30 Januari 2015

Belajar (2)

Pekik kegirangan itu mengejutkanku. Bukan, bukan dari seorang anak kecil. Suara itu berasal dari seorang paruh baya, yang usianya hampir mendekati usia ibuku. Apa sebab? Beliau baru saja berhasil menuangkan pikirannya ke dalam baris-baris paragraf.

Mundur ke beberapa menit sebelumnya, ada semburat sayu pada matanya. Lelah, sudah pasti. Jenuh, apalagi. Itu akumulasi perjalanan penelitiannya 3 tahun terakhir. Kini, ia sudah ada di penghujung. Sebagai hiperbolis, bolehlah kusebut tinggal sejengkal lagi menuju gelar doktornya.


Singkat cerita, aku berada di sana, di ruang kerjanya, untuk membantu hal-hal teknis terkait bahasa laporan. Menghadapi satu paragraf yang memusingkan itu, bisa saja kuambil alih keyboard-nya dan merangkai kata-kata, seperti juga yang diharapkannya untuk kulakukan. Tetapi, kata-kata apa yang hendak kutulis? Jelas-jelas gagasannya ada di benaknya. Maka yang bisa kulakukan hanya mendorongnya untuk menuangkan pikirannya, kata per kata yang terlintas. Meyakinkannya agar tidak perlu merisaukan urusan redaksional.  

Dalam waktu beberapa menit, baris-baris kalimat terangkai pada kertas digital itu. Kadangkala ia terdiam berpikir, kadang melontarkan gagasan dan meminta pendapatku. Kadangkala, aku diam saja mengamati. Matanya menerawang seolah mampu menembus layar laptop. Barangkali ada running text di baliknya? Akan tetapi, itu hanya sebentar, karena kedut-kedut binar matanya segera tampak diiringi kecepatan jarinya mengetik. Hingga pekik kegirangan itu mengejutkanku. Ya, ledakan tawa spontan darinya. Tawa terkejut atas apa yang baru dilakukannya, yaitu mengetik apa pun buah pikirannya.

Katanya, ia terkejut atas gagasan yang berhasil dituangkannya. Sebuah pencapaian. Kontras dengan kebiasaannya merenung seorang diri yang justru memakan waktu lebih lama. Menurutnya, sulit sekali membangun gagasan jika tidak ada teman bertukar pikiran. Untuk sekian kalinya, premis dari seorang seniorku terbukti, bahwa kita masing-masing memerlukan dinding untuk memantulkan ide. Bayangkan saja bola tenis yang dilemparkan ke dinding, ia akan kembali lagi padamu, bukan? Saat kembali itulah, terkadang gagasan tampak lebih jelas. Boleh juga kunamakan sebagai cermin, yang membantu merefleksikan pemikiran kita.


Lagi-lagi aku belajar dari contoh nyata. Juga belajar tentang keajaiban otak manusia, tentang pembelajaran yang tak mengenal batas usia. Lebih-lebih lagi tentang motivasi di balik pilihannya mengambil S3. Bukan mencari manfaat untuk diri, tetapi menjadi manfaat bagi mahasiswa-mahasiswanya. Menjadi sumber referensi yang bisa dijumpai dan ditanya secara langsung, agar mahasiswa tidak hanya mengenal para peneliti sebatas textbook dan jurnal penelitan.

0 responses: