Selama kita pernah
menjadi murid, setidaknya ada satu guru favorit yang berjasa dalam perkembangan
pribadi kita. Mereka bisa jadi guru yang lembut dan penyayang, guru yang
humoris, guru yang jenius, atau guru yang killer.
Biasanya yang berkesan untuk jangka panjang bukan materi yang mereka ajarkan,
tetapi karakter guru tersebut yang berdampak pada diri kita.
Satu guru yang termasuk
salah satu top of mind saya adalah Ibu Roslin, guru pelajaran seni musik di
SMP. Beliau terkenal killer, gaung namanya membuat kami tegak siaga, bahkan sampai
kepada kakak-kakak senior kami di SMA yang pernah mengenal beliau. Seperti
suatu sengat yang membuat kami berubah tertib dalam sekejap, entah di ruang
kelas ataupun di lapangan sekolah. Saya pun termasuk kalangan siswa yang duduk
tegang selama mendengarkan pengajaran beliau di kelas, sambil mondar-mandir
atau sesekali duduk di bangku guru, seraya menggenggam penggaris kayu.
Akan tetapi, perasaan
tegang itu berangsur berubah menjadi kekaguman, yang membuat saya justru fokus
mendengarkan wejangan beliau, sehingga banyak pesannya masih saya ingat hingga
hari ini. Saya pun merasa beruntung memiliki waktu tambahan menerima pengajaran
beliau karena saya mengikuti ekstrakurikuler koor (paduan suara) yang diasuh
oleh beliau.
Sekali-kalinya saya
pernah kena tegur langsung adalah ketika tanpa sengaja melangkahi tanaman. Jadi ada
jalan masuk selebar satu meter dan di sebelahnya dijadikan lahan untuk tanaman
hias. Bukannya berjalan di jalan masuk, saya ambil gampangnya saja melangkahi
tanaman hias yang tingginya juga tidak sampai selutut saya. Ibu Roslin ternyata
melihat itu, dan saya ditegur kenapa tidak lewat jalan masuk yang benar dan
malah melompati tanaman. Sebenarnya beliau lebih banyak mengajar budi pekerti
ketimbang seni musik itu sendiri. Untuk materi seni musik, kami diminta pentas
vocal group setiap minggu. Kalau dipikir-pikir sekarang, justru sebenarnya
momen tampil itulah menjadi jam terbang kami melatih kepercayaan diri.
Saya juga heran, apakah
materi budi pekerti itulah yang menarik untuk saya simak setiap minggunya. Misalnya,
ketika mendengarkan guru, kami dilarang keras sebentar-sebentar menengok ke
luar pintu melihat siapa saja yang lewat di sana. Beliau bilang, kalau nanti
jadi pekerja, tidak boleh sebentar ada apa tengok ke luar, ada suara tukang
bakso, suara orang mengobrol, dsb. Kalau dipikir-pikir sekarang, benar juga,
supaya kami fokus dalam belajar dan bekerja. Istilah psikologinya, selective attention, bisa memilah
hal-hal yang menjadi perhatian kita. Yang tidak penting dan tidak relevan, ya
tidak perlu diperhatikan.
Kalau diberi instruksi,
tidak boleh bertanya ulang. Misalnya, ibu meminta tolong, “Nak, ambilkan lap di
dapur.” Lalu, kita jawab, “Lap di dapur?” Wah, bertanya balik macam begini
dilarang keras. Diberi instruksi kok bertanya balik, itu tidak sopan, kurang
lebih seperti itu penuturan beliau. Artinya, lagi-lagi melatih fokus, karena
kalau fokus mendengarkan, tidak perlu bertanya lagi, tetapi langsung
laksanakan.
Khusus untuk koor atau
paduan suara gereja, dilarang keras tengok-tengok ke deretan bangku umat,
kipas-kipas, minum, apalagi mengobrol. Haha, ini terdengar kaku sekali barangkali,
ya. Tapi itulah kekhidmatan yang beliau mau tanamkan kepada kami. Termasuk juga
berjalan dan berdiri dengan tegak, serta posisi memegang buku lagu yang tepat.
Jika berusaha
diingat-ingat, pasti ada banyak sekali ajaran beliau yang mungkin sekarang ini
sudah terinternalisasi ke dalam karakter saya. Tiga tahun mengenal beliau
justru tidak menganggapnya sebagai guru killer,
tetapi saya mengingatnya sebagai guru favorit. Yang juga membuat saya
mengidolakan beliau, karena suaranya yang merdu dan kepiawaiannya menjadikan
suara-suara amatir kami sebagai remaja puber menjadi harmoni yang padu.
Malam ini, berita
mengejutkan itu datang. Ibu Rosalin SB Pareira dipanggil Tuhan pada usia 84
tahun. Enam tahun lalu, 22 Februari 2014, tanpa sengaja saya pernah bertemu beliau dalam acara
tahbisan uskup di Sentul. Beliau masih sehat, gagah, walaupun ingatannya mulai
pudar selama berbincang. Beberapa tahun setelahnya beliau kembali ke kampung
halaman di Ende. Kini jiwanya bernyanyi bersama malaikat di surga. Tepat pada
Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020. Hidup baktinya sebagai pendidik pasti
terus digaungkan melalui karya-karya anak didiknya.