Kita tidak harus disukai oleh semua orang, betul?
Semua orang tidak harus menyukai kita. Sepakat?
Begitu pula sebuah kota tidak harus disukai oleh
semua orang, bukan?
Kisah postingan Florence Sihombing di media sosial cukup
membuat geger beberapa waktu lalu. Bahkan dituding menyinggung SARA oleh
beberapa LSM. Padahal, di mana SARA-nya, ya? Ia tidak membawa-bawa suku, pun
agama. Juga tidak mengangkat soal ras. Atau, apakah yang dimaksud adalah
menyinggung golongan? Tidak juga rasanya, karena ia mewakili dirinya sendiri. Benar,
ia dianggap menghina Jogja sebagai ekspresi kekesalannya. Di mata masyarakat, menghina dipandang sebagai tindakan yang salah.
Akan tetapi, bentuk kekesalan dan sinismenya pada
Kota Yogyakarta bukankah serupa dengan bentuk komplain seorang suami pada
masakan istrinya yang hambar? Atau seorang teman yang mengatakan bahwa
penampilan kita berantakan? Umm, atau pengunjung resto yang mengumpat-umpat karena pelayanan resto yang tidak memuaskan? Termasuk juga adik kita yang tanpa kendali melontarkan kata-kata pedas dan tak pantas untuk menumpahkan kekesalannya saat
curhat pada kita? Kalau demikian, apakah kita –atau siapapun yang merasa
tersinggung- lantas membangun tembok tinggi mengelilingi diri dan mengusir
siapa saja yang menurut kita telah menghina diri kita? Lalu, kapan kita bisa bertumbuh jika tidak
menerima kritik? Kapan sang istri bisa memasak masakan lezat jika menutup
telinga terhadap pendapat suaminya? Kapan juga kita bisa berpenampilan pantas
jika abai terhadap komentar dari orang yang memperhatikan kita?