03 Januari 2015

Permintaan apakah yang tepat?

Hari ketiga, bulan pertama, tahun baru. Masih hangat dengan resolusi, permintaan, dan harapan yang baru.

Adakah manusia terlepas dari permintaan? Sejak lahir kita hidup berdampingan dengan permintaan. Permintaan menjadi tanda geliat kehidupan manusia. Bayi yang menangis minta susu atau menangis karena kepanasan, yang jelas ia minta orang dewasa melakukan sesuatu terhadapnya, agar ia kembali nyaman, agar ia bisa mengatasi ketidakseimbangan tubuhnya.

Permintaan berkembang seiring usia. Waktu kecil, seorang anak minta hadiah mobil mainan pada ayah ibunya. Besar sedikit, ia minta sepeda baru sebagai hadiah kenaikan kelas. Sekarang ini, gadget malah jadi pilihan favorit yang diminta anak-anak hingga orang dewasa. Sepasang remaja yang berpacaran minta agar pasangannya bersikap begini, begitu, intinya memahami dirinya. Seorang dewasa membuat permintaan yang lebih kompleks, misalnya ingin bekerja di perusahaan X dan meminta gaji sekian, dengan syarat memegang tanggung jawab ABC, punya bawahan yang begitu, jam kerja yang begini, dan seterusnya. Barangkali orang lanjut usia mempunyai permintaan yang tidak muluk-muluk, hanya agar sehat dan dikunjungi anak cucu atau kerabat. Ada kalanya sebagian dari mereka justru kesulitan mengungkapkan permintaan. Ingin menonton televisi, tetapi yang terucap adalah meminta makan, sehingga dapat dipastikan tidak memperoleh yang diminta.


Dalam doa sebelum tidur, seorang anak kecil minta agar tubuhnya lekas bertambah tinggi. Seorang remaja berdoa minta keberhasilan dalam ujian akhir. Menjelang detik-detik ulang tahunnya, seorang wirausaha berdoa mengharapkan kesuksesan. Ah, ya, mungkin saja seorang pemimpin rakyat berdoa agar dapat mempertahankan kekuasaannya. Memasuki tahun baru, ada banyak doa, harapan, dan permintaan dipanjatkan.

Pertengahan Desember lalu, saya dan beberapa kawan berwisata ke Situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Awalnya saya tidak tahu bahwa cagar budaya ini digunakan pula sebagai tempat berdoa oleh orang-orang yang berkunjung, selain menikmati keindahan alam dan budaya megalitikum-nya. Adalah Abah Dadi, pemandu kami, yang menceritakannya. Orang-orang datang memohon kesembuhan, kekayaan, jodoh, ketenaran, kepintaran, kelancaran usaha, dan sebagainya kepada Sang Pencipta, dengan menitipkan permohonan mereka kepada leluhur di tanah itu. Mereka rela datang dari kota-kota yang jauh lalu mendaki ke puncak gunung. Tempat-tempat ketinggian memang sering menjadi pilihan orang untuk berkomunikasi dengan Tuhan, karena bisa jadi mereka merasa lebih dekat dengan-Nya di sana.

Saat memikirkan tentang permintaan yang diceritakan Abah Dadi, muncul pertanyaan dalam kepala saya, namun urung saya tanyakan pada beliau karena bingung merumuskannya. Sebenarnya simpel, hanya ingin tahu, di antara semua permintaan yang ada, permintaan seperti apakah yang tepat itu? Apakah meminta kekayaan adalah permintaan terbaik yang perlu diminta? Mana pula yang lebih tepat, meminta agar usaha dimudahkan, atau meminta kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang datang? Minta dikaruniai kecerdasan, atau dibukakan mata hati agar menyadari talenta yang sudah Tuhan beri? Mengapa pula memerlukan perantara leluhur untuk meminta kepada Tuhan yang sudah demikian dekat dengan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini berseliweran selama beberapa hari dan minggu setelahnya, hingga saya menemukan kutipan permintaan Raja Salomo berikut ini.

"Kalau kekayaan merupakan milik yang diinginkan dalam kehidupan, maka apa gerangan yang lebih kaya dari pada kebijaksanaan yang mengerjakan segala sesuatu?
Kalau kepintaran yang bekerja, siapa gerangan di antara semua yang ada  yang lebih berbakat seni dari pada kebijaksanaan?
Dan kalau seseorang mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan keberanian; dari pada semuanya itu tidak ada sesuatupun dalam kehidupan yang lebih berguna bagi manusia.
Demikianpun kalau seseorang menginginkan banyak pengalaman, maka kebijaksanaan mengetahui yang dahulu dan mengirakan yang akan datang; ia pandai memahami penuturan yang kusut serta memecahkan teka-teki; tanda dan mujizat diketahuinya lebih dahulu, pun pula kesudahan zaman dan masa.
Tetapi setelah aku tahu bahwa aku tidak akan memiliki kebijaksanaan, kalau tidak dianugerahkan Allah, maka aku menghadap Tuhan dan berdoa kepada-Nya dan dengan segenap hati aku berkata:
'Allah nenek moyang dan Tuhan belas kasihan, dengan firman-Mu telah Kaujadikan segala sesuatu, dan dengan kebijaksanaan Kaubentuk manusia, agar ia menguasai segala makhluk yang telah Kauciptakan dan memerintah dunia semesta dengan suci dan adil serta memegang kekuasaan dengan tulus hati. Berilah aku kebijaksanaan. Sebab kebijaksanaan mengetahui dan memahami segala-galanya, dan dengan bijak dapat memimpin aku dalam segala langkah lakuku serta menjaga aku dengan kemuliaannya. Manusia manakah dapat mengenal rencana Allah, atau siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan? Sukar kami menerka apa yang ada di bumi, dan dengan susah payah kami menemukan apa yang ada di tangan, tapi siapa gerangan telah menyelami apa yang ada di sorga? Siapa gerangan sampai mengenal kehendak-Mu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan kebijaksanaan?'" (Kebijaksanaan Salomo 8:5-8; 9:1-4, 11-17)

Apakah meminta kebijaksanaan adalah permintaan yang paling tepat dalam hidup manusia? Seorang dosen yang bijak pernah mengatakan, mintalah yang penting dalam hidupmu. Yang penting itu berarti yang kita butuhkan, bukan? Memasuki tahun baru 2015, seorang kawan mengajukan permintaan dalam doanya agar ia dapat berdamai dengan masa lalunya, sehingga bisa mantap menghadapi masa depannya.

Tulisan ini tidak bermaksud memberi jawaban mutlak atas pertanyaan yang dibuka pada judul, tentang permintaan bagaimanakah yang tepat. Tepat tidaknya permintaan ternyata berpulang pada diri kita juga. Semoga kita paham apa yang perlu diminta, apa yang benar-benar kita butuhkan dalam hidup, khususnya untuk mengisi 2015 ini. Selamat Tahun Baru!




0 responses: