10 Maret 2017

Nou & Tam


“Hei, bangun..! Sudah sepi, saatnya berpesta!”
“Jangan kau cari risiko. Tadi masih kudengar suara pintu dikunci.”
“Nah, itu tandanya mereka semua sudah pergi. Ayo kita cari makanan.”
“Tidak, Nou. Ini belum saatnya. Kita mencari makan hanya pada malam ketika semua sudah tertidur.”
“Kau kuno sekali, Tam. Sekarang ini rumah benar-benar kosong. Tak perlu terpatok malam atau siang untuk cari pengisi perut. Ayo kita keluar.”
“Tapi….hati-hati. Ingat kawan kita terakhir yang masuk perangkap.”

Kaki-kaki Nou dan Tam melangkah cepat keluar dari bawah lemari menuju dapur. Mereka menggigit remah yang bisa dipungut. Berpindah dari satu sudut ke sudut lain. Mengikuti gerak hidung mereka yang menangkap aroma.

Siang itu di luar hujan. Bau rumput dan tanah, yang sebelumnya kering kini mendadak basah, menyeruak masuk ke dalam rumah. Bercampur aroma sisa makanan di dalam keranjang sampah. Bau di udara semakin pekat tercium oleh hidung mereka, hingga kemudian mereka mengenali ada aroma bonggol jagung. Mereka tarik keluar bonggol itu dari keranjang sampah. Sering mereka bekerja sama untuk mengangkat atau membawa makanan. Bukankah itu gunanya persahabatan? Boleh dibilang sudah satu tahun terakhir mereka bersama-sama dan satu minggu terakhir bersama di rumah itu.

Kedatangan mereka di rumah itu sama sekali tidak direncanakan. Memang, mereka suka bepergian ke banyak tempat mengikuti insting mereka, tetapi mereka tidak bisa juga dibilang seperti traveller impulsif. Hanya karena hujan demikian deras pada malam itu dan hingga berjam-jam. Selokan yang biasanya kering dan menjadi tempat perlintasan mereka, malam itu mulai penuh terisi air. Imbasnya, air mulai masuk ke dalam lubang yang menyambung ke suatu tempat di bawah taman. Tempat yang adalah rumah persembunyian bagi Nou, Tam, dan Gin. Ketika banyak rumah dibangun dengan megah menjadi kebanggaan sang empunya, tidak demikian rumah bagi Nou, Tam, dan Gin. Rumah itu, ya tempat sembunyi. Siapa saja pasti setidaknya butuh satu tempat sembunyi. Sembunyi dari keramaian, dari tuntutan, dari pertanyaan dan menikmati keleluasaan menjadi diri sendiri. Bahkan, dalam rumah-rumah yang besar dan luas itu, penghuninya justru merasa nyaman dalam kamar sembunyinya sendiri.  Kalau rumahnya tidak begitu besar, setidaknya mereka yang tinggal bersama mencari dunia pengalih sebagai tempat sembunyi mereka. Kira-kira begitulah yang dimaknai Nou dan Tam ketika mereka mengamati kehidupan manusia.


Bagi Nou dan Tam sendiri, mereka terbiasa hidup dalam persembunyian. Hal ini berlangsung sudah sejak masa kakek nenek dari kakek mereka dan sebelumnya lagi. Mereka sering heran melihat kawanan mereka yang lebih cerah warnanya hidup dalam jeruji besi atau kotak kaca bersama roda berputar dan kotak kecil berisi makanan dan air yang secara rutin diberikan oleh manusia. Beda ras, kakek nenek mereka menyebut perbedaan di antara kawanan mereka. Tetapi itu tidak menjadikan mereka berseteru atau saling mencemooh. Mereka menjalani gaya hidup masing-masing.

Menurut kakek Nou, kawanan mereka beraktivitas saat malam. Pada saat itu mereka bebas berkeliaran. Mereka sudah terbiasa sebenarnya menghadapi kegelapan, kesunyian, kelembaban. Bukan berarti mereka takut pada terang. Mereka makin terbiasa juga menghadapi sorot lampu mobil di jalan, atau warna-warni lampu etalase di pinggir jalan. Bagaimanapun, siapa saja perlu beradaptasi, bukan? Hanya saja, terik panas matahari dalam waktu lama berganti guyuran hujan maupun sebaliknya, tidak tertahankan buat mereka. Hal itu terbukti pada Gin, ia masuk dalam perangkap kawat. Oleh pemilik rumah, ia tertinggal begitu saja di halaman. Pemilik rumah kelupaan membuangnya, namun sebenarnya, ia sendiri bingung, makhluk dalam perangkap itu harus diapakan. Seharian berada di udara terbuka, terkena hujan dan panas, Gin mati dalam perangkap.

Gin inilah yang mengajak Nou dan Tam berpindah tempat ketika menyadari bahaya mengancam rumah mereka. Gin, yang lebih senior dari mereka, sudah melakukan antisipasi-antisipasi sejak beberapa hari lalu. Ia sudah menggali lorong bawah tanah lain, berujung di dekat pintu samping rumah itu. 

Gin memimpin pelarian mereka sementara air yang mengalir mulai mengisi penuh rumah mereka. Tiba di depan pintu berteralis yang dilapisi fiber. Mata tajam Gin melihat ada celah kecil di fiber  itu. Air hujan masih turun dengan derasnya. Tubuh Gin, Nou, dan Tam sudah basah seluruhnya. Dengan jari-jari dan giginya, Gin mulai menggerogoti celah itu menjadi lubang. Setelah cukup besar untuk memuat tubuh, Gin menoleh ke arah Nou dan Tam, kemudian mengangguk dan tampak kilatan pada bola matanya. Tam sempat ragu, kepalanya bergerak mundur. Tidak dengan Nou, ia mengangguk setuju kepada Gin. Gin mulai memasukkan kepalanya ke dalam lubang itu lalu mendorong perutnya agar dapat masuk.

Ketiganya sudah masuk ke dalam bagian rumah itu, yang ternyata dekat dengan dapur. Ada lemari besar dan mereka bisa bersembunyi di bawahnya. Mereka aman dari hujan dan air. Satu malam hingga lima malam berikutnya mereka kerasan tinggal di sana. Apalagi, tersedia sampah sayur dan sisa makanan yang bisa mereka pungut saat malam. Bagi mereka, itu rejeki! Ada rejeki yang dititipkan pada setiap makhluk, rejeki bagi dirinya dan bagi makhluk lain. Tetapi rupanya, pemilik rumah tidak senang, mendapati setiap pagi ada remah-remah sampah di lantai dapur. Ia curiga, pasti ada hewan itu, yang kerap menjadi momok bagi ibu rumah tangga. Berbagai cara dilakukan untuk menjebak, mulai dari perangkap lem, racun, hingga perangkap kawat besi. Seringnya tidak berhasil. Hingga pada suatu ketika, perangkap itu berfungsi juga.

Selalu ada pihak yang tidak senang ketika kehidupannya diganggu. Biasanya berujung pada timbulnya korban. Sudah banyak pesan hidup berdamai didengungkan, tetapi apa hasilnya?

Sambil menggerogoti bonggol jagung, Tam membuka percakapan.
“Nou, tidakkah kau merasa kehadiran kita tidak diharapkan di sini?”
“Di sini di mana? Maksudmu, kamu tidak diharapkan ada di dunia ini?”
“Tidak sejauh itu maksudku. Di rumah ini, pemilik rumah tidak suka pada kita, kan?”
Nou berhenti mengunyah. “Tam, apa pernah, sekali pun kamu merasa kehadiranmu diharapkan?”

Tam butuh beberapa waktu mencerna pertanyaan itu. Diharapkan? Dalam hati, Tam berpikir bahwa ia baru mengenal rasanya sewaktu tidak diharapkan. Merasa diharapkan, seperti apakah itu rasanya? Apakah maksudnya merasa dibutuhkan? Berguna?

Belum bisa menjawabnya, dan berusaha mengalihkan pembicaraan, Tam bertanya lagi. Sementara itu, pertanyaan Nou masih disimpannya.
“Nou, aku belum bisa jawab, sebenarnya. Umm, begini.. bagaimana jika kita mencari tempat baru?”
“Yang benar saja! Kita sudah nyaman di sini, makanan tersedia, rumah hangat dan kering.”

“Tetapi, Nou, tidakkah kau ingat kisah Sniff dan Scurry? Mereka itu benar-benar cerdas dan akhirnya mereka selamat. Mereka menyadari bahwa mereka perlu mencari keju yang baru dan tidak terlena di tempat yang nyaman.”
“Ah, kisah ‘Who Moved My Cheese?’ yang fenomenal itu? Mereka itu terlalu banyak membuang tenaga. Setiap hari mempertajam indera penciuman dan menjelajah tempat baru. Mereka kurang puas dengan apa yang ada.”
“Mereka bukan kurang puas. Mereka justru mengantisipasi hal buruk yang dapat terjadi.”
“Hal buruk apa yang bisa terjadi kalau kita hidup dengan hati-hati?”

“Nou, apa kamu tidak merasa khawatir pada bahaya dan ancaman?”
“Tidak”, jawab Nou dengan ringan.

“Apa kau bahagia?”
Nou terdiam sesaat. Sebenarnya ia tidak tahu jawabannya. Ia pikir, pertanyaan itu biasanya hanya dibicarakan oleh manusia. Kisah ‘Who Moved My Cheese’ juga banyak diperbincangkan oleh manusia.

“Ya, Tam. Selain itu, aku juga tidak perlu khawatir, karena aku tidak mencari keju.”

*
(mungkin akan bersambung)

1 responses:

Anonim mengatakan...

Just wow. Seru banget bacanya... Pelan-pelan, deskriptifnya dapet, naratifnya sukaaa..

Dan interpreratifnya? Banyak ya sepertinya. Ada beberapa poin yang membuatku ingin bertanya-tanya, tapi memilih untuk menikmati saja keliaran pikiranmu itu. Menyenangkan.

Aku sukaaa tulisan ini!

Disambung dong! Plis! Hahahaa...