22 Januari 2020

Game dan taraf kompetensi




Beberapa waktu lalu saya kerap bermain game Candy Crush. Game ini fenomenal sekali, lho, sampai-sampai dibahas dalam buku Hooked (Nir Eyal, 2013). Mainnya di handphone teman saya, sehingga ga sampai terus-terusan, meskipun mengalami juga efek game yang bikin tampilan warna warni bola-bola permen tiba-tiba muncul dalam pikiran. Mungkin juga karena saya ini tipe visual. Dan mungkin juga efek inilah yang membangkitkan dorongan para gamer untuk bermain dan bermain lagi.

Nah, sewaktu saya dalam perjalanan ke luar kota yang makan waktu beberapa jam, terlintas keinginan bermain Candy Crush, tetapi lalu muncul ingatan tentang level game yang sulit. Kalau levelnya masih dua ratusan sebelum ini masih menyenangkan karena mudah, tapi sekarang sedang masuk yang sulit. Kalau levelnya masih yang awal-awal juga terlalu mudah. Membosankan. 

Alih-alih main, malah muncul ide. 

Hei, bukankah leveling pada game ini seperti halnya mengukur tingkat kemampuan atau kompetensi pada manusia, ya. Bayangkan kalau kompetensi manusia bisa diukur serinci derajat kesulitan pada game. Kalaupun tidak rinci, kita bisa manfaatkan analogi level game untuk memahami tingkat kemampuan manusia. Manusia punya variabilitas kemampuan, itu sudah pasti. Premis berikutnya adalah orang akan senang dan termotivasi melakukan hal yang sesuai dengan kemampuannya. 

Orang dengan kapasitas kemampuan 70, ia sudah pasti bisa mengerjakan tugas level 10 sampai 70. Tapi kalau tugasnya terus-terusan di level 10, ia bisa bosan. Kalau dikasih tugas level 120 bakal kewalahan, tidak suka, atau malah menyerah. 

Ia diperkirakan akan menikmati tugas pada level 60 sampai 80. Ia fit di sini. Ia akan bersemangat dan mungkin bisa berkembang ke level 90 atau 100, tergantung karakternya, seberapa gigih, dan seberapa suka tantangan atau tidak.

Mobil yang saya tumpangi sudah mendekati pintu keluar tol, padahal saya belum jadi main Candy Crush-nya. 

Saya membayangkan kalau penyelenggara pendidikan dan penyelenggara kerja mampu mendeteksi taraf kemampuan peserta didik dan pekerja dengan jitu seperti level pada game, kita akan menemukan lebih banyak orang yang termotivasi dibandingkan yang frustrasi.


0 responses: