Bagi warganet yang juga pengguna media sosial, pasti
tidak asing dengan Instragram, dan salah satu fiturnya yang sedang tren saat
ini, Instagram Live. Fitur Instagram Live menayangkan siaran langsung dari satu
orang atau percakapan antara dua orang (kelak, menurut berita, bisa lebih dari
dua orang), yang bisa ditonton oleh para pengguna Instagram di manapun. Karena
terjadi saat itu juga, kita yang menonton seakan merasakan suasana langsung
dengan penyaji dan bisa terlibat interaksi dengan cara berkomentar, bertanya,
dan memberi tanggapan.
Fitur siaran langsung (live streaming), termasuk juga di Facebook Live dan YouTube, sudah
tersedia sejak beberapa tahun lalu, dan semakin ramai digunakan akhir-akhir ini,
sebagai salah satu kegiatan mengisi waktu di rumah saja. Meskipun ruang gerak
warga sedang dibatasi sebagai bagian dari protokol penanganan Covid-19, bagaimanapun
juga, keinginan bersosialisasi merupakan sifat alami manusia. Tak ada perjumpaan
fisik, jumpa virtual pun jadi.
Ada banyak konten yang ditayangkan secara live, mulai dari berita atau pesan untuk
publik, seminar, talkshow, konser,
kuliah, tutorial, ulasan (review),
demo produk/jasa, olahraga, tarian, pertunjukan seni, penggalangan dana,
wawancara, atau bahkan aktivitas sehari-hari dari penyajinya, entah ia seorang
pesohor atau awam. Dari semua konten
yang banyak rupa tersebut, saya tertarik untuk mengulas konten wawancara dalam
tulisan ini.
Belajar
dari siapa saja
Biasanya wawancara dilakukan dengan narasumber atau
orang yang dianggap dapat menjadi sumber informasi dari bidang mereka
masing-masing. Topik bahasannya tentang kesehatan, pendidikan, kebijakan
pemerintah, fenomena sosial, psikologi, finansial, cita rasa seni, karya, resep
masakan, meditasi, spiritualitas, dan sebagainya. Wah, ada begitu banyak hal
yang bisa diperbincangkan dan dipelajari selama pandemi ini, dari orang-orang
yang mungkin dalam kehidupan offline belum
pernah atau sulit kita jumpai. Sebagian besar siaran wawancara ini tidak
berbayar, hanya perlu bermodal kuota internet untuk bisa menyaksikannya.
Pada masa inilah, kita bisa belajar dari siapa saja.
Belajarnya bisa apa saja. Tempatnya bisa di mana saja. Waktunya, menyesuaikan
jadwal tayang jika ingin menonton live,
atau bisa kapan saja jika konten tersebut disimpan secara permanen.
Menariknya, tak hanya soal keahlian narasumber, kita juga
bisa belajar dari sudut pandang pribadi mereka, berdasarkan pengetahuan
pribadi, pengalaman, dan perasaan mereka. Ini yang membuat saya berpikir
tentang personal wisdom atau kearifan
pribadi. Kearifan yang mereka bawa dan yakini dalam hidupnya selama ini.
Buah-buah kearifan ini, jika kita mau peka untuk menyadarinya, akan sangat
memperkaya cara pandang kita.
Personal
wisdom
Kita bisa anggap personal
wisdom sebagai pencerahan seseorang dalam hidupnya, yang tidak berkorelasi
dengan kekayaan dan prestasi (artinya, tidak harus kaya dan juara baru bisa bijaksana),
tetapi justru bergantung pada kematangan pribadi dan kemampuan penyesuaian diri
dalam setiap perjalanan hidupnya. Tidak ada kebijaksanaan atau kearifan pribadi
yang paling benar di antara semuanya, melainkan sangat bervariasi, karena
setiap orang mengembangkan kebijaksanaannya sendiri (Marques, 2007). Kita semua
masing-masing memiliki panggilan hidup yang berbeda maka bertemu tantangan yang
berbeda dan menarik pelajaran yang berbeda juga.
Seperti apakah orang yang memiliki personal wisdom? Menurut paradigma
Bremen (Staudinger, 2013) orang yang memiliki personal wisdom biasanya sudah mengenal dirinya secara mendalam,
baik dalam hal kompetensi, emosi, tujuan, maupun makna hidupnya. Ia mampu
mengelola emosi meskipun dalam situasi sulit dan tetap mengembangkan relasi
sosial yang sehat. Ia mampu mengambil jarak dengan dirinya dan merefleksikan
hal-hal yang memicu perilaku dan perasaannya. Dalam prosesnya ini, ia mampu
menerima dirinya serta menoleransi perbedaan pada orang lain. Pandangannya
terbuka untuk melihat bahwa ada hal-hal yang ambigu atau tidak sesuai kenyataan,
tidak pasti, tidak bisa dikontrol ataupun diprediksi.
Dari deskripsi tersebut, kita bisa bayangkan betapa
kaya pengalaman bermacam-macam orang, apalagi bila sudah menjadi self-insight yang dimiliki orang
tersebut. Sangat mungkin kita menemukan pandangan yang baru atau berbeda, yang
berasal dari penghayatan personal orang lain. Biasanya kearifan ini bisa kita
kenali dari pilihan sikap, peran, nilai atau prinsip yang dipegang, serta
keputusan yang diambil. Fenomena ramainya wawancara, sharing, atau diskusi yang dilakukan melalui media sosial tampaknya
bisa dimanfaatkan sebagai medium memperluas wawasan dan memetik kearifan
pribadi.
Pernah dengar bahwa buku adalah jendela dunia?
Tampaknya pengalaman orang lain adalah jendela kehidupan. Yang penting kita,
baik yang mendengar dan membagikan pengalaman, mau membuka pikiran dan hati
untuk hadirnya pemahaman.
Referensi:
Marques,
Joan. 2007. Interbeing: Thoughts on
Achieving Personal and Professional Excellence Toward Greater Mutuality. Icfai University Press