Kalau saya, selama dua
tahun ini masih meminta penjelasan dari-Nya namun tak kunjung mendapat jawaban
yang tuntas, apakah itu berarti Tuhan bungkam? Atau justru saya yang buta dan
tuli? Ya, dua tahun lalu, tepat pada tanggal 30 Maret, ia berpulang kepada-Nya.
Sejak hari itu sampai hari ini masih bersarang butir-butir pertanyaan dalam
benak, tentang mengapa, andai saja, apakah mungkin, dan sebagainya; menelusuri
setiap asumsi logis yang mungkin terjadi, yang kemudian bercabang berdaun tanda
tanya.
Sebastian Rodrigues,
seorang misionaris Yesuit Portugis yang dikisahkan Shusaku Endo dalam novelnya,
Silence (terbitan Gramedia Pustaka
Utama, 2017), yang juga difilmkan baru-baru ini; menghadapi pergulatan iman
dalam hari-harinya yang semakin sulit pada masa penyiksaan orang Kristen di
Jepang pada abad ke-17: “Benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat
penderitaan?”
Baru kira-kira satu bulan
yang lalu saya membaca novelnya kemudian menonton visualisasinya beberapa hari
lalu. Bukan kisah yang mudah diterima akal dan rasa. Kisahnya bukan semata perjalanan
misionaris, sejarah, agama baru, mayoritas vs minoritas, pengingkaran iman vs
keteguhan iman. Ada suatu rasa yang lebih personal, lebih dalam, tentang
hubungan manusia dengan-Nya. Rasa itu, sulit dituliskan, hanya bergetar,
menyesak, saat saya membaca kalimat terakhir dalam novel; sama halnya ketika
mendengar pemeran Rodrigues menarasikannya. “Tetapi Tuhan kita tidak bungkam.
Andai pun Dia bungkam selama ini, kehidupanku sampai hari ini sudah cukup
berbicara tentang Dia.” Ia, salah satu pastor yang terpaksa menyangkal iman atas
desakan dan ancaman pemerintah Jepang pada masa itu, namun tetap menyimpan
imannya rapat-rapat.
Iman dalam senyap. Iman
dalam sembunyi. Beriman diam-diam, kalau bisa disebut demikian. Mengutip
review-nya The Guardian terhadap film ini, “iman yang tak memerlukan panggung”;
iman tidak memerlukan penilaian pun persetujuan orang lain; melainkan jawaban
hati. Hanya ia dan Dia yang tahu.
Bahwa ada pribadi yang
lemah, yang rela mengingkari iman berkali-kali, seperti Kichijiro dalam kisah
tersebut, justru hal ini menunjukkan rahmat-Nya. Ia hanya tak setegar orang
lain yang mengorbankan nyawa. Menggenggam imannya sambil memukul dada sendiri. Menelan
rasa pahit. Dengan cara itu ia menjalani hidupnya. Dengan cara itu iman tak
pernah benar-benar terhapus dari hatinya. Ia hanya tak sekuat para pemberani. Dan
iman tetap menjadi rahmat baginya, bagi siapa saja.

Dia tidak bungkam
terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Saya hanya sedang menelusuri,
mengilas-balik, setiap pertanyaan itu bersama-Nya.