06 Mei 2017

Ide-ide Sekolah Waldorf

Willing-nya besar, thinking-nya kecil. Bagi orang-orang ini, yang penting kerja, langsung eksekusi, ga perlu pikir-pikir dulu, lah. Ada sebutan dalam bahasa Sunda: ‘kumaha engke’. Gimana nanti. Sebaliknya, kalau thinking yang besar, willing-nya kecil, orang-orang ini adalah people with big idea, tapi pelaksanaannya… duh, ini gimana, ya, nanti bagaimana, dst. Orang Sunda bilang, ‘engke kumaha?’ Nah, yang seimbang itu, gambar yang di tengah, seimbang antara thinking dan willing.”


Penjelasan Amanda Andi Wellang bagian ini sepertinya melekat sekali dalam ingatan saya. Barangkali, karena memproyeksikan karakter diri (saya). Ups. Manda, panggilan akrabnya, membuat gambar tersebut untuk memberi penjelasan tentang rhytmic system yang menjadi salah satu dasar filosofi pendidikan Waldorf.

“Sebagai dosen, saya menemukan bahwa problem yang dialami mahasiswa saat ini adalah kurang memiliki pemahaman konsep yang mendalam dan komprehensif, untuk mengaitkan suatu konsep dengan konsep lain. Mereka pintar, bisa menjawab pertanyaan mengenai konsep, tetapi diam saat diminta memberikan contoh. Masalah ini tentunya bukan tiba-tiba muncul saat mereka kuliah, tetapi adalah hasil dari proses belajarnya sejak kecil. Apakah proses belajar mereka sudah tepat?” demikian penuturan Kenny Dewi saat ia pada mulanya tergerak mengadopsi model pendidikan Waldorf, dan kemudian mendirikan sekolah Jagad Alit Waldorf School di Bandung.


Mengikuti tiga jam sharing dari Kenny dan Manda dalam Case Conference Biro Konsultasi Psikologi Dwipayana pada 26 April 2017 lalu memunculkan banyak letupan dalam benak. Beberapa poin ini di antaranya.

Kurikulum pendidikan sekolah Waldorf didasari oleh pemikiran Rudolf Steiner. Ia hidup sejaman dengan Maria Montessori, masa ketika humanisme berkembang. Baginya, seorang anak berasal dari dunia spiritual, yang ketika dilahirkan, memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Tujuan pendidikan adalah “to produce individuals, who are able, in and of themselves, to impart meaning to their lives.” Mendukung anak menjadi manusia dewasa yang merdeka.

Seperti apa, sih, orang yang merdeka itu? Contoh sederhananya, seseorang bisa memilih jurusan kuliah yang disukainya, bukan semata memenuhi keinginan orangtua; saat berkendara, seseorang memakai helm bukan karena takut ditilang, melainkan karena paham tujuan dan alasannya.

Wujud rasa hormat pada anak ditunjukkan ketika anak-anak bermain bebas (free play), dan guru, sebagai orang dewasa, memberikan kebebasan seutuhnya kepada anak tanpa mengintervensi, misalnya dengan bertanya, “Sedang main apa?”; “Coba bunganya diwarnai merah, ya”, dan sebagainya. Momen yang “sakral” ini memberi kebebasan anak menghidupkan imajinasinya. Sama halnya ketika mendongeng atau story telling, pendongeng tidak berekspresi secara berlebihan, tujuannya memberi ruang yang lebih luas bagi anak menghidupkan sensasi inderawi dalam imajinasinya.

Sejak lahir dari rahim ibu, anak adalah makhluk yang sensitif. Seluruh inderanya masih peka terhadap semua terpaan sensori, setelah selama 9 bulan hanya mendengar detak jantung, gelembung air, suara ibunya, dan suara-suara lain. Bayangkan tubuh yang sensitif ini terpapar sedemikian banyak sinar, warna, suara, dan stimulus lainnya. Ambang kepekaannya bisa jadi menurun. Misalnya, untuk meredam tangisnya, tidak cukup hanya dengan suara bisik lembut ibu, tetapi ketika mendengar suara ibu yang agak keras, ia baru mengetahui bahwa ibunya ingin agar ia tenang. Dengan memahami sensitivitas pada anak, mainan-mainan yang tersedia di sekolah Waldorf dibuat dengan menggunakan warna dan bahan alami. Terutama sekali, anak tidak bersentuhan dengan gadget dan TV. No screen. Memang benar, ada kaitan antara screen dengan atensi pada anak. Saya pernah mempelajarinya saat mencari bahan tesis. Atensi itu seperti makan makanan pedas. Makin meningkat level pedasnya, rasa pedas sebelumnya tidak terasa lagi. Bagi anak yang belum terpapar screen, gambar hitam putih saja sudah menarik. Lambat laun ia bermain dengan gambar berwarna yang baginya lebih menarik dibandingkan gambar hitam putih. Ketika mengenal gerak dan suara, gambar yang bergerak dan bersuara kemudian menjadi tambah menarik. Gambar yang hanya berupa dua dimensi cenderung mudah diabaikan anak, tidak menarik lagi. Buku pelajaran di sekolah menjadi membosankan. Ia lebih suka menonton video, karena ada warna, suara, gerak, dan variasi bentuk. Ketika diperlukan intensitas stimulus yang semakin tinggi, bukankah kemudian menjadi lebih sulit untuk memperoleh dan mengarahkan atensi anak-anak ini?

Pendidikan di sekolah Waldorf berpedoman pada perkembangan willing, feeling, dan thinking. Perkembangan willing berlangsung pada usia 0-7 tahun. Di tahap ini, anak belajar dengan mencoba, menggunakan tangan dan kakinya, untuk menjejak, meraba, menggenggam, memanjat, dsb. Bermain merupakan sarana belajar paling baik di usia ini. Free play yang sudah disebutkan adalah salah satunya. 

Lalu, ketika anak-anak bermain, apa yang dilakukan guru? Guru melakukan kegiatan yang bermakna, misalnya menggergaji kayu, membersihkan kolam, melukis, dan sebagainya. Ketika anak melihat hal tersebut, ada yang dengan segera menghampiri karena ingin tahu dan ingin mencoba, ada pula yang masih asyik bermain. Tidak masalah. Tidak ada paksaan. Namun, tidak ada kegiatan yang tidak beralasan. Anak-anak tidak menyaksikan guru-guru mengobrol, bermain gadget, atau kegiatan pasif lainnya. Anak-anak melihat orang dewasa melakukan hal produktif, kemudian ia meniru. Anak belajar secara imitatif. Yang lebih penting lagi, keinginan mencoba dan belajar lahir dengan sendirinya dari diri anak, bukan diarahkan. Pada tahap ini, belajar diibaratkan berkunjung ke rumah nenek di desa. Anak bermain, mengeksplorasi dengan bebas, seraya menyaksikan neneknya bekerja kemudian muncul pula keinginannya mencoba dan membantu.

Tahap perkembangan selanjutnya, feeling, terjadi pada usia 7-14 tahun. Anak belajar melalui cerita, dongeng, yang membangkitkan imajinasi dan mengasah kepekaannya. Bagi anak, guru adalah ibu yang tahu segala hal, tempat bertanya dan meminta petunjuk. 

Tahapan terakhir, ialah thinking, pada usia 14-21 tahun. Kemampuan berpikir berkembang semakin matang. Kisah-kisah moral, seperti banyak diangkat dalam novel-novel Rusia, diberikan kepada siswa. Mereka mulai mengenal bahwa dunia tidak hanya hitam dan putih. Idealismenya terhadap dunia mulai muncul. Guru yang tepat mendidik mereka di tahap ini ibarat seorang abang, om, kakak, yang memiliki passion terhadap bidang yang ditekuninya. Guru Sejarah adalah ia yang sungguh mencintai sejarah dan tercermin dalam perilakunya, tidak hanya di kelas, tetapi juga di luar kelas. Anak-anak di usia ini belajar melalui inspirasi.

Apa yang terjadi ketika thinking berkembang lebih dini, aktif lebih cepat, dibandingkan yang seharusnya? Anak mungkin tumbuh menjadi seorang cynical clever. Bayangkan dua orang anak, yang satu lebih cepat berkembang thinking-nya, dan yang satu masih berkembang pada tahap willing. Kedua anak tersebut menemukan seekor katak. Anak pertama akan dengan cepat menyebutkan, “Itu katak!” lalu enggan mencari tahu karena ia sudah tahu. Anak kedua akan memegang katak itu, memperhatikan bulatnya mata katak, meraba kulit katak yang basah, dan ia membangun pengetahuannya sendiri dalam benaknya. Ia terbuka belajar banyak hal baru, karena semua hal memang hal baru baginya. Sementara itu, seorang cynical clever biasanya sulit bisa memahami bahwa orang lain tidak secerdas dirinya. 

Deg. Serasa mengalami disonansi kognitif ketika mendengar hal-hal esensial ini. Apa terjadi juga pada Anda?

Kalau begitu, mari kita biarkan pikiran menata ulang dirinya.



0 responses: