“Willing-nya besar, thinking-nya
kecil. Bagi orang-orang ini, yang penting kerja, langsung eksekusi, ga perlu
pikir-pikir dulu, lah. Ada sebutan dalam bahasa Sunda: ‘kumaha engke’. Gimana
nanti. Sebaliknya, kalau thinking
yang besar, willing-nya kecil,
orang-orang ini adalah people with big
idea, tapi pelaksanaannya… duh, ini gimana, ya, nanti bagaimana, dst. Orang
Sunda bilang, ‘engke kumaha?’ Nah, yang seimbang itu, gambar yang di tengah,
seimbang antara thinking dan willing.”
Penjelasan Amanda Andi
Wellang bagian ini sepertinya melekat sekali dalam ingatan saya. Barangkali,
karena memproyeksikan karakter diri (saya). Ups. Manda, panggilan akrabnya, membuat
gambar tersebut untuk memberi penjelasan tentang rhytmic system yang menjadi salah satu dasar filosofi pendidikan
Waldorf.
“Sebagai dosen, saya
menemukan bahwa problem yang dialami
mahasiswa saat ini adalah kurang memiliki pemahaman konsep yang mendalam dan
komprehensif, untuk mengaitkan suatu konsep dengan konsep lain. Mereka pintar,
bisa menjawab pertanyaan mengenai konsep, tetapi diam saat diminta memberikan
contoh. Masalah ini tentunya bukan tiba-tiba muncul saat mereka kuliah, tetapi
adalah hasil dari proses belajarnya sejak kecil. Apakah proses belajar mereka
sudah tepat?” demikian penuturan Kenny Dewi saat ia pada mulanya tergerak
mengadopsi model pendidikan Waldorf, dan kemudian mendirikan sekolah Jagad Alit Waldorf School di Bandung.