Sebut saja namanya Fara. Ia
seorang remaja perempuan berusia 14 tahun, kelas 2 SMP di sebuah sekolah
swasta. Tidak seperti remaja perempuan saat ini yang rata-rata menyukai film
dan band Korea, Fara malah suka sekali film animasi dan komik. Ia bisa
bercerita A sampai Z perihal animasi yang digemarinya. Hampir sebagian besar
isi percakapannya mengenai animasi tersebut. Saat mengobrol, ia bisa tiba-tiba
berganti topik pembicaraan lalu membahas animasi. Selama bercerita, bicaranya
seperti meleter, ia bicara dengan cepat, terus-menerus, yang kata per kata
kedengaran seperti tersambung, dengan nada suara datar. Pengucapannya agak
kurang jelas. Secepat tempo bicaranya, cepat pula bola matanya berputar
memandang satu titik ke titik lain, tetapi tidak kepada lawan bicaranya, ya,
sangat jarang kalau boleh dibilang. Keinginan Fara yang terbesar saat ini
adalah memiliki teman. Ia merasa sulit berteman. Teman-temannya tidak menyukai
animasi, sementara ia tidak menyukai hal-hal yang disukai mereka, sehingga ia
tidak bisa saling bertukar cerita. Di sekolah, pada jam-jam istirahat, ia lebih
banyak di kelas. Ketika teman-teman lain duduk berkelompok dan mengobrol, ia
duduk di bangkunya tak jauh dari mereka dan meneriakkan suara-suara hewan. Suaranya
melengking. Fara mengaku senang membuat suara-suara hewan, ia tertawa saat
menceritakannya pada saya. Fara juga bilang, teman-temannya menyebut dirinya
aneh. Seorang teman yang memulainya kemudian teman satu kelas menjauhinya.
Berikutnya, sebut saja
namanya Ahsa. Ia seorang remaja laki-laki. Tahun ini ia berusia 19 tahun, sudah
lulus SMA di sebuah pesantren. Ahsa sering mengantuk dan gerak tubuhnya sangat
lambat. Saat berbicara, ia seringkali lupa atau sulit menemukan kata-kata yang
ia maksudkan. Menurut ibunya, Ahsa pernah kerasukan saat camping bersama teman-teman sekolahnya dan sejak itu ia seperti
sering berbicara sendiri seolah berhalusinasi, berteriak kepanasan, dan menjadi
mudah marah. Berbagai cara pengobatan, baik medis maupun nonmedis sudah
diupayakan orangtua untuk menyembuhkan Ahsa. Peristiwa itu terjadi saat ia
kelas 2 SMP. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, ia mengonsumsi obat saraf
untuk menyembuhkan ‘sakit’nya. Ahsa bahkan sempat berhenti sekolah dan
melanjutkan dengan program belajar paket. Setelah kejadian itu, Ahsa mengatakan
bahwa teman-temannya menyebut dirinya aneh. Ini membuatnya tertekan.
Teman-teman menjauh. Justru ia sering menjadi korban bully. Prestasinya menurun, padahal saat SD ia selalu sepuluh
besar. Ahsa baru bisa berteman lagi, dengan teman-teman barunya, setelah lulus
SMA.
Seorang remaja lain, sebut
saja namanya Iva, gadis cantik berusia 21 tahun. Ia pernah kuliah di jurusan Fisika
di salah satu PTN ternama, tetapi kuliahnya tidak berjalan lancar. Menurut Iva,
bukan karena persoalan akademis, tetapi karena masalah nonakademis. Ia merasa
sulit berteman, tidak mengetahui harus berespon apa, bersikap apa. Ia sering
tidak masuk kuliah hingga akhirnya berhenti. Iva banyak menunduk saat bercerita,
jarang menatap mata lawan bicaranya. Bicaranya tersendat, seperti ada yang ia
tahan dengan rahang yang mengatup dan membuka dengan kaku. Kelihatannya sulit
sekali ia sewaktu menjawab pertanyaan, sehingga setelah berdiam lama, lebih
banyak jawaban ‘tidak ingat’, atau ‘malas’ yang ia berikan. Ia bukannya tidak
bisa berbicara, ia hanya tidak lancar mengutarakan maksudnya. Yang ia tahu, ia
tidak memiliki kelebihan yang bisa dibanggakan. Gerak-geriknya kaku, tertawanya
canggung ketika dipuji. Yang dominan dirasakannya adalah perasaan minder karena
membandingkan dirinya dengan teman-temannya.
Bertemu dengan Fara
membuat saya teringat pada teman semasa SMP dan SMA, yang melakukan hal-hal
yang tidak umum, sehingga pelabelan ‘aneh’ dan sejenisnya disematkan padanya. Entah
sebutan tersebut terdengar sampai di telinganya, atau hanya berdiam dalam
pikiran yang kemudian disampaikan melalui mata kepada sepasang mata yang lain.
Belum terpikirkan secara mendalam, mengapa perilakunya demikian. Justru
mungkin, yang dilakukan adalah memilih tidak banyak berinteraksi dengannya. Memang,
mudah sekali menghakimi sejak dalam pikiran.
Barangkali bukan
berintensi untuk menjauhi mereka, hanya tidak paham bahwa mereka berbeda. Belum
benar-benar menghayati pula bahwa berbeda bukan berarti aneh. Berbeda tidak
hanya dalam rupa fisik, tetapi aktivitas neuron dalam otak, atau neurodiversity, demikian pakar menyebutnya.
Perbedaan ini, salah satunya dapat berupa ketidakmampuan seseorang memahami
petunjuk sosial, situasi sosial, dan ekspresi emosi. Orang-orang yang memiliki
sindrom Asperger, atau spektrum Autisme ringan, mengalami hal tersebut. Betapa hal
ini membuatnya sulit bersosialisasi karena salah menangkap respon orang lain
atau tidak mampu menampilkan perilaku yang diharapkan ketika berinteraksi
dengan orang lain. Tak jarang, para Aspie menarik diri dari lingkungan
pergaulan.
Hal lain yang bisa membuat
mereka berbeda adalah adanya hambatan. Seperti misalnya Fara, ia memiliki atensi
yang lemah yang membuatnya tidak menyerap informasi secara utuh. Jarang memandang
mata orang yang diajak bicara membuatnya tidak paham kapan perlu berganti
giliran bicara, apakah lawan bicaranya paham, serta bagaimana respon orang tersebut. Pelafalan
yang kurang jelas juga menghambat orang lain untuk paham maksud pernyataannya. Ketika
komunikasi menjadi sulit, bisa dibayangkan bagaimana Fara melalui hari-hari
sekolahnya sendirian, sementara ia sangat ingin berteman.
Ada pula yang tidak
percaya diri, seperti Ahsa. Hanya karena suatu peristiwa atau insiden, teman-teman
menjadikan hal tersebut bahan untuk mengoloknya atau menjauhinya. Perilakunya
di bawah pengaruh obat sesungguhnya tidak bisa benar-benar ia kendalikan, namun
apakah lingkungan memahami keadaannya? Seseorang yang berbeda, dan sudah diberi
label, seperti sulit diterima apa adanya kecuali oleh orang-orang yang sama
sekali baru mengenalnya.
Setelah menyelami masing-masing pribadi, rasa-rasanya pelabelan 'aneh' tidak bisa dijadikan candaan, guyonan, tertawaan, juga bukan sebutan untuk seseorang. Sebut saja
mereka dengan namanya, kemudian tanyakan kabarnya :)
*
Terima kasih kepada Fara, Ahsa, dan Iva, yang bukan nama sebenarnya. Dari mereka, saya belajar lagi.
*