Inatentif dan egosentris. Perpaduan yang bisa membuat seseorang sulit bersosialisasi, dalam arti ia sulit memahami lingkungannya, dan ia sulit diterima dalam pergaulan.
Apa, sih, inatentif itu?
Sederhananya, tidak memperhatikan. Bisa karena keterbatasannya dalam hal
kemampuan atensi (mungkin secara neurologisnya), sehingga mudah beralih
perhatian, berganti topik pembicaraan, tidak menyimak, tidak fokus, atau mudah
lupa. Bisa pula karena ia tidak berniat
menaruh perhatian pada orang lain, cuek, tidak peduli, yang mungkin berkaitan
dengan egosentrisme. Apa itu egosentris? Secara sederhana bisa diartikan bahwa
seseorang memaknai sesuatu hanya melalui sudut pandangnya sendiri, berorientasi
pada dirinya. Anak kecil umumnya masih egosentris, inginnya semua orang bisa
memahami dirinya. Wajar, pada anak kecil.
Apa yang terjadi bila
berkomunikasi dengan orang yang inatentif? Informasi yang ia terima bisa jadi
tidak utuh, sepotong-sepotong. Bisa jadi, obrolan tidak nyambung. Bisa jadi
juga, kita kesulitan mengikuti alur percakapan yang berubah tiba-tiba. Ia juga
bisa keliru memaknakan situasi atau perkataan orang lain. Bagaimana jika
berkomunikasi dengan orang yang egosentris? Maunya bicara tentang dirinya saja.
Mungkin terkesan mudah tersinggung, karena ia mudah menarik segala hal untuk
dikaitkan dengan dirinya dan subyektivitasnya, juga
permasalahan-permasalahannya, kesulitannya, perasaannya, dunianya. Mungkin
juga, ia tidak mau mendengarkan orang lain. Sulit menerima pendapat yang
berbeda, atau pendapat orang lain dipandang salah olehnya, ya karena dia hanya
melihat dari kacamatanya.
Apa jadinya kalau orang
yang inatentif, ia juga egosentris? Terbayang situasi percakapannya? Belum lagi
kalau pribadinya juga dominan, mungkin jengah rasanya mendengarkan dia. Malah
ada yang pernah cerita bahwa ia banyak dimusuhi. Bisa jadi memang orang lain
tidak menyukainya, atau ia yang merasa tidak disukai banyak orang. Kalau
pribadinya cenderung inferior atau minder, mungkin melelahkan untuk meyakinkan
dirinya bahwa ia tidak seburuk itu, bahwa dunia tidak sekejam itu pada dirinya.
Kalau ia inatentif, tetapi
masih menunjukkan keterbukaan dan kepedulian (tidak egosentris), tampaknya orang
lain masih bisa memaklumi keterbatasannya. Ia perlu menerima pesan secara
berulang dan bertahap, agar bisa dipahami dengan utuh.
Bagaimana kalau ia hanya
egosentris, tetapi bisa atentif? Dia bisa menyimak, memahami pesan, tetapi lalu
sulit memandang persoalan dengan objektif. Meskipun ini agak jarang ditemukan,
karena biasanya perhatian yang terpusat pada diri sendiri membuat seseorang
sulit memperhatikan lingkungan di luar dirinya. Di sisi lain, ia mungkin saja
menunjukkan perhatiannya pada lingkungan karena ada tuntutan, kebutuhan untuk
dirinya, atau agar dipandang baik oleh orang lain.
Kalau seseorang inatentif
dan egosentris, lalu bagaimana supaya ia bisa berkomunikasi dengan efektif?
Seseorang pernah mengatakan pada saya, kita belajar dan diajarkan untuk berbicara
tetapi tidak belajar untuk mendengarkan. Ya, kita mendengar, tetapi bukan
mendengarkan. Kita mendengar orang bicara sambil sibuk melihat hal lain,
memikirkan jawaban atau pertanyaan berikutnya, memikirkan diri kita, dan
lain-lain, dan sepertinya itu bukan mendengarkan. Memang betul-betul diperlukan
kesadaran untuk bisa mengajak diri mendengarkan secara atentif. Untuk bisa menahan
subjektivitas dan memberi ruang sehingga bisa menerima dan memahami pesan secara
utuh. Untuk bisa memahami situasi dan sudut pandang orang lain.
Apakah hanya dengan
mendengarkan? Ini opini pribadi saya saja, karena sepertinya itu cara paling
sederhana yang bisa diupayakan. Tentu ada cara-cara lain untuk melatih
kepekaan, atensi, empati. ‘Mendengarkan’ ini terdengar sederhana, tetapi bukan
berarti cara yang mudah, karena saya sendiri masih jatuh bangun mempelajarinya.
Jatuh tergelincir egoisme, emosi, dan lainnya. Tetapi manakala berhasil
melakukannya, rasanya bersyukur sekali, bisa ada di momen itu secara penuh. Hm…bagaimana
ya, menceritakannya. Penasaran? Silakan dicoba.
0 responses:
Posting Komentar