26 April 2013

Orang-orang spesial

Sewaktu Kevin Connolly berumur sepuluh tahun, keluarganya membawanya ke Disney World. Connolly menjadi daya tarik utama bagi pengunjung tempat itu. Begitu pula dalam perjalanannya ke berbagai tempat lain. Orang-orang menatapnya, kadang dengan ekspresi heran, mengernyitkan dahi, dan sebagainya, sampai-sampai Connolly sudah terbiasa dengan tatapan orang asing. Pada suatu ketika Connolly mendapat ide untuk memotret wajah orang-orang yang menatapnya dan kemudian 32.000 foto yang dibuatnya, yang menggambarkan portfolio wajah manusia dari 31 negara, ia pamerkan secara online dalam The Rolling Exhibition (www.therollingexhibition.com). Adakah yang bisa menebak, apa yang membuat orang-orang menatapnya?



Kevin Connolly lahir tanpa kaki.

Terkejut membacanya? Ya, saya pun demikian. Tetapi, terkejut karena apa? Karena kondisinya atau karena prestasinya? Kita mungkin merasa kasihan dengan kondisinya. Kita membayangkan bagaimana caranya berjalan tanpa kaki. Tapi lihat, ia mampu mengukir prestasi sebagai fotografer. 



Prestasi-prestasi lain lebih mencengangkan. Sebut saja atlet-atlet kejuaraan Olimpiade Paralimpiade (olimpiade untuk penyandang cacat/difabel), penyanyi terkenal Stevie Wonder, ilmuwan Helen Keller, dan masih banyak lagi. Kita mungkin pernah menyaksikan di media, kisah tentang Angkie Yudistia, seorang perempuan tuna rungu yang membuktikan apa yang orang lain anggap tidak mampu ia lakukan: bekerja di bidang komunikasi massa. Contoh terdekat juga saya saksikan di kampus. Seorang mahasiswa mengikuti perkuliahan secara normal meski tanpa memiliki kedua lengan bawah. Masih memerlukan contoh lagi? Kalau begitu, yuk kita lebih membuka mata terhadap orang-orang di sekitar kita.

Merasa iba dan berempati merupakan respon yang manusiawi. Tetapi hati-hati, jangan sampai yang mendominasi adalah rasa kasihan, yang justru melemahkan potensi saudara-saudara kita yang difabel. Jangan sampai kita memandang rendah dan membatasi haknya. Walaupun benar bahwa lingkungan kita belum menjadi tempat yang ramah bagi mereka. Trotoar, toilet, tangga masuk, kendaraan umum, dsb belum memberi kemudahan akses untuk penyandang difabel. Di luar kondisi fisik tersebut, bagaimana sikap kita –sebagai penyandang maupun bukan penyandang difabel-?

Sebenarnya pun, kita secara tak sadar sering terjebak oleh sikap mengasihani, baik kepada orang lain maupun diri sendiri. Kita berlindung pada anggapan bahwa kita tidak (cukup) mampu. Apakah benar kita tidak mampu? Rasanya kita tidak pernah tahu batas kemampuan kita sebelum benar-benar memaksimalkannya.


Kita, yang memiliki kekurangan, kelemahan, keterbatasan, bisa saja merasa minder. Hei.…tidak ada manusia yang sempurna, kawan! “No One’s Perfect”, seperti judul buku yang ditulis oleh Hirotada Ototake, seorang penyandang tetra-amelia syndrome. Ia lahir tanpa kedua tangan dan kaki, namun perbedaan ini tidak membuatnya diperlakukan istimewa dibandingkan teman-teman sekolahnya. Hampir semua pekerjaan yang dilakukan teman-temannya, dapat ia lakukan sendiri, seperti menulis, bermain sepakbola, dan mendaki gunung. Ia bahkan sempat menjadi ketua OSIS di sekolahnya dan bekerja sebagai guru olahraga.

Tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi, ada hal-hal spesial yang hanya kita yang bisa melakukannya di dunia ini. Itulah salah satu alasan kita dilahirkan. Mengutip perkataan Oka Sensei kepada Ototake, “Ada hal-hal yang tidak bisa kamu lakukan dengan baik tanpa bantuan, tetapi ada juga hal-hal yang bisa kamu lakukan dengan baik untuk membantu orang-orang lain.” Mengalami difabel (different ability) hanya soal perbedaan, tidak ada yang perlu disalahkan atas kondisi ini. Namun, menjadi berprestasi adalah hak yang sama untuk setiap orang.

0 responses: