22 Januari 2020

Game, kebutuhan prestasi, dan apresiasi


Saya sering melihat orang suka bermain game di ponsel mereka sepulang kerja. Di rumah, di kereta, di bus. Sebagai kesenangan, melepas penat, atau menghilangkan bosan. Game memang dibuat agar orang merasa senang, kan. Kesenangan yang diperoleh ketika berhasil, menang, atau senang menikmati permainannya.

Keberhasilan ini bolehlah kita maknakan sebagai prestasi, pencapaian. Dalam game, pemaknaan “prestasi” yang lebih cocok untuk konteks ini barangkali dari kata "accomplishment". Tercapai, selesai. Tuntas.

Pencapaian dan keberhasilan sudah menjadi bagian dari kebutuhan manusia, kira-kira sejak masa-masa sekolah dasar, yang dalam tahap perkembangan psikososial Erik Erikson dinamakan tahap Industry. Lalu dalam perkembangan kepribadian manusia, kebutuhan ini menjelma menjadi kebutuhan berprestasi (need for achievement) seperti disebut dalam teori motivasi McClelland.

Ada kesamaannya antara dunia kerja pada umumnya dan dunia game. Dalam bekerja, kita berusaha menghasilkan (memproduksi), mencapai, atau memenangkan suatu target,  begitu pula dalam dunia game, ya. Bedanya, yang satu nyata, yang satu virtual, meskipun ada juga yang berimplikasi reward di dunia nyata. Selain itu, ada perbedaan yang menarik.

Dalam dunia kerja pasti ada saja yang namanya tidak tuntas yang bikin lelah hati, tetapi di game, perasaan tuntas bisa diciptakan ketika berhasil di satu level. Kalaupun gagal, masih bisa mengulang lagi dengan kondisi yang sama persis. Kalau menang, ya senang, lalu dapat bonus, hore-hore di layar. Akan tetapi, dalam situasi nyata, kegagalan menggolkan proyek hanya karena kecerobohan kecil, gagal mendapatkan pembeli hanya karena kemacetan jalan, gagal lulus semester, apa semua itu bisa diulang? Bisa sih, tapi (kondisinya) tidak pernah sama persis. Begitu banyak faktor yg membedakan kondisi yang pertama kali dan yang diulang. Orang yang berbeda, kondisi finansial yang berbeda, kekuatan fisik yang berbeda, dsb. Atau kesempatan itu tidak pernah ada lagi. Lalu kita kecewa. Ada yang belum selesai, unaccomplished. Sementara di dalam game, selesai di satu level, memunculkan perasaan accomplished. Pernah mengalaminya?

Setelah kita berhasil, biasanya diikuti dengan apresiasi. Biasanya, lho, karena tidak selalu. Apalagi di dunia nyata, tidak selalu apresiasi itu datang dari orang lain, termasuk juga diri sendiri yang sering lupa menghargai kerja keras sendiri. Padahal apresiasi adalah juga bagian dari kebutuhan manusia. Dalam game, apresiasinya nyata, meskipun hanya berupa suara musik bersorak atau tulisan “You Win” besar-besar di layar, tapi itulah penanda kita berhasil di game tersebut.

Mungkin perasaan accomplished dan appreciated ini yang bikin orang suka bermain game. Asyik dengan dunia yang lebih bisa diprediksi ketimbang dunia nyata. Kebutuhannya pun terpenuhi. Tentu ini masih kemungkinan, dugaan-dugaan saya. Saya juga menemukan artikel dari seorang gamer yang mengulas need for accomplishment

Apabila benar, bahwa kebutuhan prestasi dan apresiasi ini terpenuhi melalui game, kita mungkin perlu menengok kepada anak-anak, adik, atau keponakan kita yang lekat dengan game, agar mereka tidak menyempitkan pemaknaan prestasi hanya pada game. Ada begitu banyak pengalaman nyata yang bisa dieksplor di luar layar segiempat itu, ada begitu banyak jenis perasaan berhasil dan apresiasi yang bisa mereka alami.


0 responses: