28 Desember 2014

Sambil mendoakan penumpang yang hilang

Ketika ada berita bencana atau kecelakaan yang menyebabkan kehilangan, keluarga dan orang terdekat bergegas mencari informasi mengenai anggota keluarga yang mungkin menjadi korban.

Sambil mendoakan keselamatan para penumpang pesawat Air Asia berkode penerbangan QZ8501 yang masih dalam pencarian, saya bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah -ini hanya perenungan saya secara umum- ada penumpang yang tidak dicari oleh kerabatnya? Mungkinkah ada nama yang luput disebut di antara ratusan nama yang ditanyakan para keluarga di pusat krisis? Nama yang hanya tertera pada daftar nama penumpang? Nama yang datanya belum sempat dicatat oleh operator karena tidak ada penelepon yang menanyakannya?

26 Desember 2014

hujan pertama hari ini

Heii lihat ke langit
Awan berarak dengan cepat, tampak jelas pergerakannya ke arah barat
Mengagumkan!
Hari ini tiga kali aku menjumpai mendung
Pagi tadi, siang tadi, dan sore ini
Dua kali ia tak konsisten, karena tidak menghadirkan hujan seperti yang dijanjikannya
Kali ketiga ini mungkin saja ia menepati janjinya
Apa aku mengharap hujan? Tidak juga
Tak mengharap apa pun. Biar yang akan terjadi, terjadilah

Dan jatuh juga hujan pertama hari ini



20 Desember 2014

belajar (1)

Sesekali mata G beradu pandang denganku. Ya, sebut saja namanya G. Ia laki-laki berusia 2 tahun 8 bulan. Sejak beberapa menit sebelum ini, ia hanya menciduk bubur kacang hijau dengan sendok yang dipegangnya. Ia menggenggamnya seperti kalau kita menggenggam batang sikat gigi untuk menyikat gigi. Belum tepat benar, tetapi untuk seusianya, genggamannya sudah baik dan kuat. Berkali-kali ia hanya mengangkat sendok berisi bubur hingga beberapa milimeter di atas mulut gelas lalu menuangkan isinya kembali ke dalam gelas plastik tersebut. Kadang sambil tetap mengangkatnya, ia menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan teman-temannya yang dengan lancar menyuapkan bubur kacang hijau itu ke dalam mulut mereka. Tidak ada satu kata yang terucap dari G. Ia hanya diam. Tiga orang guru yang mendampingi kesembilan anak itu juga tidak menyadari tingkah laku G.

19 Desember 2014

Tunggulah beberapa menit

Dengan tergesa-gesa aku masuk ke dalam angkot yang segera menepi begitu melihat isyarat tanganku. Di dalamnya sudah ada 5 orang penumpang dengan formasi 2 orang duduk di bangku-empat dan 3 orang di bangku-enam. Mereka duduk berenggangan dan tidak ada yang bergeser saat aku masuk. Belum sampai pada bangku kosong paling belakang, mobil sudah bergerak maju, membuatku terguncang hingga hampir terjatuh jika tak segera kududukkan badanku di pojok bangku-empat. Umpatku dalam hati, kenapa, sih, orang-orang ini tidak menggeser duduknya. Kenapa, sih, supirnya tidak sabaran.

05 September 2014

karena ada kasus Florence Sihombing

Kita tidak harus disukai oleh semua orang, betul? 
Semua orang tidak harus menyukai kita. Sepakat? 
Begitu pula sebuah kota tidak harus disukai oleh semua orang, bukan?

Kisah postingan Florence Sihombing di media sosial cukup membuat geger beberapa waktu lalu. Bahkan dituding menyinggung SARA oleh beberapa LSM. Padahal, di mana SARA-nya, ya? Ia tidak membawa-bawa suku, pun agama. Juga tidak mengangkat soal ras. Atau, apakah yang dimaksud adalah menyinggung golongan? Tidak juga rasanya, karena ia mewakili dirinya sendiri. Benar, ia dianggap menghina Jogja sebagai ekspresi kekesalannya. Di mata masyarakat, menghina dipandang sebagai tindakan yang salah. 

Akan tetapi, bentuk kekesalan dan sinismenya pada Kota Yogyakarta bukankah serupa dengan bentuk komplain seorang suami pada masakan istrinya yang hambar? Atau seorang teman yang mengatakan bahwa penampilan kita berantakan? Umm, atau pengunjung resto yang mengumpat-umpat karena pelayanan resto yang tidak memuaskan? Termasuk juga adik kita yang tanpa kendali melontarkan kata-kata pedas dan tak pantas untuk menumpahkan kekesalannya saat curhat pada kita? Kalau demikian, apakah kita –atau siapapun yang merasa tersinggung- lantas membangun tembok tinggi mengelilingi diri dan mengusir siapa saja yang menurut kita telah menghina diri kita? Lalu, kapan kita bisa bertumbuh jika tidak menerima kritik? Kapan sang istri bisa memasak masakan lezat jika menutup telinga terhadap pendapat suaminya? Kapan juga kita bisa berpenampilan pantas jika abai terhadap komentar dari orang yang memperhatikan kita? 

22 Agustus 2014

Bimbingan di Penghujung Tesis

“Kebenaran adalah misteri. Pikiran bisa merasakannya, tapi tak bisa menangkapnya, apalagi merumuskannya. Keyakinan kita bisa menunjuk ke sana tapi tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Meski begitu, kita menjunjung tinggi nilai dialog yang paling-paling merupakan sebuah kamuflase untuk menyakinkan lawan bicara tentang kebenaran milik sendiri. Selain itu, dialog ini untuk menghentikan kita supaya tidak menjadi katak dalam sumur yang mengira tak ada dunia lain di luar sumur. Apa yang terjadi ketika katak-katak dari berbagai sumur berkumpul untuk membicarakan keyakinan dan pengalaman mereka? Cakrawala mereka menjadi lebih luas, meliputi keberadaan sumur-sumur yang lain. Namun, mereka masih tidak mengetahui keberadaan samudra kebenaran yang tidak bisa dibatasi dinding sumur pemahaman. Dan katak-katak malang kita terus terpisah-pisah serta berbicara berdasarkan milikmu dan milikku, pengalamanmu, keyakinanmu, ideologimu, dan ideologiku. Rumus yang digunakan bersama tidak memperkaya orang-orang yang menggunakannya, karena rumus sama seperti dinding sumur – memisahkan. Hanya samudra tak berbatas yang menyatukan. Namun, untuk sampai di samudra kebenaran yang tidak dibatasi oleh rumus-rumus, orang perlu punya karunia pemikiran jernih. “ (Anthony de Mello, 2011)

Kebenaran adalah misteri. Sambil membicarakannya, orang tetap terpisah berdasarkan pengalamannya, ideologinya, keyakinannya, dan seterusnya. Membaca kutipan di atas dari buku Anthony de Mello, The Way to Love, membuatku teringat obrolan pada suatu momen bimbingan bersama Pak Gagan Hartana TB, dosen pembimbing tesisku, 16 Juli 2014 lalu.

“Jadi, apakah ada yang disebut kebenaran universal, Pak?” tanyaku saat sekali lagi menemui beliau di ruangannya.
Tidak ada. Kebenaran itu relatif, tegasnya. Setiap orang dengan latar belakang budaya, pendidikan, keyakinan, dsb memiliki kebenaran versinya sendiri. Sesederhana begini, lanjut beliau dengan mengajukan sebuah pertanyaan padaku.