“Kamu ikut kegiatan ini
karena mau sendiri atau ditunjuk guru?”
“Mau sendiri, mau
belajar yang diajarin ini (tentang SiGAP).”
Itu sepotong percakapan
saya dengan salah satu anak, yang menjawab dengan malu-malu. Ia dan 74 anak
lainnya mewakili 5 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mengikuti pelatihan
SiGAP yang diselenggarakan oleh Save the Children. Kelak mereka dipersiapkan
sebagai leader bagi teman-temannya di sekolah untuk
membentuk sekolah aman bencana. Karena itu, mereka dibekali kemampuan
komunikasi, sikap positif terhadap diri, dan sikap kepemimpinan dalam pelatihan
kemarin.
Berproses dengan
anak-anak hampir selalu menimbulkan getar kekaguman. Itu yang saya alami lagi
bersama sahabat saya, Dian Nirmala, saat memandu pelatihan untuk mereka. Dari
satu permainan sederhana; kami menyebutnya “Berhitung Siaga”, yakni setiap
orang menyebut satu angka secara berurutan misalnya 1-38 (karena ada 38 anak),
bebas dimulai dari siapa saja, tetapi tidak boleh berbarengan; saya merinding
berada di tengah-tengah mereka. Permainan ini memang cukup bikin kesal
ketika ada dua orang atau lebih menyebut angka berbarengan, karena hal itu
berarti permainan mesti diulang dari awal. Apalagi kalau sudah mencapai angka
belasan atau puluhan. Memang akhirnya mereka berhasil setelah berkali-kali
mengulang dari awal dan raut wajah antusias mulai berubah menjadi lemas. Saya
ikut deg-degan ketika menunggu setiap angka yang terucap dari mulut-mulut kecil
itu perlahan mendekati urutan ke-20, 30, dan…. ah 38!
Selepas permainan, kami
membahas poin-poin pembelajaran. Permainan ini tentang kepekaan dalam
berkomunikasi, tetapi kami tidak memberitahukan maksud permainan kepada mereka.
Kami tanyakan pendapat mereka tentang kunci keberhasilan permainan ini. Menurut
mereka, yang dibutuhkan (dalam komunikasi) adalah tenang, fokus/konsentrasi,
dan melihat sekitar. Tenang, agar dapat mendengar suara teman-temannya.
Konsentrasi agar tak salah menyebut angka. Melihat sekitar, gerak-gerik teman,
agar tahu waktu yang tepat untuk gilirannya bicara.
Tenang, fokus, dan
melihat sekitar. Bukankah kalau dipikirkan lagi, tiga hal ini memang dibutuhkan
dalam komunikasi kita? Kita perlu tenang agar dapat mendengar dan menyimak
dengan jernih, agar tidak mudah tersulut emosi yang membuat kita terburu-buru
menilai, menyerobot , menghardik. Fokus dan konsentrasi juga diperlukan, agar
tidak salah menangkap informasi, tidak mudah mengabaikan orang yang sedang
berbicara, tidak mudah terdistraksi oleh informasi lain dan asumsi. Komunikasi
dua orang, tiga orang, sepuluh orang, bahkan lebih, tetap merupakan komunikasi
dua arah. Apa kita cukup
memperhatikan situasi sekitar, kondisi orang lain, dan dampak pada orang lain,
ketika berbicara? Nyatanya, komunikasi juga tidak terbatas pada bicara, tetapi
pernyataan sikap verbal dan nonverbal.
Tiga pembelajaran
penting yang saya pelajari dari anak-anak ini. Anak-anak kelas 4, 5, dan 6,
yang menyebutkan kekuatan mereka adalah senyum, semangat pantang menyerah, dan
niat menolong sesama. Anak-anak, yang sebagian dari mereka tidak mengenal
“Moana”, film terbaru Disney tahun ini, dan “Om Telolet Om”, trending topic di jagat media sosial akhir-akhir
ini.
Itu pun baru dari satu
permainan.
Berproses dengan
anak-anak memang menimbulkan getar kekaguman.