“Willing-nya besar, thinking-nya
kecil. Bagi orang-orang ini, yang penting kerja, langsung eksekusi, ga perlu
pikir-pikir dulu, lah. Ada sebutan dalam bahasa Sunda: ‘kumaha engke’. Gimana
nanti. Sebaliknya, kalau thinking
yang besar, willing-nya kecil,
orang-orang ini adalah people with big
idea, tapi pelaksanaannya… duh, ini gimana, ya, nanti bagaimana, dst. Orang
Sunda bilang, ‘engke kumaha?’ Nah, yang seimbang itu, gambar yang di tengah,
seimbang antara thinking dan willing.”
Penjelasan Amanda Andi
Wellang bagian ini sepertinya melekat sekali dalam ingatan saya. Barangkali,
karena memproyeksikan karakter diri (saya). Ups. Manda, panggilan akrabnya, membuat
gambar tersebut untuk memberi penjelasan tentang rhytmic system yang menjadi salah satu dasar filosofi pendidikan
Waldorf.
“Sebagai dosen, saya
menemukan bahwa problem yang dialami
mahasiswa saat ini adalah kurang memiliki pemahaman konsep yang mendalam dan
komprehensif, untuk mengaitkan suatu konsep dengan konsep lain. Mereka pintar,
bisa menjawab pertanyaan mengenai konsep, tetapi diam saat diminta memberikan
contoh. Masalah ini tentunya bukan tiba-tiba muncul saat mereka kuliah, tetapi
adalah hasil dari proses belajarnya sejak kecil. Apakah proses belajar mereka
sudah tepat?” demikian penuturan Kenny Dewi saat ia pada mulanya tergerak
mengadopsi model pendidikan Waldorf, dan kemudian mendirikan sekolah Jagad Alit Waldorf School di Bandung.
Mengikuti tiga jam sharing dari Kenny dan Manda dalam Case
Conference Biro Konsultasi Psikologi Dwipayana pada 26 April 2017 lalu
memunculkan banyak letupan dalam benak. Beberapa poin ini di antaranya.
Kurikulum pendidikan
sekolah Waldorf didasari oleh pemikiran Rudolf Steiner. Ia hidup sejaman dengan
Maria Montessori, masa ketika humanisme berkembang. Baginya, seorang anak
berasal dari dunia spiritual, yang ketika dilahirkan, memiliki tujuan hidupnya
masing-masing. Tujuan pendidikan adalah “to
produce individuals, who are able, in and of themselves, to impart meaning to
their lives.” Mendukung anak menjadi manusia dewasa yang merdeka.
Seperti apa, sih, orang
yang merdeka itu? Contoh sederhananya, seseorang bisa memilih jurusan kuliah
yang disukainya, bukan semata memenuhi keinginan orangtua; saat berkendara,
seseorang memakai helm bukan karena takut ditilang, melainkan karena paham
tujuan dan alasannya.
Wujud rasa hormat pada
anak ditunjukkan ketika anak-anak bermain bebas (free play), dan guru, sebagai orang dewasa, memberikan kebebasan
seutuhnya kepada anak tanpa mengintervensi, misalnya dengan bertanya, “Sedang
main apa?”; “Coba bunganya diwarnai merah, ya”, dan sebagainya. Momen yang “sakral”
ini memberi kebebasan anak menghidupkan imajinasinya. Sama halnya ketika
mendongeng atau story telling,
pendongeng tidak berekspresi secara berlebihan, tujuannya memberi ruang yang
lebih luas bagi anak menghidupkan sensasi inderawi dalam imajinasinya.
Sejak lahir dari rahim
ibu, anak adalah makhluk yang sensitif. Seluruh inderanya masih peka terhadap
semua terpaan sensori, setelah selama 9 bulan hanya mendengar detak jantung,
gelembung air, suara ibunya, dan suara-suara lain. Bayangkan tubuh yang
sensitif ini terpapar sedemikian banyak sinar, warna, suara, dan stimulus
lainnya. Ambang kepekaannya bisa jadi menurun. Misalnya, untuk meredam
tangisnya, tidak cukup hanya dengan suara bisik lembut ibu, tetapi ketika
mendengar suara ibu yang agak keras, ia baru mengetahui bahwa ibunya ingin agar
ia tenang. Dengan memahami sensitivitas pada anak, mainan-mainan yang tersedia di
sekolah Waldorf dibuat dengan menggunakan warna dan bahan alami. Terutama sekali, anak tidak
bersentuhan dengan gadget dan TV. No
screen. Memang benar, ada kaitan antara screen
dengan atensi pada anak. Saya pernah mempelajarinya saat mencari bahan tesis. Atensi
itu seperti makan makanan pedas. Makin meningkat level pedasnya, rasa pedas
sebelumnya tidak terasa lagi. Bagi anak yang belum terpapar screen, gambar hitam putih saja sudah
menarik. Lambat laun ia bermain dengan gambar berwarna yang baginya lebih
menarik dibandingkan gambar hitam putih. Ketika mengenal gerak dan suara,
gambar yang bergerak dan bersuara kemudian menjadi tambah menarik. Gambar yang hanya
berupa dua dimensi cenderung mudah diabaikan anak, tidak menarik lagi. Buku pelajaran di
sekolah menjadi membosankan. Ia lebih suka menonton video, karena ada warna, suara,
gerak, dan variasi bentuk. Ketika diperlukan intensitas stimulus yang semakin tinggi, bukankah kemudian menjadi lebih sulit untuk
memperoleh dan mengarahkan atensi anak-anak ini?
Pendidikan di sekolah
Waldorf berpedoman pada perkembangan willing,
feeling, dan thinking.
Perkembangan willing berlangsung pada usia 0-7
tahun. Di tahap ini, anak belajar dengan mencoba, menggunakan tangan dan kakinya,
untuk menjejak, meraba, menggenggam, memanjat, dsb. Bermain merupakan sarana
belajar paling baik di usia ini. Free
play yang sudah disebutkan adalah salah satunya.
Lalu, ketika anak-anak bermain, apa yang dilakukan guru? Guru melakukan kegiatan yang bermakna, misalnya menggergaji kayu, membersihkan kolam, melukis, dan sebagainya. Ketika anak melihat hal tersebut, ada yang dengan segera menghampiri karena ingin tahu dan ingin mencoba, ada pula yang masih asyik bermain. Tidak masalah. Tidak ada paksaan. Namun, tidak ada kegiatan yang tidak beralasan. Anak-anak tidak menyaksikan guru-guru mengobrol, bermain gadget, atau kegiatan pasif lainnya. Anak-anak melihat orang dewasa melakukan hal produktif, kemudian ia meniru. Anak belajar secara imitatif. Yang lebih penting lagi, keinginan mencoba dan belajar lahir dengan sendirinya dari diri anak, bukan diarahkan. Pada tahap ini, belajar diibaratkan berkunjung ke rumah nenek di desa. Anak bermain, mengeksplorasi dengan bebas, seraya menyaksikan neneknya bekerja kemudian muncul pula keinginannya mencoba dan membantu.
Lalu, ketika anak-anak bermain, apa yang dilakukan guru? Guru melakukan kegiatan yang bermakna, misalnya menggergaji kayu, membersihkan kolam, melukis, dan sebagainya. Ketika anak melihat hal tersebut, ada yang dengan segera menghampiri karena ingin tahu dan ingin mencoba, ada pula yang masih asyik bermain. Tidak masalah. Tidak ada paksaan. Namun, tidak ada kegiatan yang tidak beralasan. Anak-anak tidak menyaksikan guru-guru mengobrol, bermain gadget, atau kegiatan pasif lainnya. Anak-anak melihat orang dewasa melakukan hal produktif, kemudian ia meniru. Anak belajar secara imitatif. Yang lebih penting lagi, keinginan mencoba dan belajar lahir dengan sendirinya dari diri anak, bukan diarahkan. Pada tahap ini, belajar diibaratkan berkunjung ke rumah nenek di desa. Anak bermain, mengeksplorasi dengan bebas, seraya menyaksikan neneknya bekerja kemudian muncul pula keinginannya mencoba dan membantu.
Tahap perkembangan
selanjutnya, feeling, terjadi pada usia 7-14
tahun. Anak belajar melalui cerita, dongeng, yang membangkitkan imajinasi dan
mengasah kepekaannya. Bagi anak, guru adalah ibu yang tahu segala hal, tempat
bertanya dan meminta petunjuk.
Tahapan terakhir, ialah thinking, pada usia 14-21 tahun. Kemampuan berpikir berkembang semakin matang. Kisah-kisah moral, seperti banyak diangkat dalam novel-novel Rusia, diberikan kepada siswa. Mereka mulai mengenal bahwa dunia tidak hanya hitam dan putih. Idealismenya terhadap dunia mulai muncul. Guru yang tepat mendidik mereka di tahap ini ibarat seorang abang, om, kakak, yang memiliki passion terhadap bidang yang ditekuninya. Guru Sejarah adalah ia yang sungguh mencintai sejarah dan tercermin dalam perilakunya, tidak hanya di kelas, tetapi juga di luar kelas. Anak-anak di usia ini belajar melalui inspirasi.
Tahapan terakhir, ialah thinking, pada usia 14-21 tahun. Kemampuan berpikir berkembang semakin matang. Kisah-kisah moral, seperti banyak diangkat dalam novel-novel Rusia, diberikan kepada siswa. Mereka mulai mengenal bahwa dunia tidak hanya hitam dan putih. Idealismenya terhadap dunia mulai muncul. Guru yang tepat mendidik mereka di tahap ini ibarat seorang abang, om, kakak, yang memiliki passion terhadap bidang yang ditekuninya. Guru Sejarah adalah ia yang sungguh mencintai sejarah dan tercermin dalam perilakunya, tidak hanya di kelas, tetapi juga di luar kelas. Anak-anak di usia ini belajar melalui inspirasi.
Apa yang terjadi ketika thinking berkembang lebih dini, aktif
lebih cepat, dibandingkan yang seharusnya? Anak mungkin tumbuh menjadi seorang cynical clever. Bayangkan dua orang
anak, yang satu lebih cepat berkembang thinking-nya,
dan yang satu masih berkembang pada tahap willing. Kedua anak tersebut menemukan seekor katak. Anak pertama akan dengan cepat
menyebutkan, “Itu katak!” lalu enggan mencari tahu karena ia sudah tahu. Anak
kedua akan memegang katak itu, memperhatikan bulatnya mata katak, meraba kulit
katak yang basah, dan ia membangun pengetahuannya sendiri dalam benaknya. Ia terbuka
belajar banyak hal baru, karena semua hal memang hal baru baginya. Sementara itu,
seorang cynical clever biasanya sulit
bisa memahami bahwa orang lain tidak secerdas dirinya.
Deg. Serasa mengalami
disonansi kognitif ketika mendengar hal-hal esensial ini. Apa terjadi juga pada
Anda?
Kalau begitu, mari kita
biarkan pikiran menata ulang dirinya.
0 responses:
Posting Komentar