Menjumpai pemandangan matahari terbenam pada tujuh hari berturut-turut mengantarku pada sebuah pemahaman.
Apa bedanya, sunset di pantai dan di gunung? Tanyaku
pada seorang sahabat, apakah beda, sunset
di Pantai Triangulasi, Pantai Pulau Merah, dan Pantai Kuta? Apakah beda, sunset yang dipandang dari bumi dengan
di atas awan?
Mengapa orang mengejar sunset di Kuta? Benar-benar harus
memandangnya di Kuta, bukan di pantai selatan Jawa. Yang pernah kusaksikan,
pemandangan langit senja kemerahan di atas Stasiun Bogor maupun di balik gedung
perkantoran Jakarta juga tak kalah cantiknya.
Taman Nasional Baluran (dok.pribadi) |
Taman Nasional Baluran (dok. pribadi) |
Pantai Triangulasi, Taman Nasional Alas Purwo (dok. pribadi) |
Pantai Pulau Merah (dok. pribadi) |
Pantai Pulau Merah (dok. Awesome Trip) |
Pantai Kuta (dok. pribadi) |
Kudapati keindahan setiap
tempat wisata yang menawarkan sunset tidak
terpaku pada pemandangan matahari terbenamnya. Mataharinya toh tetap sama, namun
pemandangannya tak pernah sama.
Ketika yang dinanti
adalah sunset, yang indah justru
semburat merah dari balik perbukitan karena mataharinya sendiri tertutup
punggung bukit.
Ketika yang dinanti adalah
sunset, yang menawarkan keindahan
justru pemandangan langit setelahnya. Menunggu beberapa menit kemudian, yang
terpampang adalah awan-awan bergulung kemerahan hingga ungu kebiruan.
Aku berani bertaruh, meski
tempatnya masih sama, sunset esok
hari menawarkan pemandangan lain yang berbeda. Awannya berbeda, warna langitnya
berbeda, pantulan air lautnya berbeda. Ini baru dari segi visual. Belum lagi
bila ditambah terik matahari, sepoi angin, deru ombak, dan sebagainya.
Seperti juga Taman
Nasional Baluran yang katanya lebih eksotis pada pertengahan bulan Agustus,
saat hampir semua tanaman berwarna kekuningan dan padang rumputnya menyerupai
padang Afrika. Pemandangan ini tak akan ditemukan di TN Baluran pada bulan
Februari yang memanjakan mata dengan rumput-rumput hijaunya.
Jadi, keindahan tempat
wisata bukan hanya lokasi, tapi juga perihal waktu, ya? Kalau begitu, setiap
tempat tak hanya menawarkan satu keindahan. Ia menawarkan 365 keindahan setiap
tahun. Bahkan lebih banyak lagi bila memperhitungkan keindahan yang dikandung
tiap menitnya.
Jika masih ada 364
keindahan yang belum teramati di satu tempat, mengapakah orang mencari
tempat-tempat baru untuk dijelajahi? Mengapa mencari kecantikan lain di
tempat-tempat lain? Sebatas pemenuhan checklist-kah?
Mengatakan begini, bukan berarti aku tidak sepakat dengan para pengejar matahari
di berbagai belahan bumi. Justru aku berterima kasih pada mereka yang menjadi
cerminan motivasi untuk menjelajah dan mengapresiasi keindahan semesta.
Hanya saja, perlu kusadari sungguh perihal
keindahan ini.
Agar aku
tak lupa bahwa keindahannya sudah ada kini dan di sini.
Sebelum aku
mencarinya ke tempat-tempat lain.
***
Pada setiap memandang sunset, juga semua pemandangan semesta
yang kutemui, hati ini hanya bisa berujar terima kasih, terima kasih, terima
kasih.