19 Agustus 2017

mereka bukan aneh

Sebut saja namanya Fara. Ia seorang remaja perempuan berusia 14 tahun, kelas 2 SMP di sebuah sekolah swasta. Tidak seperti remaja perempuan saat ini yang rata-rata menyukai film dan band Korea, Fara malah suka sekali film animasi dan komik. Ia bisa bercerita A sampai Z perihal animasi yang digemarinya. Hampir sebagian besar isi percakapannya mengenai animasi tersebut. Saat mengobrol, ia bisa tiba-tiba berganti topik pembicaraan lalu membahas animasi. Selama bercerita, bicaranya seperti meleter, ia bicara dengan cepat, terus-menerus, yang kata per kata kedengaran seperti tersambung, dengan nada suara datar. Pengucapannya agak kurang jelas. Secepat tempo bicaranya, cepat pula bola matanya berputar memandang satu titik ke titik lain, tetapi tidak kepada lawan bicaranya, ya, sangat jarang kalau boleh dibilang. Keinginan Fara yang terbesar saat ini adalah memiliki teman. Ia merasa sulit berteman. Teman-temannya tidak menyukai animasi, sementara ia tidak menyukai hal-hal yang disukai mereka, sehingga ia tidak bisa saling bertukar cerita. Di sekolah, pada jam-jam istirahat, ia lebih banyak di kelas. Ketika teman-teman lain duduk berkelompok dan mengobrol, ia duduk di bangkunya tak jauh dari mereka dan meneriakkan suara-suara hewan. Suaranya melengking. Fara mengaku senang membuat suara-suara hewan, ia tertawa saat menceritakannya pada saya. Fara juga bilang, teman-temannya menyebut dirinya aneh. Seorang teman yang memulainya kemudian teman satu kelas menjauhinya.

Berikutnya, sebut saja namanya Ahsa. Ia seorang remaja laki-laki. Tahun ini ia berusia 19 tahun, sudah lulus SMA di sebuah pesantren. Ahsa sering mengantuk dan gerak tubuhnya sangat lambat. Saat berbicara, ia seringkali lupa atau sulit menemukan kata-kata yang ia maksudkan. Menurut ibunya, Ahsa pernah kerasukan saat camping bersama teman-teman sekolahnya dan sejak itu ia seperti sering berbicara sendiri seolah berhalusinasi, berteriak kepanasan, dan menjadi mudah marah. Berbagai cara pengobatan, baik medis maupun nonmedis sudah diupayakan orangtua untuk menyembuhkan Ahsa. Peristiwa itu terjadi saat ia kelas 2 SMP. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, ia mengonsumsi obat saraf untuk menyembuhkan ‘sakit’nya. Ahsa bahkan sempat berhenti sekolah dan melanjutkan dengan program belajar paket. Setelah kejadian itu, Ahsa mengatakan bahwa teman-temannya menyebut dirinya aneh. Ini membuatnya tertekan. Teman-teman menjauh. Justru ia sering menjadi korban bully. Prestasinya menurun, padahal saat SD ia selalu sepuluh besar. Ahsa baru bisa berteman lagi, dengan teman-teman barunya, setelah lulus SMA.

Seorang remaja lain, sebut saja namanya Iva, gadis cantik berusia 21 tahun. Ia pernah kuliah di jurusan Fisika di salah satu PTN ternama, tetapi kuliahnya tidak berjalan lancar. Menurut Iva, bukan karena persoalan akademis, tetapi karena masalah nonakademis. Ia merasa sulit berteman, tidak mengetahui harus berespon apa, bersikap apa. Ia sering tidak masuk kuliah hingga akhirnya berhenti. Iva banyak menunduk saat bercerita, jarang menatap mata lawan bicaranya. Bicaranya tersendat, seperti ada yang ia tahan dengan rahang yang mengatup dan membuka dengan kaku. Kelihatannya sulit sekali ia sewaktu menjawab pertanyaan, sehingga setelah berdiam lama, lebih banyak jawaban ‘tidak ingat’, atau ‘malas’ yang ia berikan. Ia bukannya tidak bisa berbicara, ia hanya tidak lancar mengutarakan maksudnya. Yang ia tahu, ia tidak memiliki kelebihan yang bisa dibanggakan. Gerak-geriknya kaku, tertawanya canggung ketika dipuji. Yang dominan dirasakannya adalah perasaan minder karena membandingkan dirinya dengan teman-temannya.

Bertemu dengan Fara membuat saya teringat pada teman semasa SMP dan SMA, yang melakukan hal-hal yang tidak umum, sehingga pelabelan ‘aneh’ dan sejenisnya disematkan padanya. Entah sebutan tersebut terdengar sampai di telinganya, atau hanya berdiam dalam pikiran yang kemudian disampaikan melalui mata kepada sepasang mata yang lain. Belum terpikirkan secara mendalam, mengapa perilakunya demikian. Justru mungkin, yang dilakukan adalah memilih tidak banyak berinteraksi dengannya. Memang, mudah sekali menghakimi sejak dalam pikiran.

Barangkali bukan berintensi untuk menjauhi mereka, hanya tidak paham bahwa mereka berbeda. Belum benar-benar menghayati pula bahwa berbeda bukan berarti aneh. Berbeda tidak hanya dalam rupa fisik, tetapi aktivitas neuron dalam otak, atau neurodiversity, demikian pakar menyebutnya. Perbedaan ini, salah satunya dapat berupa ketidakmampuan seseorang memahami petunjuk sosial, situasi sosial, dan ekspresi emosi. Orang-orang yang memiliki sindrom Asperger, atau spektrum Autisme ringan, mengalami hal tersebut. Betapa hal ini membuatnya sulit bersosialisasi karena salah menangkap respon orang lain atau tidak mampu menampilkan perilaku yang diharapkan ketika berinteraksi dengan orang lain. Tak jarang, para Aspie menarik diri dari lingkungan pergaulan.

Hal lain yang bisa membuat mereka berbeda adalah adanya hambatan. Seperti misalnya Fara, ia memiliki atensi yang lemah yang membuatnya tidak menyerap informasi secara utuh. Jarang memandang mata orang yang diajak bicara membuatnya tidak paham kapan perlu berganti giliran bicara, apakah lawan bicaranya paham, serta bagaimana respon orang tersebut. Pelafalan yang kurang jelas juga menghambat orang lain untuk paham maksud pernyataannya. Ketika komunikasi menjadi sulit, bisa dibayangkan bagaimana Fara melalui hari-hari sekolahnya sendirian, sementara ia sangat ingin berteman.

Ada pula yang tidak percaya diri, seperti Ahsa. Hanya karena suatu peristiwa atau insiden, teman-teman menjadikan hal tersebut bahan untuk mengoloknya atau menjauhinya. Perilakunya di bawah pengaruh obat sesungguhnya tidak bisa benar-benar ia kendalikan, namun apakah lingkungan memahami keadaannya? Seseorang yang berbeda, dan sudah diberi label, seperti sulit diterima apa adanya kecuali oleh orang-orang yang sama sekali baru mengenalnya.

Setelah menyelami masing-masing pribadi, rasa-rasanya pelabelan 'aneh' tidak bisa dijadikan candaan, guyonan, tertawaan, juga bukan sebutan untuk seseorang. Sebut saja mereka dengan namanya, kemudian tanyakan kabarnya :) 


*
Terima kasih kepada Fara, Ahsa, dan Iva, yang bukan nama sebenarnya. Dari mereka, saya belajar lagi.

*