, ia tidak mudah mengakuinya. Sayangnya, ia juga sulit menyelami sudut pandang dan perasaan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana kontribusinya dalam tim? Bagaimana pula seandainya ia diplot sebagai pemimpin?
Lantas, apakah para pelamar ini kemudian tahu tentang evaluasi kepribadiannya yang menyebabkan mereka tidak lolos
seleksi? Ya, itu tadi, mereka tidak selalu mendapat kesempatan untuk mengetahuinya.
Dengan berbekal ketidaktahuan, mereka mungkin tetap mengikuti tes seleksi di
perusahaan yang lain, bermodal hafalan jawaban dari buku latihan psikotes yang
sekarang sangat menjamur, yang tetap tidak mengubah cerminan
kepribadiannya. Ketika suatu saat ia diterima bekerja, tak jarang muncul
ketidakpuasan, misalnya, merasa pekerjaannya tidak sebanding dengan impiannya,
atau menemukan kesulitan dalam beradaptasi, dan sebagainya. Mereka yang
berhasil melalui kesulitan-kesulitan ini, tentulah karena beroleh kesempatan luar
biasa untuk mengenali dan mengembangkan dirinya, berani menempa diri untuk menerima keadaan dan meningkatkan kemampuannya
(menerima apa yang tidak mampu diubah dan mengubah apa yang mampu ia ubah).
Sampai sini, bagaimana
kulanjutkan tulisan ini? Banyak harapan yang bermunculan terhadap lembaga yang
mengeluarkan hasil pemeriksaan psikologis, terhadap para pelamar kerja, dan perusahaan. Tapi, akan lebih konkret untuk meniatkan diri bekerja dengan
sebaik-baiknya dan bertanggung jawab terhadap-Nya yang "menitipkan" persimpangan hidup mereka di jalanku.
0 responses:
Posting Komentar