20 Desember 2018

Penyampai pesan


Ketika berada di persimpangan untuk memilih, perhatikan tanda-tanda.

Berkali-kali sejak masih anak-anak, kita mendengar pesan ini. Perhatikan rambu lalu lintas, lihat kiri dan kanan. Ada tanda apa saja di jalan. Semakin dewasa, persimpangan tidak lagi sesederhana belok ke kanan bila ingin ke warung atau menyeberang bila ingin ke lapangan basket. Persimpangan menjadi lebih abstrak. Pilihan-pilihan. Apakah perlu melakukan ini atau tidak, apakah di sini tempatku atau bukan, apakah aku sanggup, apakah ini pilihan yang tepat? Dalam masa-masa tidak yakin, barangkali tanda-tanda menyampaikan pesan.

Satu minggu yang lalu, saya ditawari untuk mengisi seminar parenting di sebuah sekolah playgroup, tempat saya dahulu pernah menjadi psikolog sekolah selama dua tahun hingga kemudian menyadari bahwa kemampuan saya di bidang pendidikan anak usia dini masih minim dan tampaknya panggilan atau passion saya bukan di bidang ini. Saya lebih tertarik pada perkembangan remaja dan anak usia sekolah.

Saya pernah memberikan sharing kepada orang tua siswa remaja, tetapi sharing kepada orang tua siswa balita merupakan hal baru bagi saya. Tema seminar parenting ini tentang bonding antara orang tua dan anak melalui permainan, sebenarnya masih dalam ranah pengetahuan yang bisa saya bagikan. Apalagi,  akhir-akhir ini saya terpikir ingin memberikan sharing mengenai pentingnya aktivitas bergerak sejak bayi dan balita, karena didorong rasa gemas menghadapi klien-klien siswa SD dan SMP yang mengalami kesulitan belajar, yang sebenarnya hambatan ini bisa dicegah bila anak memperoleh stimulasi yang tepat selama tumbuh kembangnya (kedua sahabat, Astri dan Dian, mungkin senyum-senyum membaca ini, teringat obrolan sore di Margonda membahas ide ini, idealisme, dan niatan lainnya.) Bekal pengetahuannya sudah ada, bersyukur sekali saya pernah belajar dari Ibu Indun Lestari Setyono dan psikolog-psikolog senior di Biro Psikologi Dwipayana, serta buku-buku mengenai pentingnya faktor keseimbangan tubuh pada anak, hanya saja masih menimbang-nimbang, apakah ini saatnya membagikan pengetahuan ini? Masih belum yakin benar, apakah menyanggupi tawaran dari sekolah tersebut atau menolaknya.

Secara (tidak) kebetulan, saya terlibat dalam obrolan dengan Ibu Esther dari Jatiasih. Ia sedang menunggu putrinya yang sedang mengikuti psikotes di biro kami. Sebagai tuan rumah, saya membuka obrolan dengan beliau yang kemudian berujung dengan cerita pengalamannya mengajar calistung kepada anak-anak kecil. Ia tidak berlatar pendidikan guru, hanya berbekal pengalaman otodidak dalam mengajar anak-anak, dan metodenya sangat efektif. Prinsipnya sederhana: anak perlu mendengar bunyi dengan jelas, mengucapkannya sehingga ia mendengar suaranya sendiri, dan menuliskannya. Modal dasar menulis huruf dan angka pun sederhana, yaitu membuat garis lurus, lengkung, dan lingkaran, karena dari ketiga jenis garis inilah angka dan huruf terbentuk. Pengetahuan ini membuat saya paham mengapa tes kemampuan visual motorik anak melibatkan ketiga bentuk garis ini. Pengetahuan-pengetahuan ini seperti saling tersambung.

Secara (tidak) kebetulan pula, pada hari yang sama saya menerima tautan yang dikirimkan oleh tante saya, Tante Rina, melalui pesan Whatsapp. Sebuah postingan dari akun @sharingmama mengenai tips menyikapi kemarahan anak, bahwa momen ketika anak marah bisa dijadikan kesempatan untuk mengajak anak mengenali emosi dan reaksi tubuh ketika marah.

Menyadari dua kejadian yang kebetulan, tapi kok, sepertinya bukan kebetulan, terlintas dalam pikiran saya bahwa mungkin pengetahuan ini datang bukan semata untuk saya sendiri, melainkan titipan pesan untuk disampaikan kepada orang lain yang akan lebih membutuhkannya. Kepada siapa dan kapan waktu yang terdekat, kalau bukan kepada peserta seminar parenting?

Ah, jadi ini, ya, tandanya. Bahwa saya perlu menjawab kesempatan ini, untuk meneruskan pesan yang sudah sampai kepada saya. Saya tidak tahu, kelak pesan ini menjadi tanda apa bagi yang menerimanya, termasuk pesan dalam tulisan yang saat ini Anda baca.

Saya rasa, tiap-tiap kita adalah penyampai pesan, dan jangan-jangan, tanda-tanda selalu tersedia, hanya soal apakah kita menyadari atau tidak. 

Ada pesan luhur yang mengalir sepanjang hidup kita. 


 

25 September 2018

Kepekaan Waktu


Sense of time. Istilah ini muncul begitu saja dalam pikiran saat saya bercakap-cakap dengan adik saya hari Minggu kemarin. Saat menulis ini, saya coba cari di Google tentang istilah ini, masih sedikit pembahasan (dalam pengertian saya, masih sedikit adalah ketika ia hanya muncul pada 1 atau 2 artikel dalam laman pertama pencarian) maupun kata gantinya. Padanan istilah dalam bahasa Indonesia yang paling mendekati tampaknya adalah “kepekaan waktu”. Kepekaan waktu yang dimaksud ini tentang kemampuan seseorang dalam memperkirakan waktu (kapan) dan durasi (berapa lama).

Pada Minggu siang terik yang membuat enggan beraktivitas, saya bertanya kepada adik.
“De, kamu pernah tahu lima menit itu seberapa lama?”
“Maksudnya?”
“Lima menit itu setara dengan waktu kamu mengerjakan apa, apakah misalnya menyikat gigi, berjalan kaki dari rumah ke warung, dsb. Kira-kira kamu bisa isi lima menit dengan apa? Kita sudah menyadari belum, lamanya tiga menit, lima menit, setengah jam itu seberapa.”

Seringnya, sih, waktu berlalu begitu saja. Kita larut dalam aktivitas, entah bekerja, mengobrol, main game online, membaca, termasuk menyikat gigi dan berjalan kaki itu. Biasanya, waktu baru terasa kalau sedang menunggu berjam-jam. Bahkan berjalannya waktu yang sudah diukur dengan timer pun, kadang disadari kadang juga tidak, seperti misalnya saat memanggang kue. Barangkali berbeda dengan atlet atletik yang paham betul artinya satu detik itu seperti apa.

Bila seseorang datang terlambat dari waktu yang ditetapkan, selain terjadi peristiwa di luar prediksi, sangat mungkin perhitungan waktunya belum tepat, atau bisa juga ia tidak membuat perhitungan rencana. Sementara itu, seseorang yang dalam setiap janji temu berusaha tiba satu atau dua jam lebih awal, mungkin juga ia belum memahami ukuran waktu, maka mengambil perhitungan waktu yang berlebih. Daripada terlambat, biarlah tiba dua jam lebih awal, pikirnya, lalu estimasi waktu ia tambahkan, karena belum mengenali seberapa persisnya ia menggunakan waktu.

Ketika orang bicara tentang manajemen waktu yang dilatihkan dalam training-training di kantor, kampus, dsb, sepertinya ada konsep yang lebih mendasar atau mungkin lebih mendalam pemahamannya, dibandingkan tahap awal memilah kegiatan penting dan mendesak, membuat prioritas, dan jadwal kegiatan harian, itu ialah kepekaan waktu (sense of time). Paham dengan ukuran waktu. Umpamanya, dalam lima belas menit bisa melakukan apa saja, apakah membalas email-email, mengarsip lembar tagihan, menyusun satu konsep proposal, membaca jurnal, dsb. Dengan memahami ini, pasti akan memudahkan dalam membuat keputusan tindakan. Seperti misalnya, datang tugas tambahan sementara masih ada tugas rutin, tetapi hanya tersisa waktu lima belas menit sebelum menghadiri rapat, maka lima belas menit ini bisa diisi dengan pekerjaan yang mana agar efektif.

Apakah peka terhadap waktu mudah dilakukan? Dalam percakapan dengan beberapa teman, hanya seorang dari kami yang mampu mengenali ukuran waktu dalam satuan menit tanpa bantuan alat, dan bagi kami yang mendengarnya dengan takjub, itu seperti kemampuan spesial yang hanya dimiliki orang-orang tertentu. Sama seperti saya mengagumi nenek saya dan orang-orang di generasinya yang bisa menyebutkan waktu dengan tepat, tanpa melihat jam, yang kepekaannya sangat terasah dalam mengenali perubahan waktu. Padahal, sesungguhnya tidak selangka itu. Kepekaan ini sangat bisa dilatih, dengan disertai kesadaran dalam setiap waktu yang dilalui. Menyadari keberadaan waktu demi waktu inilah yang perlu proses.

Menurut suatu sumber, salah satu cara praktisnya bisa dengan menebak jam atau durasi, lalu mengeceknya pada arloji. Lebih dari itu, kita bisa berlatih memantau jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan suatu aktivitas, atau menetapkan waktu sekian menit lalu mengisinya dengan aktivitas. Kita bisa memantaunya selama beberapa kali, sehingga diketahui kisaran waktu rata-ratanya. Lambat laun, kita bisa mengenali bobot satu jam itu seberapa, tiga puluh menit itu seberapa, lalu dapat masuk ke ukuran waktu yang lebih kecil. Tampaknya tidak sulit untuk dicoba. 

Bersamaan dengan mampu mengukur waktu, kita juga mampu mengukur kemampuan diri, hendak mengisi dengan apa saja, kapan melanjutkan dan kapan berhenti.



Oke, sudah saatnya berhenti menulis dan berlanjut ke kegiatan lain. Sampai bertemu pada tulisan berikutnya.


10 Maret 2018

inatentif dan egosentris




Inatentif dan egosentris. Perpaduan yang bisa membuat seseorang sulit bersosialisasi, dalam arti ia sulit memahami lingkungannya, dan ia sulit diterima dalam pergaulan.

Apa, sih, inatentif itu? Sederhananya, tidak memperhatikan. Bisa karena keterbatasannya dalam hal kemampuan atensi (mungkin secara neurologisnya), sehingga mudah beralih perhatian, berganti topik pembicaraan, tidak menyimak, tidak fokus, atau mudah lupa. Bisa pula karena ia tidak berniat menaruh perhatian pada orang lain, cuek, tidak peduli, yang mungkin berkaitan dengan egosentrisme. Apa itu egosentris? Secara sederhana bisa diartikan bahwa seseorang memaknai sesuatu hanya melalui sudut pandangnya sendiri, berorientasi pada dirinya. Anak kecil umumnya masih egosentris, inginnya semua orang bisa memahami dirinya. Wajar, pada anak kecil.

Apa yang terjadi bila berkomunikasi dengan orang yang inatentif? Informasi yang ia terima bisa jadi tidak utuh, sepotong-sepotong. Bisa jadi, obrolan tidak nyambung. Bisa jadi juga, kita kesulitan mengikuti alur percakapan yang berubah tiba-tiba. Ia juga bisa keliru memaknakan situasi atau perkataan orang lain. Bagaimana jika berkomunikasi dengan orang yang egosentris? Maunya bicara tentang dirinya saja. Mungkin terkesan mudah tersinggung, karena ia mudah menarik segala hal untuk dikaitkan dengan dirinya dan subyektivitasnya, juga permasalahan-permasalahannya, kesulitannya, perasaannya, dunianya. Mungkin juga, ia tidak mau mendengarkan orang lain. Sulit menerima pendapat yang berbeda, atau pendapat orang lain dipandang salah olehnya, ya karena dia hanya melihat dari kacamatanya.

Apa jadinya kalau orang yang inatentif, ia juga egosentris? Terbayang situasi percakapannya? Belum lagi kalau pribadinya juga dominan, mungkin jengah rasanya mendengarkan dia. Malah ada yang pernah cerita bahwa ia banyak dimusuhi. Bisa jadi memang orang lain tidak menyukainya, atau ia yang merasa tidak disukai banyak orang. Kalau pribadinya cenderung inferior atau minder, mungkin melelahkan untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak seburuk itu, bahwa dunia tidak sekejam itu pada dirinya.

Kalau ia inatentif, tetapi masih menunjukkan keterbukaan dan kepedulian (tidak egosentris), tampaknya orang lain masih bisa memaklumi keterbatasannya. Ia perlu menerima pesan secara berulang dan bertahap, agar bisa dipahami dengan utuh.

Bagaimana kalau ia hanya egosentris, tetapi bisa atentif? Dia bisa menyimak, memahami pesan, tetapi lalu sulit memandang persoalan dengan objektif. Meskipun ini agak jarang ditemukan, karena biasanya perhatian yang terpusat pada diri sendiri membuat seseorang sulit memperhatikan lingkungan di luar dirinya. Di sisi lain, ia mungkin saja menunjukkan perhatiannya pada lingkungan karena ada tuntutan, kebutuhan untuk dirinya, atau agar dipandang baik oleh orang lain.  

Kalau seseorang inatentif dan egosentris, lalu bagaimana supaya ia bisa berkomunikasi dengan efektif? Seseorang pernah mengatakan pada saya, kita belajar dan diajarkan untuk berbicara tetapi tidak belajar untuk mendengarkan. Ya, kita mendengar, tetapi bukan mendengarkan. Kita mendengar orang bicara sambil sibuk melihat hal lain, memikirkan jawaban atau pertanyaan berikutnya, memikirkan diri kita, dan lain-lain, dan sepertinya itu bukan mendengarkan. Memang betul-betul diperlukan kesadaran untuk bisa mengajak diri mendengarkan secara atentif. Untuk bisa menahan subjektivitas dan memberi ruang sehingga bisa menerima dan memahami pesan secara utuh. Untuk bisa memahami situasi dan sudut pandang orang lain.

Apakah hanya dengan mendengarkan? Ini opini pribadi saya saja, karena sepertinya itu cara paling sederhana yang bisa diupayakan. Tentu ada cara-cara lain untuk melatih kepekaan, atensi, empati. ‘Mendengarkan’ ini terdengar sederhana, tetapi bukan berarti cara yang mudah, karena saya sendiri masih jatuh bangun mempelajarinya. Jatuh tergelincir egoisme, emosi, dan lainnya. Tetapi manakala berhasil melakukannya, rasanya bersyukur sekali, bisa ada di momen itu secara penuh. Hm…bagaimana ya, menceritakannya. Penasaran? Silakan dicoba.


31 Januari 2018

Milenial Pengubah Indonesia bisa mengubah apa?

Satu buku yang baru saya tuntaskan berjudul “Generasi Phi Memahami Milenial Pengubah Indonesia” yang ditulis Dr. Muhammad Faisal. Penamaan Generasi Phi ini tampaknya strategi yang menarik untuk memperkenalkan suatu konsep baru. Pertama, pembaca diajak untuk berada di pemahaman yang sama, bahwa ketika menyebut Gen Phi, mereka adalah generasi milenial Indonesia. Ini memisahkan dari istilah Gen X, Gen Y, atau istilah milenial secara global yang sudah banyak digunakan. Maka selama proses membaca buku ini, kata Gen Phi bisa dengan mudah terasosiasi atau terhubung dengan definisi anak muda yang dimaksud penulisnya, bukan definisi di luar buku ini. Spesifik dan  membantu konstruksi berpikir pembaca. Kedua, mungkin berkaitan dengan branding, meskipun saya masih awam berbicara tentang marketing. Suatu karya bisa dengan mudah dikenal karena kebaruannya. Ada keunikan, orisinalitas ide penulisnya, yang membuat penulis/pencipta identik dengan karyanya dan begitu pula sebaliknya, karya identik dengan penciptanya. Dengan istilah Gen Phi ini, Mas Faisal adalah pelopornya dan ini membuat beliau menjadi acuan atau referensi ketika siapa pun mau mempelajari generasi milenial Indonesia. Ibaratnya, kalau kita mengetikkan kata ‘generasi phi’ di laman pencarian Google, dengan mudah kita menemukan nama beliau dan bukunya.

Salah satu bagian dari buku ini yang menarik buat saya adalah tentang wirausaha generasi Phi. Paparan di buku ini mampu menjelaskan fenomena menjamurnya tempat nongkrong di kota besar maupun kota yang sedang bertumbuh. Kita bisa menyebutnya kedai, kafe, warunk, mulai dari yang sederhana sampai yang premium. Begitu pula outlet, distro, dan sebagainya. Disebutkan bahwa salah satu alasan utama yang menjadi motivasi Gen Phi menjadi wirausaha adalah melestarikan lingkungan pertemanan. Alasan ini berangkat dari core kepribadian Gen Phi yang komunal, senang berkumpul, alias nongkrong. Rasanya nongkrong di sini tidak hanya aktivitas yang dilakukan remaja SMA sepulang sekolah duduk-duduk di lapangan basket (ini definisi dari satu klien saya yang masih SMA). Kumpul dengan teman kuliah sepulang kerja, itu pun bisa termasuk nongkrong, kalau mengacu pada pemahaman di buku ini, ketika “nongkrong is a word for sitting, talking and generally doing nothing.”