Sewaktu Kevin Connolly berumur sepuluh tahun, keluarganya
membawanya ke Disney World. Connolly menjadi daya tarik utama bagi pengunjung
tempat itu. Begitu pula dalam perjalanannya ke berbagai tempat lain.
Orang-orang menatapnya, kadang dengan ekspresi heran, mengernyitkan dahi, dan
sebagainya, sampai-sampai Connolly sudah terbiasa dengan tatapan orang asing.
Pada suatu ketika Connolly mendapat ide untuk memotret wajah orang-orang yang
menatapnya dan kemudian 32.000 foto yang dibuatnya, yang menggambarkan
portfolio wajah manusia dari 31 negara, ia pamerkan secara online dalam The
Rolling Exhibition (www.therollingexhibition.com). Adakah yang bisa menebak,
apa yang membuat orang-orang menatapnya?
Kevin
Connolly lahir tanpa kaki.
Terkejut membacanya?
Ya, saya pun demikian. Tetapi, terkejut karena apa? Karena kondisinya atau
karena prestasinya? Kita mungkin merasa kasihan dengan kondisinya. Kita
membayangkan bagaimana caranya berjalan tanpa kaki. Tapi lihat, ia mampu
mengukir prestasi sebagai fotografer.
Prestasi-prestasi lain lebih
mencengangkan. Sebut saja atlet-atlet kejuaraan Olimpiade Paralimpiade
(olimpiade untuk penyandang cacat/difabel), penyanyi terkenal Stevie Wonder,
ilmuwan Helen Keller, dan masih banyak lagi. Kita mungkin pernah
menyaksikan di media, kisah tentang Angkie Yudistia, seorang perempuan tuna
rungu yang membuktikan apa yang orang lain anggap tidak mampu ia lakukan:
bekerja di bidang komunikasi massa. Contoh terdekat juga saya saksikan di
kampus. Seorang mahasiswa mengikuti perkuliahan secara normal meski tanpa
memiliki kedua lengan bawah. Masih memerlukan contoh lagi? Kalau begitu, yuk kita lebih membuka mata terhadap
orang-orang di sekitar kita.
Merasa iba
dan berempati merupakan respon yang manusiawi. Tetapi hati-hati, jangan sampai
yang mendominasi adalah rasa kasihan, yang justru melemahkan potensi
saudara-saudara kita yang difabel. Jangan sampai kita memandang rendah dan
membatasi haknya. Walaupun benar bahwa lingkungan kita belum menjadi tempat
yang ramah bagi mereka. Trotoar, toilet, tangga masuk, kendaraan umum, dsb
belum memberi kemudahan akses untuk penyandang difabel. Di luar kondisi fisik
tersebut, bagaimana sikap kita –sebagai penyandang maupun bukan penyandang
difabel-?
Sebenarnya
pun, kita secara tak sadar sering terjebak oleh sikap mengasihani, baik kepada
orang lain maupun diri sendiri. Kita berlindung pada anggapan bahwa kita tidak
(cukup) mampu. Apakah benar kita tidak mampu? Rasanya kita tidak pernah tahu
batas kemampuan kita sebelum benar-benar memaksimalkannya.
Kita, yang
memiliki kekurangan, kelemahan, keterbatasan, bisa saja merasa minder.
Hei.…tidak ada manusia yang sempurna, kawan! “No One’s Perfect”, seperti judul
buku yang ditulis oleh Hirotada Ototake, seorang penyandang tetra-amelia syndrome. Ia lahir tanpa
kedua tangan dan kaki, namun perbedaan ini tidak membuatnya diperlakukan
istimewa dibandingkan teman-teman sekolahnya. Hampir semua pekerjaan yang
dilakukan teman-temannya, dapat ia lakukan sendiri, seperti menulis, bermain
sepakbola, dan mendaki gunung. Ia bahkan sempat menjadi ketua OSIS di
sekolahnya dan bekerja sebagai guru olahraga.
Tidak
ada manusia yang sempurna. Tetapi, ada hal-hal spesial yang hanya kita yang
bisa melakukannya di dunia ini. Itulah salah satu alasan kita dilahirkan.
Mengutip perkataan Oka Sensei kepada Ototake, “Ada hal-hal yang tidak bisa kamu
lakukan dengan baik tanpa bantuan, tetapi ada juga hal-hal yang bisa kamu
lakukan dengan baik untuk membantu orang-orang lain.” Mengalami difabel (different ability) hanya soal perbedaan,
tidak ada yang perlu disalahkan atas kondisi ini. Namun, menjadi berprestasi
adalah hak yang sama untuk setiap orang.
0 responses:
Posting Komentar