Obrolan
pada suatu momen bimbingan tesis bersama Pak Gagan Hartana Tupah Brama, 16 Juli
2014.
“Jadi, apakah ada yang disebut kebenaran universal,
Pak?” tanyaku saat sekali lagi menemui beliau di ruangannya.
Tidak ada. Kebenaran itu relatif, tegasnya. Setiap orang
dengan latar belakang budaya, pendidikan, keyakinan, dsb memiliki kebenaran
versinya sendiri. Sesederhana begini, lanjut beliau dengan mengajukan sebuah
pertanyaan padaku.
“Bagaimana cara membuat air mendidih?” Kujawab, direbus.
Dipanaskan.
“Bagaimana bila airnya diletakkan dalam gelas plastik
ini?” tanyanya sambil tangan kirinya mengangkat sebuah gelas kemasan air
mineral.
“Wah, ga bisa, Pak. Plastiknya lebur jika dipanaskan.”
“Ah, ya. Jadi tidak bisa, ya.”
Lalu ia melanjutkan penjelasannya. “Ada sebagian orang
yang sangat yakin dengan pandangannya bahwa air akan mendidih hanya jika
dipanaskan. Ya, itu benar. Namun, ada sekelompok orang yang mencoba cara lain,
lalu menemukan bahwa air bisa mendidih ketika partikelnya digerakkan dalam
kecepatan sangat tinggi. Teknologi itu kini bisa dinikmati di rumah-rumah pada
umumnya, dalam bentuk microwave. Air yang dipanaskan akan mendidih, tetapi air
tidak harus selalu dipanaskan agar mendidih. Inilah perbedaan paradigma. Dan
perbedaan itu adalah karunia.”
Perbedaan adalah karunia. Hargailah perbedaan. Jangan
berdebat, tetapi berpijaklah dari apa yang orang lain tahu.
Berdebat tidak akan ada ujungnya, bukan? Nah, lalu
bagaimana menghubungkan pemikiran antarpemikiran? Ya, itu tadi, bicaralah dari
apa yang orang lain ketahui, bukan dari apa yang saya tahu. Jika masing-masing
orang berbicara hanya dari sudut pandangnya, bukankah tidak akan terjadi
pertukaran informasi? Memang benar bahwa diperlukan empati, keterbukaan, dan
kebesaran hati.
Hmm… aku masih penasaran. “Kalau begitu, Pak, dengan
dialog dan keterbukaan, orang bisa saling menyatakan kebenarannya dan diperoleh
titik temu atau jalan tengahnya?”
“Bukan seperti itu,” beliau mencoba menjernihkan
pemikiranku. Kebenaran itu bergulir. Pandangan yang satu akan memperkaya
pandangan yang lain, dan begitu seterusnya, menjadi inovasi. Saat mendengarkan
penjelasan beliau, kubayangkan bentuk pertemuan antarpandangan itu seperti
spiral DNA, yang berjenjang, terkait satu di atas yang lain, dan terus mengulir
tanpa akhir.
“Coba perhatikan, adakah benda-benda yang kita gunakan
yang bukan hasil inovasi?” tanyanya. Semua itu hasil inovasi nenek moyang kita.
Pakaian ini, kancing ini, contohnya.
“Saya sudah pernah cerita, belum…?” Kutegakkan dudukku,
siap mendengarkan cerita beliau berikutnya.
“Saat berlibur di salah satu pulau di Kepulauan Seribu,
saya membawa pulang sebuah pepaya. Buahnya berukuran kecil, tidak seperti
pepaya pada umumnya. Saat dikupas di rumah, terkejutlah saya karena isi buah
itu seluruhnya biji, tanpa daging buah. Kulitnya pun sangat tipis. Buah itu
saya bawa ke laboratorium MIPA, dan barulah saya tahu bahwa itu jenis buah
pepaya murni. Aslinya pepaya, ya, seperti itu. Ilmu pengetahuan dan penelitian
akhirnya menghadirkan buah pepaya dengan daging buah yang tebal, yang kita nikmati
sebagai buah pepaya.” Lalu imajinasiku membayangkan perbincangan para ahli,
mungkin berpuluh-puluh tahun sebelumnya, yang menguji coba berbagai
kemungkinan jaringan hingga menghasilkan
daging buah pepaya. Wow.. betapa perbedaan justru menciptakan inovasi baru dan
bermanfaat. Pak Gagan melanjutkan, jangan-jangan kita ini hanya sebagai
generasi yang menikmati kreasi dari para leluhur dan belum berkontribusi
apa-apa pada kehidupan sekarang maupun untuk kehidupan generasi berikutnya.
Hmm…iya juga.
Beliau melanjutkan lagi. Dalam Al-Qur’an tertulis,
tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Ketika sudah sampai di Cina, pepatah di
sana malah mengatakan bahwa di atas langit masih ada langit. Bangsa Cina sangat
menghormati leluhur. “Ajaran ini mengajarkan kerendahan hati,” jelasnya. Dalam
menghadapi perbedaan, yang diperlukan adalah kerendahan hati dan tidak
merendahkan pihak lain. Bersikaplah rendah hati.
Dengan menyadari bahwa tidak ada kebenaran mutlak, bahwa
kita akan selalu menemui perbedaan, maka pesan untuk rendah hati menjadi begitu
kuat dan mengena untukku. Pesan berharga yang amat disayangkan jika tidak
kubagi pada orang lain.
“Tetapi…” Beliau seperti teringat sesuatu. “Ada satu
yang universal, yang dimilki setiap manusia, yang berlaku sama pada setiap
manusia. (Ia adalah) Hati nurani." Hati yang akan sama-sama terusik,
sama-sama tergerak. Terhadap apa? Setiap kita pasti bisa menjawabnya :)