“Hei, bangun..! Sudah sepi,
saatnya berpesta!”
“Jangan kau cari risiko. Tadi
masih kudengar suara pintu dikunci.”
“Nah, itu tandanya mereka
semua sudah pergi. Ayo kita cari makanan.”
“Tidak, Nou. Ini belum
saatnya. Kita mencari makan hanya pada malam ketika semua sudah tertidur.”
“Kau kuno sekali, Tam.
Sekarang ini rumah benar-benar kosong. Tak perlu terpatok malam atau siang
untuk cari pengisi perut. Ayo kita keluar.”
“Tapi….hati-hati. Ingat
kawan kita terakhir yang masuk perangkap.”
Kaki-kaki Nou dan Tam
melangkah cepat keluar dari bawah lemari menuju dapur. Mereka menggigit remah
yang bisa dipungut. Berpindah dari satu sudut ke sudut lain. Mengikuti gerak
hidung mereka yang menangkap aroma.
Siang itu di luar hujan.
Bau rumput dan tanah, yang sebelumnya kering kini mendadak basah, menyeruak
masuk ke dalam rumah. Bercampur aroma sisa makanan di dalam keranjang sampah.
Bau di udara semakin pekat tercium oleh hidung mereka, hingga kemudian mereka
mengenali ada aroma bonggol jagung. Mereka tarik keluar bonggol itu dari
keranjang sampah. Sering mereka bekerja sama untuk mengangkat atau membawa
makanan. Bukankah itu gunanya persahabatan? Boleh dibilang sudah satu tahun
terakhir mereka bersama-sama dan satu minggu terakhir bersama di rumah itu.
Kedatangan mereka di rumah
itu sama sekali tidak direncanakan. Memang, mereka suka bepergian ke banyak
tempat mengikuti insting mereka, tetapi mereka tidak bisa juga dibilang seperti
traveller impulsif. Hanya karena
hujan demikian deras pada malam itu dan hingga berjam-jam. Selokan yang
biasanya kering dan menjadi tempat perlintasan mereka, malam itu mulai penuh
terisi air. Imbasnya, air mulai masuk ke dalam lubang yang menyambung ke suatu
tempat di bawah taman. Tempat yang adalah rumah persembunyian bagi Nou, Tam,
dan Gin. Ketika banyak rumah dibangun dengan megah menjadi kebanggaan sang
empunya, tidak demikian rumah bagi Nou, Tam, dan Gin. Rumah itu, ya tempat
sembunyi. Siapa saja pasti setidaknya butuh satu tempat sembunyi. Sembunyi dari
keramaian, dari tuntutan, dari pertanyaan dan menikmati keleluasaan menjadi
diri sendiri. Bahkan, dalam rumah-rumah yang besar dan luas itu, penghuninya
justru merasa nyaman dalam kamar sembunyinya sendiri. Kalau rumahnya tidak begitu besar, setidaknya
mereka yang tinggal bersama mencari dunia pengalih sebagai tempat sembunyi
mereka. Kira-kira begitulah yang dimaknai Nou dan Tam ketika mereka mengamati
kehidupan manusia.
Bagi Nou dan Tam sendiri,
mereka terbiasa hidup dalam persembunyian. Hal ini berlangsung sudah sejak masa
kakek nenek dari kakek mereka dan sebelumnya lagi. Mereka sering heran melihat
kawanan mereka yang lebih cerah warnanya hidup dalam jeruji besi atau kotak
kaca bersama roda berputar dan kotak kecil berisi makanan dan air yang secara
rutin diberikan oleh manusia. Beda ras, kakek nenek mereka menyebut perbedaan
di antara kawanan mereka. Tetapi itu tidak menjadikan mereka berseteru atau
saling mencemooh. Mereka menjalani gaya hidup masing-masing.
Menurut kakek Nou, kawanan
mereka beraktivitas saat malam. Pada saat itu mereka bebas berkeliaran. Mereka
sudah terbiasa sebenarnya menghadapi kegelapan, kesunyian, kelembaban. Bukan
berarti mereka takut pada terang. Mereka makin terbiasa juga menghadapi sorot
lampu mobil di jalan, atau warna-warni lampu etalase di pinggir jalan.
Bagaimanapun, siapa saja perlu beradaptasi, bukan? Hanya saja, terik panas
matahari dalam waktu lama berganti guyuran hujan maupun sebaliknya, tidak
tertahankan buat mereka. Hal itu terbukti pada Gin, ia masuk dalam perangkap
kawat. Oleh pemilik rumah, ia tertinggal begitu saja di halaman. Pemilik rumah
kelupaan membuangnya, namun sebenarnya, ia sendiri bingung, makhluk dalam
perangkap itu harus diapakan. Seharian berada di udara terbuka, terkena hujan
dan panas, Gin mati dalam perangkap.
Gin inilah yang mengajak
Nou dan Tam berpindah tempat ketika menyadari bahaya mengancam rumah mereka. Gin,
yang lebih senior dari mereka, sudah melakukan antisipasi-antisipasi sejak
beberapa hari lalu. Ia sudah menggali lorong bawah tanah lain, berujung di
dekat pintu samping rumah itu.
Gin memimpin pelarian mereka sementara air yang mengalir mulai mengisi penuh rumah mereka. Tiba di depan pintu berteralis yang dilapisi fiber. Mata tajam Gin melihat ada celah kecil di fiber itu. Air hujan masih turun dengan derasnya. Tubuh Gin, Nou, dan Tam sudah basah seluruhnya. Dengan jari-jari dan giginya, Gin mulai menggerogoti celah itu menjadi lubang. Setelah cukup besar untuk memuat tubuh, Gin menoleh ke arah Nou dan Tam, kemudian mengangguk dan tampak kilatan pada bola matanya. Tam sempat ragu, kepalanya bergerak mundur. Tidak dengan Nou, ia mengangguk setuju kepada Gin. Gin mulai memasukkan kepalanya ke dalam lubang itu lalu mendorong perutnya agar dapat masuk.
Gin memimpin pelarian mereka sementara air yang mengalir mulai mengisi penuh rumah mereka. Tiba di depan pintu berteralis yang dilapisi fiber. Mata tajam Gin melihat ada celah kecil di fiber itu. Air hujan masih turun dengan derasnya. Tubuh Gin, Nou, dan Tam sudah basah seluruhnya. Dengan jari-jari dan giginya, Gin mulai menggerogoti celah itu menjadi lubang. Setelah cukup besar untuk memuat tubuh, Gin menoleh ke arah Nou dan Tam, kemudian mengangguk dan tampak kilatan pada bola matanya. Tam sempat ragu, kepalanya bergerak mundur. Tidak dengan Nou, ia mengangguk setuju kepada Gin. Gin mulai memasukkan kepalanya ke dalam lubang itu lalu mendorong perutnya agar dapat masuk.
Ketiganya sudah masuk ke
dalam bagian rumah itu, yang ternyata dekat dengan dapur. Ada lemari besar dan
mereka bisa bersembunyi di bawahnya. Mereka aman dari hujan dan air. Satu malam
hingga lima malam berikutnya mereka kerasan tinggal di sana. Apalagi, tersedia
sampah sayur dan sisa makanan yang bisa mereka pungut saat malam. Bagi mereka,
itu rejeki! Ada rejeki yang dititipkan pada setiap makhluk, rejeki bagi dirinya
dan bagi makhluk lain. Tetapi rupanya, pemilik rumah tidak senang, mendapati
setiap pagi ada remah-remah sampah di lantai dapur. Ia curiga, pasti ada hewan
itu, yang kerap menjadi momok bagi ibu rumah tangga. Berbagai cara dilakukan
untuk menjebak, mulai dari perangkap lem, racun, hingga perangkap kawat besi. Seringnya
tidak berhasil. Hingga pada suatu ketika, perangkap itu berfungsi juga.
Selalu ada pihak yang tidak
senang ketika kehidupannya diganggu. Biasanya berujung pada timbulnya korban. Sudah
banyak pesan hidup berdamai didengungkan, tetapi apa hasilnya?
Sambil menggerogoti bonggol
jagung, Tam membuka percakapan.
“Nou, tidakkah kau merasa
kehadiran kita tidak diharapkan di sini?”
“Di sini di mana? Maksudmu,
kamu tidak diharapkan ada di dunia ini?”
“Tidak sejauh itu maksudku.
Di rumah ini, pemilik rumah tidak suka pada kita, kan?”
Nou berhenti mengunyah. “Tam,
apa pernah, sekali pun kamu merasa kehadiranmu diharapkan?”
Tam butuh beberapa waktu
mencerna pertanyaan itu. Diharapkan? Dalam hati, Tam berpikir bahwa ia baru
mengenal rasanya sewaktu tidak diharapkan. Merasa diharapkan, seperti apakah
itu rasanya? Apakah maksudnya merasa dibutuhkan? Berguna?
Belum bisa menjawabnya, dan
berusaha mengalihkan pembicaraan, Tam bertanya lagi. Sementara itu, pertanyaan
Nou masih disimpannya.
“Nou, aku belum bisa jawab, sebenarnya. Umm, begini.. bagaimana jika kita mencari tempat baru?”
“Yang benar saja! Kita sudah
nyaman di sini, makanan tersedia, rumah hangat dan kering.”
“Tetapi, Nou, tidakkah kau
ingat kisah Sniff dan Scurry? Mereka itu benar-benar cerdas dan akhirnya mereka
selamat. Mereka menyadari bahwa mereka perlu mencari keju yang baru dan tidak terlena
di tempat yang nyaman.”
“Ah, kisah ‘Who Moved My
Cheese?’ yang fenomenal itu? Mereka itu terlalu banyak membuang tenaga. Setiap
hari mempertajam indera penciuman dan menjelajah tempat baru. Mereka kurang
puas dengan apa yang ada.”
“Mereka bukan kurang puas.
Mereka justru mengantisipasi hal buruk yang dapat terjadi.”
“Hal buruk apa yang bisa
terjadi kalau kita hidup dengan hati-hati?”
“Nou, apa kamu tidak merasa
khawatir pada bahaya dan ancaman?”
“Tidak”, jawab Nou dengan
ringan.
“Apa kau bahagia?”
Nou terdiam sesaat.
Sebenarnya ia tidak tahu jawabannya. Ia pikir, pertanyaan itu biasanya hanya
dibicarakan oleh manusia. Kisah ‘Who Moved My Cheese’ juga banyak
diperbincangkan oleh manusia.
“Ya, Tam. Selain itu, aku juga tidak
perlu khawatir, karena aku tidak mencari keju.”
*
(mungkin akan bersambung)
1 responses:
Just wow. Seru banget bacanya... Pelan-pelan, deskriptifnya dapet, naratifnya sukaaa..
Dan interpreratifnya? Banyak ya sepertinya. Ada beberapa poin yang membuatku ingin bertanya-tanya, tapi memilih untuk menikmati saja keliaran pikiranmu itu. Menyenangkan.
Aku sukaaa tulisan ini!
Disambung dong! Plis! Hahahaa...
Posting Komentar