18 April 2013

Sebuah analogi

Membuka-buka folder lama dan menemukan tulisan lama, sebuah artikel yang saya buat lima tahun lalu, tertanggal 5 Januari 2008. Pada awal penulisannya, secara khusus artikel ini ditujukan kepada mahasiswa S1 Psikologi, tetapi tampaknya tulisan ini juga dapat dinikmati oleh pembaca yang tertarik dengan penelitian sosial. Maka, inilah dia.. Mari!


*****
Ada sebuah analogi, boleh ditebak analogi dari apa.

Fenomena dianalogikan seperti bola mengambang di udara dan Kamu punya beragam sarung tangan untuk menyentuhnya. Ada sarung tangan warna psikoanalisa, sarung tangan warna behavioristik, sarung tangan warna humanistik. Dari warna-warna itu, sarung tangannya beraneka macam lagi, ada sarung tangan cognitive theory, sarung tangan Piaget, sarung tangan Fishbein theory, sarung tangan Maslow, sarung tangan persepsi, sarung tangan fenomenologi, dan masih banyak lagi.


Sarung tangan-sarung tangan itu tergantung di sekeliling bola dengan jarak yang sama. Silakan kamu pilih satu sarung tangan untuk menyentuh bola itu. Setelah itu kamu boleh buka isi bolanya, boleh lihat faktor kognitifnya -misalnya memorinya, kecerdasannya-, atau lihat faktor motivasinya, tingkah lakunya, emosinya, stress-nya, status perkembangan si bola, kepribadiannya, dan banyak lagi sampai partikel paling kecilnya.

Tapi ada tapinya, dengan sarung tangan yang kamu pilih, kamu cuma bisa membuka isi tertentu dari bola itu. Syaratnya satu : kamu harus konsisten. Maksudnya, kamu harus tahu seluk beluk sarung tangan itu dari A sampai Z : bahannya apa, siapa yang buat, tujuan pemakaiannya untuk apa, dan apa-apa yang ga bisa disentuh sama sarung itu, lalu kalau pakai sarung tangan itu, kamu harus gunakan nama-nama komponen bola sesuai dengan nama yang dicetuskan oleh si pembuat sarung tangan. Setelah tahu, kamu gunakan sesuai petunjuk penggunaan.

Tidak ada sarung tangan yang lebih baik dibanding yang lain. Tiap sarung tangan punya kedudukan yang sama untuk dipilih. Kalau kamu pilih sarung A karena menurut kamu sarung itu lebih dekat sama bola, atau bahannya lebih pas, boleh-boleh aja. Memang subyektif alasan di balik pemilihan itu, karena tiap orang (kamu) pasti memandang bolanya beda-beda. Maksudnya beda, mungkin kamu pakai kacamata beda, atau bolanya yang terlihat beda, misal rada penyok, agak menggelembung di kanan, dsb. Tapi saya melihat bola itu sedikit lonjong seperti telur, maka saya pilih sarung B. Trus teman saya melihatnya seperti kamu, bola itu rada penyok dan menggelembung, tapi dia pilih sarung C. Alasannya dia tertarik dengan bahan sarung C, menurutnya lebih pas untuk menyentuh bola itu. Nah semuanya benar. Tujuan semua sarung tangan itu kan sama seperti perkakas bengkel di tangan teknisi, atau seperti alat operasi di tangan dokter bedah, yaitu “membedah”, mencari tahu, menjelaskan tentang bola itu.

Saya jadi terbersit satu hal, apakah menjadi lebih baik kalau ada 4 sampai 5 teman saya yang masing-masing memakai sarung tangan berbeda menyentuh bola itu? Bukankah akan didapat penjelasan yang holistik tentang bola itu.

Kalau ga salah, pernah ada dosen yang mengusulkan tentang penelitian kolektif.
Bolanya satu saja, tapi sarungnya beda-beda dan komponen yang dibuka juga beda. Buruknya sih, kalau perbedaan-perbedaan ini makin melebar dan menjalar sendiri-sendiri, yah jadinya ga ketemu holistiknya. Maka hasil yang didapat perlu saling dibagikan. Nah, setiap orang jadi tahu 5 komponen bola tersebut dan bisa menjelaskan lebih lengkap tentang bola itu.

Apakah sudah menjadi jelas maksud pembicaraan bola dan sarung tangan di atas?
Intinya adalah skripsi dan penelitian-penelitian psikologi lainnya.

Seorang dosen senior, di Universitas Padjadjaran, Bang Hatta panggilannya, pernah mengatakan bahwa ada tiga pendekatan untuk memahami manusia, yaitu 3 aliran psikologi (psikoanalisa, behavioristik, humanistik),  yang menjadi santapan mahasiswa psikologi tentunya.
Dalam pandangan saya, aliran/pendekatan ini seperti kacamata warna –atau ketiga warna sarung tangan tadi-, yang menjadi paradigma berpikir bagi penggunanya.
Kalau sudah pilih satu pendekatan, harus terima juga konsekuensinya. Pilih behavioristik, ya, jangan bawa-bawa fiksasi fase oral..gitu kira-kira.
Bolanya adalah fenomena, bagian dari bola itu masalah penelitiannya, dan sarung tangannya adalah teori yang dipakai.

Untuk sebuah penelitian skripsi, tidak mungkin kita pakai semua teori yang ada. Hasilnya memang ga akan sempurna. Mengutip perkataan dr.Anam, salah seorang dosen neurologi, “Skripsi itu seperti satu bata di antara ribuan bata Tembok Cina.” Ada lanjutannya tapi saya tidak ingat. Pesan yang saya tangkap seperti ini, "Skripsi itu seperti satu bata di antara ribuan bata Tembok Cina. Inginnya memahami Tembok Cina, tapi ga akan bisa terjelaskan hanya dengan satu skripsi (bata). Sangat banyak bata lainnya, dan skripsi hanya mampu menjelaskan satu bata."

Bukan jadi berkecil hati, tapi memang benar. Segumpal tanah saja bisa menjadi kajian geologi, arkeologi, biologi, pertanian,… dan masih banyak lagi. Apalagi manusia, dari segi psikologi saja sudah sangat banyak, ditambah manusia dikaji oleh ilmu ekonomi (dipandang sebagai produsen/konsumen), politik, budaya, biologi, seni, dll.
Saat menulis ini saya sendiri tersadar dan takjub akan betapa hebatnya akal manusia dan terlebih lagi Yang Menciptakan.

Nah, sampai juga ke maksud dan tujuan tulisan ini. Sederhana saja, tanpa maksud menggurui, hanya berbagi pada teman-teman, agar sebelum melakukan penelitian, pertama-tama kita merasa bebas sebagai peneliti dan tahu “apa esensi dari yang saya kerjakan ini?”. Kalau sudah paham, pasti terasa mudah menjalaninya, karena kita sudah lebih pede menggunakan sarung tangan apa.

Sayangnya atau untungnya..saya mendapat “aha insight” ini dua hari sebelum sidang skripsi, sedangkan selama menyusun skripsi, saya belum tahu esensi dari penelitian..haha. Bila teman-teman sudah tahu lebih dulu tentang ini, selamat! Pemahaman ini pun belum tentu benar, karena masing-masing kita pun sedang belajar mencari kebenaran itu. Jadi,..mari saling memantulkan ide!

*****

0 responses: