Pekik kegirangan itu
mengejutkanku. Bukan, bukan dari seorang anak kecil. Suara itu berasal dari
seorang paruh baya, yang usianya hampir mendekati usia ibuku. Apa sebab? Beliau
baru saja berhasil menuangkan pikirannya ke dalam baris-baris paragraf.
Mundur ke beberapa menit
sebelumnya, ada semburat sayu pada matanya. Lelah, sudah pasti. Jenuh, apalagi.
Itu akumulasi perjalanan penelitiannya 3 tahun terakhir. Kini, ia sudah ada di
penghujung. Sebagai hiperbolis, bolehlah kusebut tinggal sejengkal lagi menuju
gelar doktornya.
Singkat cerita, aku berada
di sana, di ruang kerjanya, untuk membantu hal-hal teknis terkait bahasa
laporan. Menghadapi satu paragraf yang memusingkan itu, bisa saja kuambil alih keyboard-nya dan merangkai kata-kata,
seperti juga yang diharapkannya untuk kulakukan. Tetapi, kata-kata apa yang
hendak kutulis? Jelas-jelas gagasannya ada di benaknya. Maka yang bisa
kulakukan hanya mendorongnya untuk menuangkan pikirannya, kata per kata yang
terlintas. Meyakinkannya agar tidak perlu merisaukan urusan redaksional.
Dalam waktu beberapa menit,
baris-baris kalimat terangkai pada kertas digital itu. Kadangkala ia terdiam
berpikir, kadang melontarkan gagasan dan meminta pendapatku. Kadangkala, aku
diam saja mengamati. Matanya menerawang seolah mampu menembus layar laptop. Barangkali
ada running text di baliknya? Akan tetapi,
itu hanya sebentar, karena kedut-kedut binar matanya segera tampak diiringi
kecepatan jarinya mengetik. Hingga pekik kegirangan itu mengejutkanku. Ya,
ledakan tawa spontan darinya. Tawa terkejut atas apa yang baru dilakukannya,
yaitu mengetik apa pun buah pikirannya.
Katanya, ia terkejut atas gagasan
yang berhasil dituangkannya. Sebuah pencapaian. Kontras dengan kebiasaannya
merenung seorang diri yang justru memakan waktu lebih lama. Menurutnya, sulit
sekali membangun gagasan jika tidak ada teman bertukar pikiran. Untuk sekian
kalinya, premis dari seorang seniorku terbukti, bahwa kita masing-masing
memerlukan dinding untuk memantulkan ide. Bayangkan saja bola tenis yang dilemparkan ke dinding, ia akan kembali lagi padamu, bukan? Saat kembali itulah, terkadang gagasan tampak lebih jelas. Boleh juga kunamakan sebagai cermin,
yang membantu merefleksikan pemikiran kita.
Lagi-lagi aku belajar dari
contoh nyata. Juga belajar tentang keajaiban otak manusia, tentang pembelajaran
yang tak mengenal batas usia. Lebih-lebih lagi tentang motivasi di balik
pilihannya mengambil S3. Bukan mencari manfaat untuk diri, tetapi menjadi
manfaat bagi mahasiswa-mahasiswanya. Menjadi sumber referensi yang bisa
dijumpai dan ditanya secara langsung, agar mahasiswa tidak hanya mengenal para peneliti
sebatas textbook dan jurnal
penelitan.
0 responses:
Posting Komentar