11 September 2020

Menjumpai diri sejati melalui emosi

Kita pada umumnya memberi label emosi negatif pada emosi-emosi takut, marah, bosan, sedih, duka, untuk kemudahan kategorisasi (Davies, 2017). Padahal, apa itu negatif dan positif? Apakah yang negatif artinya dihindari, tidak pantas, tidak layak ada?

Emosi-emosi ini sebenarnya merupakan kekayaan kita, para manusia usia berapa saja yang terdampak pandemi tahun 2020.  Emosi yang tidak untuk ditolak.

Apabila sebelum pandemi ini, kita mudah menolak dan mengabaikan adanya kekecewaan, kegagalan, kesedihan, kesepian, konflik, kemudian mengalihkannya dengan aktivitas lain, biar lupa dan tegar. Kini, ketika perasaan-perasaan ini muncul, mau dialihkan dengan apa? Sekali dua kali mungkin bisa dicarikan substitusinya. Musik, masak, buku, media sosial, belanja online, mengobrol, tidur, lalu, apa berikutnya? Mungkin kita malah jadi lelah, uring-uringan, bete, bosan, ketika emosi ini hanya dialihkan.

Sedikit kita telaah tentang emosi. Emosi berasal dari kata emotere yang merupakan bahasa Latin, artinya energy in motion, energi yang bergerak. Keberadaan emosi menggerakkan manusia, entah untuk bertindak, beranjak, mundur, berlari, dsb.

Akan tetapi, bagaimana kalau emosi takut, bosan, sedih, dan duka ini bukan untuk diubah, tetapi dirasakan sepenuhnya dan membiarkannya memandu kita menjumpai diri sejati? Sesungguhnya, emosi menampakkan diri asli seseorang. Mari kita ingat-ingat reaksi kita pada minggu pertama pandemi, apakah cemas, dan kemudian apakah ikut panic buying, atau tenang santai selow, sibuk menggalang dana kemanusiaan, marah mengumpat, atau malah cuek tidak mengikuti berita?  Setiap reaksi, segala aksi, adalah ungkapan yang wajar dan manusiawi. Dalam konteks menjumpai diri yang sejati, kita hanya perlu menyadarinya.

If emotion is our intelligent body’s way of inviting us to align with our true self, intuition and inner knowing could be said to be direct communication from that true self (Davies, 2017). Melalui intuisi, kita bisa mengetahui pesan yang dikomunikasikan oleh diri sejati, yang dapat berupa rasa fisik, pikiran, atau letupan ide. Gagasan bahwa kebosanan merupakan katalisator yang membantu kita menemukan kebaruan, pastilah berawal dari sebuah intuisi dari para tokoh yang berkomunikasi dengan diri sejati mereka. Sama halnya dengan contoh berikut, masih mengangkat kisah Viktor E. Frankl (seperti pada artikel saya sebelumnya), ketika membantu kliennya.

“Seorang dokter umum berusia lanjut datang ke tempat praktik saya karena dia merasa sangat tertekan. Dia tidak bisa melupakan kematian istrinya yang terjadi dua tahun yang lalu, orang yang dia cintai lebih dari siapa pun. Saya mengajukan satu pertanyaan,’Katakan, Dokter, apa yang mungkin terjadi jika Anda lebih dulu meninggal daripada istri Anda?’ ‘Oh,’ katanya, ‘Dia pasti akan merasa sangat sedih, betapa akan menderitanya dia!’ Mendengar jawabannya saya berkata, ‘Anda lihat, Dokter, mendiang istri Anda terbebas dari penderitaan seperti itu, dan Andalah yang membebaskannya dari penderitaan seperti itu—tetapi, Anda harus membayarnya dengan tetap hidup dan berkabung untuknya.’ Tanpa mengatakan apa-apa dokter tersebut menyalami saya dan meninggalkan ruang praktik saya. Dalam banyak hal, penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan ketika dia sudah menemukan maknanya, misalnya makna dari sebuah pengorbanan.”

Sejenak saya mencoba membayangkan emosi warga dunia yang sedang pekat menyelimuti bumi, dari pasien maupun keluarga pasien, pekerja maupun pengangguran, tenaga kesehatan maupun masyarakat awam, pemimpin maupun generasi muda. Emosi bisa menggerakkan kita, tidak hanya ke luar untuk diekspresikan dan dilampiaskan, tetapi juga menggerakkan ke dalam diri. Manfaatkan energinya. Ketika kita mau menghadapi emosi-emosi, entah bosan, sedih, luka, duka; menyadari keberadaannya, dan terhubung dengan diri sejati, kita akan mampu mendengar kebijaksanaan yang ada di dalam.


Referensi:

Britta C. 2017. How I learned to embrace my boring lifehttps://medium.com/@britta.c/how-i-learned-to-embrace-my-boring-life-1106080f3a56 Britta C 2017

Davies, Kyle. L. 2017. The Intelligent Body: Reversing Chronic Fatigue and Pain From the Inside Out. W. W. Norton & Company.

Frankl, Viktor E. 1992. Man’s Search for Meaning. Priyatna, Haris. 2017. Noura books: Jakarta, Indonesia.

02 Juni 2020

Ramai Instagram Live, apakah medium bagi personal wisdom?


Bagi warganet yang juga pengguna media sosial, pasti tidak asing dengan Instragram, dan salah satu fiturnya yang sedang tren saat ini, Instagram Live. Fitur Instagram Live menayangkan siaran langsung dari satu orang atau percakapan antara dua orang (kelak, menurut berita, bisa lebih dari dua orang), yang bisa ditonton oleh para pengguna Instagram di manapun. Karena terjadi saat itu juga, kita yang menonton seakan merasakan suasana langsung dengan penyaji dan bisa terlibat interaksi dengan cara berkomentar, bertanya, dan memberi tanggapan.

Fitur siaran langsung (live streaming), termasuk juga di Facebook Live dan YouTube, sudah tersedia sejak beberapa tahun lalu, dan semakin ramai digunakan akhir-akhir ini, sebagai salah satu kegiatan mengisi waktu di rumah saja. Meskipun ruang gerak warga sedang dibatasi sebagai bagian dari protokol penanganan Covid-19, bagaimanapun juga, keinginan bersosialisasi merupakan sifat alami manusia. Tak ada perjumpaan fisik, jumpa virtual pun jadi.

Ada banyak konten yang ditayangkan secara live, mulai dari berita atau pesan untuk publik, seminar, talkshow, konser, kuliah, tutorial, ulasan (review), demo produk/jasa, olahraga, tarian, pertunjukan seni, penggalangan dana, wawancara, atau bahkan aktivitas sehari-hari dari penyajinya, entah ia seorang pesohor atau awam.  Dari semua konten yang banyak rupa tersebut, saya tertarik untuk mengulas konten wawancara dalam tulisan ini.

Belajar dari siapa saja
Biasanya wawancara dilakukan dengan narasumber atau orang yang dianggap dapat menjadi sumber informasi dari bidang mereka masing-masing. Topik bahasannya tentang kesehatan, pendidikan, kebijakan pemerintah, fenomena sosial, psikologi, finansial, cita rasa seni, karya, resep masakan, meditasi, spiritualitas, dan sebagainya. Wah, ada begitu banyak hal yang bisa diperbincangkan dan dipelajari selama pandemi ini, dari orang-orang yang mungkin dalam kehidupan offline belum pernah atau sulit kita jumpai. Sebagian besar siaran wawancara ini tidak berbayar, hanya perlu bermodal kuota internet untuk bisa menyaksikannya.

Pada masa inilah, kita bisa belajar dari siapa saja. Belajarnya bisa apa saja. Tempatnya bisa di mana saja. Waktunya, menyesuaikan jadwal tayang jika ingin menonton live, atau bisa kapan saja jika konten tersebut disimpan secara permanen.

Menariknya, tak hanya soal keahlian narasumber, kita juga bisa belajar dari sudut pandang pribadi mereka, berdasarkan pengetahuan pribadi, pengalaman, dan perasaan mereka. Ini yang membuat saya berpikir tentang personal wisdom atau kearifan pribadi. Kearifan yang mereka bawa dan yakini dalam hidupnya selama ini. Buah-buah kearifan ini, jika kita mau peka untuk menyadarinya, akan sangat memperkaya cara pandang kita.

Personal wisdom
Kita bisa anggap personal wisdom sebagai pencerahan seseorang dalam hidupnya, yang tidak berkorelasi dengan kekayaan dan prestasi (artinya, tidak harus kaya dan juara baru bisa bijaksana), tetapi justru bergantung pada kematangan pribadi dan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap perjalanan hidupnya. Tidak ada kebijaksanaan atau kearifan pribadi yang paling benar di antara semuanya, melainkan sangat bervariasi, karena setiap orang mengembangkan kebijaksanaannya sendiri (Marques, 2007). Kita semua masing-masing memiliki panggilan hidup yang berbeda maka bertemu tantangan yang berbeda dan menarik pelajaran yang berbeda juga.  

Seperti apakah orang yang memiliki personal wisdom? Menurut paradigma Bremen (Staudinger, 2013) orang yang memiliki personal wisdom biasanya sudah mengenal dirinya secara mendalam, baik dalam hal kompetensi, emosi, tujuan, maupun makna hidupnya. Ia mampu mengelola emosi meskipun dalam situasi sulit dan tetap mengembangkan relasi sosial yang sehat. Ia mampu mengambil jarak dengan dirinya dan merefleksikan hal-hal yang memicu perilaku dan perasaannya. Dalam prosesnya ini, ia mampu menerima dirinya serta menoleransi perbedaan pada orang lain. Pandangannya terbuka untuk melihat bahwa ada hal-hal yang ambigu atau tidak sesuai kenyataan, tidak pasti, tidak bisa dikontrol ataupun diprediksi.

Dari deskripsi tersebut, kita bisa bayangkan betapa kaya pengalaman bermacam-macam orang, apalagi bila sudah menjadi self-insight yang dimiliki orang tersebut. Sangat mungkin kita menemukan pandangan yang baru atau berbeda, yang berasal dari penghayatan personal orang lain. Biasanya kearifan ini bisa kita kenali dari pilihan sikap, peran, nilai atau prinsip yang dipegang, serta keputusan yang diambil. Fenomena ramainya wawancara, sharing, atau diskusi yang dilakukan melalui media sosial tampaknya bisa dimanfaatkan sebagai medium memperluas wawasan dan memetik kearifan pribadi.

Pernah dengar bahwa buku adalah jendela dunia? Tampaknya pengalaman orang lain adalah jendela kehidupan. Yang penting kita, baik yang mendengar dan membagikan pengalaman, mau membuka pikiran dan hati untuk hadirnya pemahaman.



Referensi:

Marques, Joan. 2007. Interbeing: Thoughts on Achieving Personal and Professional Excellence Toward Greater Mutuality. Icfai University Press

02 Mei 2020

Pendidik Pekerti


Selama kita pernah menjadi murid, setidaknya ada satu guru favorit yang berjasa dalam perkembangan pribadi kita. Mereka bisa jadi guru yang lembut dan penyayang, guru yang humoris, guru yang jenius, atau guru yang killer. Biasanya yang berkesan untuk jangka panjang bukan materi yang mereka ajarkan, tetapi karakter guru tersebut yang berdampak pada diri kita.

Satu guru yang termasuk salah satu top of mind saya adalah Ibu Roslin, guru pelajaran seni musik di SMP. Beliau terkenal killer, gaung namanya membuat kami tegak siaga, bahkan sampai kepada kakak-kakak senior kami di SMA yang pernah mengenal beliau. Seperti suatu sengat yang membuat kami berubah tertib dalam sekejap, entah di ruang kelas ataupun di lapangan sekolah. Saya pun termasuk kalangan siswa yang duduk tegang selama mendengarkan pengajaran beliau di kelas, sambil mondar-mandir atau sesekali duduk di bangku guru, seraya menggenggam penggaris kayu.

Akan tetapi, perasaan tegang itu berangsur berubah menjadi kekaguman, yang membuat saya justru fokus mendengarkan wejangan beliau, sehingga banyak pesannya masih saya ingat hingga hari ini. Saya pun merasa beruntung memiliki waktu tambahan menerima pengajaran beliau karena saya mengikuti ekstrakurikuler koor (paduan suara) yang diasuh oleh beliau.

Sekali-kalinya saya pernah kena tegur langsung adalah ketika tanpa sengaja melangkahi tanaman. Jadi ada jalan masuk selebar satu meter dan di sebelahnya dijadikan lahan untuk tanaman hias. Bukannya berjalan di jalan masuk, saya ambil gampangnya saja melangkahi tanaman hias yang tingginya juga tidak sampai selutut saya. Ibu Roslin ternyata melihat itu, dan saya ditegur kenapa tidak lewat jalan masuk yang benar dan malah melompati tanaman. Sebenarnya beliau lebih banyak mengajar budi pekerti ketimbang seni musik itu sendiri. Untuk materi seni musik, kami diminta pentas vocal group setiap minggu. Kalau dipikir-pikir sekarang, justru sebenarnya momen tampil itulah menjadi jam terbang kami melatih kepercayaan diri.

Saya juga heran, apakah materi budi pekerti itulah yang menarik untuk saya simak setiap minggunya. Misalnya, ketika mendengarkan guru, kami dilarang keras sebentar-sebentar menengok ke luar pintu melihat siapa saja yang lewat di sana. Beliau bilang, kalau nanti jadi pekerja, tidak boleh sebentar ada apa tengok ke luar, ada suara tukang bakso, suara orang mengobrol, dsb. Kalau dipikir-pikir sekarang, benar juga, supaya kami fokus dalam belajar dan bekerja. Istilah psikologinya, selective attention, bisa memilah hal-hal yang menjadi perhatian kita. Yang tidak penting dan tidak relevan, ya tidak perlu diperhatikan.

Kalau diberi instruksi, tidak boleh bertanya ulang. Misalnya, ibu meminta tolong, “Nak, ambilkan lap di dapur.” Lalu, kita jawab, “Lap di dapur?” Wah, bertanya balik macam begini dilarang keras. Diberi instruksi kok bertanya balik, itu tidak sopan, kurang lebih seperti itu penuturan beliau. Artinya, lagi-lagi melatih fokus, karena kalau fokus mendengarkan, tidak perlu bertanya lagi, tetapi langsung laksanakan.

Khusus untuk koor atau paduan suara gereja, dilarang keras tengok-tengok ke deretan bangku umat, kipas-kipas, minum, apalagi mengobrol. Haha, ini terdengar kaku sekali barangkali, ya. Tapi itulah kekhidmatan yang beliau mau tanamkan kepada kami. Termasuk juga berjalan dan berdiri dengan tegak, serta posisi memegang buku lagu yang tepat.

Jika berusaha diingat-ingat, pasti ada banyak sekali ajaran beliau yang mungkin sekarang ini sudah terinternalisasi ke dalam karakter saya. Tiga tahun mengenal beliau justru tidak menganggapnya sebagai guru killer, tetapi saya mengingatnya sebagai guru favorit. Yang juga membuat saya mengidolakan beliau, karena suaranya yang merdu dan kepiawaiannya menjadikan suara-suara amatir kami sebagai remaja puber menjadi harmoni yang padu.

Malam ini, berita mengejutkan itu datang. Ibu Rosalin SB Pareira dipanggil Tuhan pada usia 84 tahun. Enam tahun lalu, 22 Februari 2014, tanpa sengaja saya pernah bertemu beliau dalam acara tahbisan uskup di Sentul. Beliau masih sehat, gagah, walaupun ingatannya mulai pudar selama berbincang. Beberapa tahun setelahnya beliau kembali ke kampung halaman di Ende. Kini jiwanya bernyanyi bersama malaikat di surga. Tepat pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020. Hidup baktinya sebagai pendidik pasti terus digaungkan melalui karya-karya anak didiknya.



21 April 2020

“Digital Quotient” (Kecerdasan Digital) Anak ketika Belajar Jarak Jauh

Dengan menguasai aspek kecerdasan digital ini, kita akan semakin mahir berkarya sebagai warga digital


Ayo, siapa saja yang sekolah di rumah? Dengan sistem belajar di rumah ini, banyak sekali penyesuaian yang kita lakukan. Ada yang biasanya bermain bola di lapangan sekolah, sekarang ini cukup di garasi, atau bersepeda di gang depan rumah. Ada yang biasanya memperhatikan penjelasan guru dari bangku deretan belakang, kini bisa melihat wajah ibu atau bapak guru dekat sekali di layar laptop (wah, tidak bisa mengantuk kalau begini).
Selain itu, menyerahkan tugas dan PR cukup dengan dipotret lalu dikirim file-nya. Praktis! Untuk mengerjakan tugas kelompok dan berdiskusi, kita bisa menggunakan aplikasi video conference atau media sosial.
Banyak sekali aktivitas sehari-hari yang beralih ke aktivitas digital dalam beberapa minggu ini. Kalau selama ini internet dan gawai digunakan untuk bermain game, browsing, menonton video Youtube, posting di Instagram, sekarang kita sudah memanfaatkan teknologi dengan lebih luas lagi, di antaranya mengikuti kelas online membuat video tugas, mencari berita, dan bahan belajar lainnya. Wah, semakin terasa menjadi warga digital, ya! Ada istilahnya, nih, digital citizenship.
Menjadi warga di dunia digital yang tergolong baru ini, kita perlu tahu aturan main dan etikanya, agar menjadi warga yang bertanggung jawab. Dengan menjadi warga digital, kita sebagai generasi penerus bangsa tidak cukup hanya memiliki IQ (kecerdasan akal) dan EQ (kecerdasan emosi), tetapi juga DQ/Digital Quotient (kecerdasan digital).

Apa saja yang dimaksud cerdas digital itu?

Ada delapan poin kecerdasan digital, dijelaskan berikut ini.
  • Bisa memilah identitas yang boleh dishare dan tidak. Tujuannya untuk menjaga keamanan diri dan privasi, agar identitas kita tidak disalahgunakan oleh pihak lain. ”Think before you post” karena segala jejak digitalmu akan tersimpan selamanya.
  • Menyeimbangkan penggunaan digital (waktu, interaksi riil, dsb). Kita perlu mengelola waktu online dan waktu untuk aktivitas riil sehari-hari, misalnya membantu ibu dan ayah di rumah, bermain dengan kakak atau adik.
  • Bisa mendeteksi konten berisiko (cyberbullying, grooming, radikalisasi, pornografi, penipuan). Laporkan atau blokir akun yang mengancam keselamatan diri maupun teman kita.
  • Bisa mendeteksi ancaman siber (hacker, scams, dsb). Untuk melindungi akun dan gawai dari ancaman siber, sebaiknya rutin mengganti password, memasang antivirus, dsb.
  • Bisa berempati dan berhubungan baik secara online. Yuk, jadi netijen yang sopan, bukan berkata-kata kasar, apalagi cyberbullying. Ingat jejak digital, ya, jangan sampai postingan-mu merugikan masa depanmu.
  • Bisa komunikasi dan kolaborasi menggunakan teknologi dan media digital. Pemanfaatan multimedia menjadi keterampilan yang berguna untuk kolaborasi, misalnya mengedit video, menyampaikan presentasi, menulis email dengan tata cara yang baik, dsb. Meskipun bentuk komunikasinya online, etika dan sikap hormat kepada guru dan teman tetap penting, ya.
  • Literasi digital, yakni paham cara mendapatkan informasi, misalnya dengan menggunakan mesin pencari, membaca artikel/berita/jurnal, dan bisa mengkritisinya (hoax atau fakta). Ingat, ya, saring dulu sebelum sharing informasi.
  • Menghormati hak cipta orang lain, dengan mencantumkan nama pembuatnya ketika kita mengambil atau meneruskan karya tersebut.
Dengan menguasai aspek kecerdasan digital ini, kita akan semakin mahir berkarya sebagai warga digital.

(Artikel pernah dimuat di www.kembalikeakar.com pada 7 April 2020)

Self-Help penangkal stres (karena kabar Covid-19) untuk anak melalui “Imagery”

Stres merupakan kondisi yang wajar dialami setiap manusia ketika mengalami peristiwa atau situasi yang dianggap mengancam dirinya


Hei, mengapa kamu terlihat murung? Apa sedang tidak enak badan? Atau ada perasaan yang tidak nyaman? Oh, tetapi bingung menjawabnya, ya. Untuk membantumu mengetahui kondisi yang sedang dialami, yuk, lihat ciri-ciri berikut dan tandai yang sesuai dengan kondisimu.
  • Lelah, inginnya bermalas-malasan
  • Mudah marah, kesal, membentak
  • Sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas
  • Moody, cepat berubah dari antusias atau bersemangat ke lesu atau enggan
  • Lebih banyak diam, atau menangis
  • Merasa takut, tetapi tidak tahu takut apa
  • Sulit tidur atau justru mimpi buruk
  • Selera makan menurun, atau justru meningkat
  • Sakit perut atau sakit kepala, pusing
Apabila kamu mengalami sedikitnya empat ciri-ciri di atas, kemungkinan besar kamu sedang mengalami stres. Stres merupakan kondisi yang wajar dialami setiap manusia ketika mengalami peristiwa atau situasi yang dianggap mengancam dirinya.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun bisa mengalami stres. Coba diingat-ingat, siapa yang panik kalau harus memberi tahu orang tua ketika mendapat skor rendah di sekolah? Atau adakah di antara kita yang takut diejek teman ketika potongan rambutnya tidak sesuai yang diharapkan? Pasti ada banyak contoh lain yang pernah kamu alami. Perubahan besar dalam hidup juga bisa memicu stres, misalnya perceraian orang tua, anggota keluarga meninggal, pindah rumah, pindah sekolah, dsb. 
Dalam satu bulan terakhir, kita juga sedang mengalami perubahan besar karena pandemi Covid-19, yang membuat kita semua tidak boleh pergi ke sekolah tetapi belajar dari rumah saja. Bahkan sebagian orang tua kita juga bekerja dari rumah. Lalu banyak berita yang datang, tentang bahaya virus ini, kenalan ayah atau ibu yang menjadi pasien Covid-19, berita meninggalnya kakek atau nenek teman, atau bahkan ada orang tua yang harus dirawat di rumah sakit.
Beberapa kawan yang beruntung masih tinggal bersama orang tua mereka, mungkin mengalami stres yang berbeda bentuknya. Setiap hari mereka menyaksikan ayah dan ibu yang resah dan bingung karena situasi ini lalu melampiaskannya dengan kemarahan atau berkonflik ketika melihat anaknya melanggar aturan. 
Kalau semua hal ini memenuhi kepala dan hati kita, wajar sekali kita menjadi murung.

Kiat mudah mengurangi stres

Stres itu bukan hal yang buruk, kok. Ketika stres, sebenarnya kita dilatih untuk mencari solusi dengan berpikir dan mengelola emosi. Ada satu cara yang bisa kamu praktikkan untuk mengatasi stres karena beban pikiran. Ikuti tahapnya, ya.
  • Bayangkan dua keranjang besar, yang satu bernama Keranjang Tanggung Jawab dan satu lagi bernama Keranjang Kepedulian.
iStock

  • Keranjang Tanggung Jawab artinya tempat hal-hal atau masalah yang menjadi tanggung jawabku. Keranjang Kepedulian artinya tempat hal-hal atau masalah yang aku pedulikan tetapi di luar tanggung jawabku.
  • Sekarang, pilah satu persatu masalah yang dipikirkan, apakah masuk ke dalam Keranjang Tanggung Jawabku atau Keranjang Kepedulianku.
Pada contoh tadi, berita tentang kenalan ayah atau ibu yang sakit, meninggalnya kakek atau nenek teman, berita tentang bahayanya virus, serta keresahan ayah dan ibu masuk ke Keranjang Kepedulianku, karena sebagai anak-anak, aku tidak memiliki tanggung jawab dan kewenangan terhadap hal-hal tersebut.
Sementara itu, pelanggaran aturan yang kuperbuat masuk dalam Keranjang Tanggung Jawabku. Kondisi ayah atau ibu yang sakit, yang membuatku harus mengurus keperluan yang bisa kulakukan secara mandiri, menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh, serta mengerjakan tugas sekolah, masuk ke dalam Keranjang Tanggung Jawabku.
Artinya, perhatian kita bisa ditujukan kepada hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita, sedangkan hal-hal lain cukup menjadi bahan kepedulian dan jangan sampai menimbulkan kepusingan.
Semoga kini kamu bisa mengenali penyebab kemurunganmu dan memahami bahwa kondisi stres merupakan hal yang wajar serta bisa diatasi. Akan tetapi, jika kamu butuh bantuan, segera beritahu ayah-ibumu atau orang dewasa yang kamu percaya.
(Arikel pernah dimuat di www.kembalikeakar.com pada 8 April 2020)

Konsep "Circle of Concern and Circle of Influence"

18 April 2020

Bertukar Cerita dengan Eyang


Anak-anak bisa mengasah kecakapan sosial mereka melalui percakapan dengan kakek dan nenek.
Masa “sekolah di rumah” diperpanjang. Apakah ini berita menyenangkan atau kurang menyenangkan untukmu? Pasti jawabannya beragam. Ada yang senang karena punya banyak waktu lebih lama bersama ayah bunda, bisa bermain dengan kakak dan adik, atau bisa bangun lebih siang, barangkali. Ada juga yang tidak senang, karena mungkin bosan di rumah, sering rebutan barang dengan adik, banyak tugas tambahan, dan tidak bisa bertemu teman. Apalagi kalau sudah punya teman dekat, yang kalau di sekolah selalu main bareng dengan mereka, ngobrol bareng, jajan bareng, olahraga bareng, sampai tiktok-an bareng juga.
Walaupun tidak bisa bertemu langsung dengan teman, anak-anak jaman sekarang dimudahkan dengan teknologi. Kamu tetap bisa bercerita dan ‘mabar’ (main bareng) dengan teman via internet. Ada media sosial, game online, videocall, dsb. Kesempatan untuk bercanda, bertukar kabar, dan bermain dengan teman merupakan salah satu hiburan pada masa isolasi ini.
Disadari atau tidak, kamu belajar banyak tentang kecakapan sosial melalui pertemanan, di antaranya berkomunikasi, bersabar mengantri, berempati dan peduli terhadap teman yang kesusahan, menghadapi konflik atau pertengkaran dengan teman, dan mencari penyelesaian masalahnya. Lalu, selama masa isolasi di rumah, apakah keterampilan sosial ini akan menurun karena tidak bertemu dengan teman sebaya? Belum ada jawaban pasti dari ahli psikologi mengenai hal ini, namun mereka berpendapat bahwa kecakapan sosial anak tidak akan berkurang jauh.
Anak dan remaja masih bisa bersosialisasi dengan orang tua, kakak, adik, juga teman secara daring. Saya mengutip pernyataan Jen Blair, seorang psikolog klinis, kepada Insider, bahwa justru anak-anak mampu resilien. Resilien artinya lentur beradaptasi pada situasi sulit. Coba, deh, bayangkan karet yang lentur, bisa ditarik sekencang mungkin dan kembali ke bentuk semula tanpa putus. Kamu juga bisa lentur dan berhasil melalui masa sulit, asalkan tetap mau belajar, ya!  
Kamu bisa belajar dari Eyang
Bagi yang masih punya kakek dan nenek, adakah yang pernah videocall, menelepon atau mengobrol dengan beliau selama masa isolasi ini? Ketika sudah terlalu sering mendengar dan menonton video selebgram, bagaimana kalau kamu seolah-olah menjadi youtuber yang mewawancara kakek atau nenekmu dengan 5 pertanyaan?
Hah, wawancara eyang, apa asyiknya? Ets, jangan kaget dulu. Ini akan menyenangkan karena kamu bisa belajar dari seseorang yang usianya empat atau lima kali lipat usiamu, yang pasti sudah punya banyak sekali pengalaman. Kamu bisa bertanya tentang pengalaman eyang menghadapi teman yang bikin bete, misalnya.
Supaya bisa menelepon atau videocall bersama eyang dengan nyaman, pilih tempat yang tenang untuk mengobrol cukup lama. Katakan kepada eyang untuk minta waktunya menjawab 3 atau 5 pertanyaan. Sesuaikan juga dengan kondisi fisik eyang, ya.
Tidak semua eyang bisa langsung bercerita, kadang eyang bingung cerita dari mana. Kamu bisa mulai dengan meminta eyang menceritakan tentang kedua orang tuanya. Berikutnya, bisa menanyakan pertanyaan seperti ini.
·         Siapa nama lengkap Eyang? Apakah Eyang punya nama panggilan waktu kecil?
·         Apakah Eyang pernah belajar alat musik, seperti apa belajarnya?
·         Bagaimana caranya supaya bisa memiliki teman-teman baik?
·         Apakah dulu Eyang diberi aturan tentang berpacaran?
·         Apakah Eyang pernah dihukum waktu kecil?
·         Apa pelajaran favorit Eyang di sekolah?
·         Apa pekerjaan pertama Eyang?

Respon eyang bisa berbeda-beda ketika mendapat pertanyaan ini. Dengarkan dulu segala cerita dan pesannya. Secara umum biasanya eyang akan senang ditanya, tetapi jika ada hal yang menyinggungnya, segera sampaikan maaf. Dari pengalaman ini, kamu juga sambil latihan bertutur kata yang sopan, memahami sudut pandang eyang, dan memberi tanggapan atau komentar dalam percakapan.
Sedikit informasi, hasil penelitian Marshall Duke dan Robyn Fivush dari Emory University menyebutkan bahwa anak dan remaja yang mempunyai banyak pengetahuan tentang sejarah keluarganya, menampilkan kepercayaan diri yang tinggi dan jarang mengalami kecemasan ketika menghadapi masalah.
Kegiatan bertukar cerita dengan eyang ternyata memberikan banyak bonus manfaat untukmu, yaitu mendapat pesan berharga dari pengalaman eyang, melatih keterampilan berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, menambah pengetahuan tentang sejarah keluarga, dan bisa meningkatkan kepercayaan dirimu. Kecakapan sosialmu bisa tetap diasah selama masa isolasi ini. Selamat mencoba, ya! Apabila kamu dan orang tuamu ingin melihat contoh percakapannya, bisa menonton video 57 Years Apart – A Boy and a Man Talk About Life.

(ditulis untuk www.kembalikeakar.com)

Referensi:
Fivush, Robyn., Duke, Marshall., & Bohanek, Jennifer G. 2010. “Do You Know…” The power of family history in adolescent identity and well-being. https://ncph.org/wp-content/uploads/2013/12/The-power-of-family-history-in-adolescent-identity.pdf
Lauber, Rick. 100 Questions to Ask Grandparents. https://homecareassistance.com/blog/questions-ask-elderly-grandparents

Miller, Anna Medaris. 2020. Experts say kids' social skills 'aren't going to fall apart' during a short-term coronavirus lockdown, but it's unclear what might happen after that. https://www.insider.com/will-kids-be-developmentally-delayed-from-social-isolation-coronavirus-2020-3

Stasova, L. & Krisikova, E. 2014. Relationships between children and their grandparents and importance of older generations in lives of todays’families. EDP Sciences. https://www.shs-conferences.org/articles/shsconf/pdf/2014/07/shsconf_shw2012_00044.pdf

17 Maret 2020

kembali ke dalam


Pernah ada masanya manusia bergerak tanpa batas. Dimudahkan menyeberang kota, melintasi benua.

Oleh satu orang saja, bisa tercipta lima atau tujuh lebih perjalanan. Ia berkendara ke kantor, memesankan ikan bakar delivery untuk ibunya di rumah, memesankan mobil penjemput untuk anaknya, berbelanja minyak sayur secara online, mengirim paket buku yang dititip kawan di luar kota, kemudian memanfaatkan tiket promo penerbangan ke Bangkok esok lusa. Semua perjalanan ini bisa terjadi dalam waktu hampir bersamaan.

Andaikan kesibukan di atas terjadi dalam waktu satu jam pada satu orang, bayangkan mobilisasi yang terjadi dalam satu hari oleh katakanlah satu juta orang yang menempati satu kota. Lalu kita multiplikasi dengan jumlah kota sibuk yang ada di bumi ini.

Seperti semrawut? Mungkin.

Pernah ada masanya manusia bergerak tanpa batas, dalam pikirannya. Memikirkan ini itu, persiapan nanti dan kelak, mengingat yang sudah dan lampau, menghitung waktu yang segera dan harus. Semua pemikiran ini bisa terjadi dalam waktu hampir bersamaan. Belum lagi emosi yang menghentak, menarik, dan mengguncang. Bayangkan mobilisasi impuls saraf dalam otak manusia, kita.

Seperti berat, lelah, jenuh? Mungkin.

Pernah ada masanya manusia dibatasi ruang geraknya. Berdiam saja dulu, tunggu dulu, sabar dulu. Tunggulah di dalam. Ibarat penjinak bom, alam sedang mengurai, memilah, memutus kabel-kabel yang semrawut di luar sana. Mengutip tulisan seorang pastor di Wuhan yang beredar di grup media sosial beberapa hari lalu, “Semakin sedikit orang berada di jalan, hanya ada beberapa mobil yang berseliweran, udara semakin segar, kabut hilang, langit semakin cerah. Orang yang belum membaca selama bertahun-tahun akhirnya meraih buku di rumah. Orang tua berkomunikasi dengan anak-anak mereka.”

Pernah mendengar pandangan mikrokosmos dan makrokosmos? Dalam konteks hubungan manusia dan alam semesta, mikrokosmos adalah manusianya dan makrokosmos adalah alam, planet, bintang, galaksi (pembaca yang lebih paham, silakan mengoreksi saya). Keduanya memiliki koneksi yang erat sehingga apa yang terjadi di makrokosmos akan dirasakan dan berdampak pada mikrokosmos, begitu pula apa yang terjadi di mikrokosmos akan berdampak pada makrokosmos. Apa yang semrawut di luar, mungkin cerminan yang semrawut di dalam. Eckhart Tolle menyebutnya, "You are not IN the universe, you ARE the universe, an intrinsic part of it."

Pernah ada masanya manusia dibatasi sementara. Diajak untuk #dirumahaja. Ajakan yang bisa dimaknakan #kembalikedalam memeriksa, mengurai, memilah yang penting dan tak penting, memutus pikiran yang membebani, membenahi hal-hal yang selama ini ditunda, menghirup udara segar, memperhatikan yang sering terlewat begitu saja. Apa yang menyehatkan di alam mikro, menyehatkan di alam makro.



02 Februari 2020

menjadi kakak untuknya


Saya tidak menganggap diri saya sebagai kakak yang baik dan ideal. Ada tahun-tahun saat saya meninggalkan rumah untuk berkuliah di luar kota dan tidak hadir mendampingi adik-adik saya yang bertumbuh remaja. Lebih jauh lagi, meskipun ingatan masa balita saya pastinya samar-samar, rasanya saya juga tidak hadir intens pada bulan-bulan dan tahun pertama kelahiran adik saya. Pada waktu itu saya tinggal di rumah nenek. Kemudian masa kecil kami diisi dengan bermain bersama, pun bertengkar, berteriak, dan memukul. Tentu seiring usia, ada masa-masa kami membahas masalah, lalu saya yang mengambil peran menasehati karena disuruh orang tua, atau karena lambat laun menganggap itulah tugas kakak dan sebatas itulah pemahaman saya mengenai peran kakak pada waktu itu. 

Sebagai sulung, tidak ada role model secara langsung tentang menjadi kakak. Trial and error. Atau, trial and enough, saya menyingkir, membatasi diri, mengurus diri masing-masing saja kalau merasa semakin sulit menghadapi adik. Bukankah pola komunikasi pastinya berubah menyesuaikan dengan perkembangan pribadi? Gaya bicara pada adik yang masih anak-anak dengan adik yang remaja akhir tentunya berbeda. Nah pada masa-masa itu, menjadi individualis adalah perlindungan yang aman bagi kami masing-masing. Tidak banyak cerita yang dipertukarkan, momen adik kakak berkegiatan bareng setiap tahunnya bisa dihitung dengan jari. Segala sesuatu berjalan wajar, hingga saya menyadari bahwa kami sudah memasuki usia dewasa dan memulai kehidupan masing-masing. Seperti ada nada-nada penyesalan memang, tapi tidak bisa mengulangnya lagi, kan. Selanjutnya relasi saya dan adik-adik berlangsung baik dan berjarak, selama kami menjaga dan menahan diri untuk tidak menyinggung satu sama lain. Kalaupun hal itu sampai terjadi, biasanya berujung konflik saja.

Belum lama ini saya mengetahui bahwa adik saya membeli lemari dinding dan ia berencana memanggil teknisi untuk merakit dan memasangnya. Buru-buru saya mengusulkan diri untuk membantu merakitnya, karena menurut saya pekerjaan itu bisa dilakukan sendiri dengan mengikuti buku panduan dan prosesnya sungguh menyenangkan, seperti bermain puzzle atau lego. Sejak saat mengajukan diri itulah saya sudah meniatkan untuk melakukannya bersama-sama, menjalankan peran saya sebagai kakak yang mendampingi proses belajarnya.  Harapan saya ialah menghadirkan kepuasan yang ia rasakan ketika berhasil membuat sendiri, menghadirkan perasaan mampu yang menumbuhkan kebanggaan dalam diri, juga menunjukkan bahwa proses do it yourself ini seru dan menyenangkan.

Niatan ini membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Saya yang antusias dan penasaran mengamati petunjuk-petunjuk pada buku panduan serta ingin langsung mencobanya, perlu menahan diri untuk tidak melakukannya. Meskipun mungkin ia akan setuju saja jika saya langsung merakitnya, saya merasa perlu menghormatinya sebagai pemilik barang ini untuk mengetahui seluk beluk kepunyaannya. Bahkan saya ingin menunjukkan padanya sejak halaman pertama buku petunjuk.

Setiap petunjuk dari buku panduan sangat detil dan bertahap, membuat saya berkomentar bahwa orang awam pasti bisa mengikutinya. Hingga kemudian kami menemui kesulitan. Salah satu papan tidak bisa menempel rapat, seperti berjungkit. Saya mulai cemas karena jangan-jangan akan terpikir olehnya bahwa lebih baik memanggil teknisi jika sulit begini, dan ini baru pertama kalinya kami melakukan perakitan bersama. Kami mencoba berkali-kali, membongkar dan membaca lagi, hingga akhirnya ketemu sumber masalahnya. Gara-gara kami berinisiatif memasang duluan sepasang mur yang lain padahal belum diinstruksikan. Betapa semua tahap sudah sedemikian dipikirkan oleh pembuat panduan, dan momen ini menjadi contoh nyata untuk memperhatikan setiap instruksi dan saran yang sudah tersedia, karena pasti akan ada solusinya.

Selama pengerjaan, beberapa kali prosesnya terjeda karena ia perlu mengurus beberapa hal yang mendesak. Saya pun sengaja menghentikan perakitan juga dan daripada menganggur, saya membaca buku panduan hingga tiga-empat langkah setelahnya, juga mencoba-coba sendiri kemudian melepasnya lagi. Anda yang kenal saya pasti paham antusiasme saya mengulik sesuatu, yang kali ini perlu diredam.

Pernah satu kali ia tidak paham dengan petunjuknya, sehingga saya jelaskan kembali secara bertahap dan memvisualisasikannya, kemudian memintanya mencoba sendiri agar terbayang. Setelah yakin bahwa ia mengerti, baru kami beralih pada tahap berikutnya. Kendati demikian, ada tahap yang belum bisa dilakukan malam itu, namun secara umum perakitan sudah selesai.

Beberapa hari kemudian ia sampaikan bahwa pemasangan sudah tuntas dan ia bisa melakukannya sendiri. Dalam pesan tertulis ia sampaikan bahwa ia mendapat pelajaran baru, bahwa tidak semua hal harus bergantung pada orang lain dan selama bisa dikerjakan sendiri maka dikerjakan sendiri. Pemahaman ini, yang di luar ekspektasi saya, membuat saya bersyukur sekali untuk proses yang diupayakan agar terjadi, menghadirkan peran kakak yang mendampingi pengalaman belajarnya. 

Beberapa hari lalu ia berulang tahun. Selamat bertambah usia, Win. Selamat menikmati proses mendewasa. Terima kasih untuk mau belajar bersama. 


22 Januari 2020

Game, kebutuhan prestasi, dan apresiasi


Saya sering melihat orang suka bermain game di ponsel mereka sepulang kerja. Di rumah, di kereta, di bus. Sebagai kesenangan, melepas penat, atau menghilangkan bosan. Game memang dibuat agar orang merasa senang, kan. Kesenangan yang diperoleh ketika berhasil, menang, atau senang menikmati permainannya.

Keberhasilan ini bolehlah kita maknakan sebagai prestasi, pencapaian. Dalam game, pemaknaan “prestasi” yang lebih cocok untuk konteks ini barangkali dari kata "accomplishment". Tercapai, selesai. Tuntas.

Pencapaian dan keberhasilan sudah menjadi bagian dari kebutuhan manusia, kira-kira sejak masa-masa sekolah dasar, yang dalam tahap perkembangan psikososial Erik Erikson dinamakan tahap Industry. Lalu dalam perkembangan kepribadian manusia, kebutuhan ini menjelma menjadi kebutuhan berprestasi (need for achievement) seperti disebut dalam teori motivasi McClelland.

Ada kesamaannya antara dunia kerja pada umumnya dan dunia game. Dalam bekerja, kita berusaha menghasilkan (memproduksi), mencapai, atau memenangkan suatu target,  begitu pula dalam dunia game, ya. Bedanya, yang satu nyata, yang satu virtual, meskipun ada juga yang berimplikasi reward di dunia nyata. Selain itu, ada perbedaan yang menarik.

Dalam dunia kerja pasti ada saja yang namanya tidak tuntas yang bikin lelah hati, tetapi di game, perasaan tuntas bisa diciptakan ketika berhasil di satu level. Kalaupun gagal, masih bisa mengulang lagi dengan kondisi yang sama persis. Kalau menang, ya senang, lalu dapat bonus, hore-hore di layar. Akan tetapi, dalam situasi nyata, kegagalan menggolkan proyek hanya karena kecerobohan kecil, gagal mendapatkan pembeli hanya karena kemacetan jalan, gagal lulus semester, apa semua itu bisa diulang? Bisa sih, tapi (kondisinya) tidak pernah sama persis. Begitu banyak faktor yg membedakan kondisi yang pertama kali dan yang diulang. Orang yang berbeda, kondisi finansial yang berbeda, kekuatan fisik yang berbeda, dsb. Atau kesempatan itu tidak pernah ada lagi. Lalu kita kecewa. Ada yang belum selesai, unaccomplished. Sementara di dalam game, selesai di satu level, memunculkan perasaan accomplished. Pernah mengalaminya?

Setelah kita berhasil, biasanya diikuti dengan apresiasi. Biasanya, lho, karena tidak selalu. Apalagi di dunia nyata, tidak selalu apresiasi itu datang dari orang lain, termasuk juga diri sendiri yang sering lupa menghargai kerja keras sendiri. Padahal apresiasi adalah juga bagian dari kebutuhan manusia. Dalam game, apresiasinya nyata, meskipun hanya berupa suara musik bersorak atau tulisan “You Win” besar-besar di layar, tapi itulah penanda kita berhasil di game tersebut.

Mungkin perasaan accomplished dan appreciated ini yang bikin orang suka bermain game. Asyik dengan dunia yang lebih bisa diprediksi ketimbang dunia nyata. Kebutuhannya pun terpenuhi. Tentu ini masih kemungkinan, dugaan-dugaan saya. Saya juga menemukan artikel dari seorang gamer yang mengulas need for accomplishment

Apabila benar, bahwa kebutuhan prestasi dan apresiasi ini terpenuhi melalui game, kita mungkin perlu menengok kepada anak-anak, adik, atau keponakan kita yang lekat dengan game, agar mereka tidak menyempitkan pemaknaan prestasi hanya pada game. Ada begitu banyak pengalaman nyata yang bisa dieksplor di luar layar segiempat itu, ada begitu banyak jenis perasaan berhasil dan apresiasi yang bisa mereka alami.


Game dan taraf kompetensi




Beberapa waktu lalu saya kerap bermain game Candy Crush. Game ini fenomenal sekali, lho, sampai-sampai dibahas dalam buku Hooked (Nir Eyal, 2013). Mainnya di handphone teman saya, sehingga ga sampai terus-terusan, meskipun mengalami juga efek game yang bikin tampilan warna warni bola-bola permen tiba-tiba muncul dalam pikiran. Mungkin juga karena saya ini tipe visual. Dan mungkin juga efek inilah yang membangkitkan dorongan para gamer untuk bermain dan bermain lagi.

Nah, sewaktu saya dalam perjalanan ke luar kota yang makan waktu beberapa jam, terlintas keinginan bermain Candy Crush, tetapi lalu muncul ingatan tentang level game yang sulit. Kalau levelnya masih dua ratusan sebelum ini masih menyenangkan karena mudah, tapi sekarang sedang masuk yang sulit. Kalau levelnya masih yang awal-awal juga terlalu mudah. Membosankan. 

Alih-alih main, malah muncul ide. 

Hei, bukankah leveling pada game ini seperti halnya mengukur tingkat kemampuan atau kompetensi pada manusia, ya. Bayangkan kalau kompetensi manusia bisa diukur serinci derajat kesulitan pada game. Kalaupun tidak rinci, kita bisa manfaatkan analogi level game untuk memahami tingkat kemampuan manusia. Manusia punya variabilitas kemampuan, itu sudah pasti. Premis berikutnya adalah orang akan senang dan termotivasi melakukan hal yang sesuai dengan kemampuannya. 

Orang dengan kapasitas kemampuan 70, ia sudah pasti bisa mengerjakan tugas level 10 sampai 70. Tapi kalau tugasnya terus-terusan di level 10, ia bisa bosan. Kalau dikasih tugas level 120 bakal kewalahan, tidak suka, atau malah menyerah. 

Ia diperkirakan akan menikmati tugas pada level 60 sampai 80. Ia fit di sini. Ia akan bersemangat dan mungkin bisa berkembang ke level 90 atau 100, tergantung karakternya, seberapa gigih, dan seberapa suka tantangan atau tidak.

Mobil yang saya tumpangi sudah mendekati pintu keluar tol, padahal saya belum jadi main Candy Crush-nya. 

Saya membayangkan kalau penyelenggara pendidikan dan penyelenggara kerja mampu mendeteksi taraf kemampuan peserta didik dan pekerja dengan jitu seperti level pada game, kita akan menemukan lebih banyak orang yang termotivasi dibandingkan yang frustrasi.


01 Januari 2020

Keluarga



Bolehlah tahun 2019 kemarin disebut sebagai tahun keluarga, dari sudut pandang saya pribadi. Tema-tema keluarga memenuhi sepanjang tahun, sejak awal hingga momen pergantian tahun dan hari pertama 2020 ini. Dimulai dengan menangani beberapa klien remaja pada awal, tengah, dan akhir tahun yang isunya seputar keluarga, sampai-sampai membuat saya perlu ikut workshop tentang family therapy, kemudian peristiwa-peristiwa penting dalam keluarga inti maupun keluarga besar, di antaranya kelahiran anggota keluarga baru, pernikahan sepupu, berpulangnya seorang paman, kepindahan rumah, pembukaan usaha, serta liburan akhir tahun bersama keluarga besar. Sebenarnya saya tidak pernah secara khusus mengamati dan memberi tema untuk tahun-tahun yang saya lalui, tetapi kesadaran yang baru tampaknya membuat saya melihat sedikit lebih jelas ketika pada hari ini menengok ke belakang.

Saya tidak tahu mana yang lebih dulu hadir: apakah kesadaran ini sudah saya miliki lebih dulu sehingga bisa memaknai peristiwa yang terjadi, ataukah peristiwa-peristiwa ini yang menempa-membentuk saya sepanjang tahun dan memerasnya perlahan hingga muncullah titik-titik kesadaran. Kesadaran yang membuat saya melihat lebih jelas, meskipun masih sebagian-sebagian, bahwa relasi di dalam keluarga memang relasi yang unik, relasi yang tidak pernah bisa dipandang sama dan seragam meskipun beragam teori psikologi sudah merumuskannya.

Relasi yang hadir dalam wajah percaya sekaligus sangsi, rasa sayang sekaligus pedih, derai tawa sekaligus terasing, marah sekaligus iba, yang bisa juga ketus sekaligus cemas. Relasi yang pastinya sulit dipahami ketika dilihat hanya dari luar, dan lebih sulit lagi ketika mencoba menyelaminya. Karena pada saat bersisian langsung, berhadapan, berinteraksi, berkonflik, mendengar, menyaksikan, barulah bisa benar-benar paham, bahwa berempati terhadap karakter, terhadap perasaan terdalam seseorang, tidak semudah diucapkan, dan ini bukan sekadar memaklumi dan menoleransi. Kadang-kadang bukan soal perdebatan atau konflik, seringkali hanya hal-hal kecil dan sensitif. Nada suara, gestur, perlakuan, sorot mata. Pisau diasah oleh batu, manusia diasah oleh manusia lainnya. Dan tempat mengasah yang lebih tajam, biasanya di dalam keluarga. Prosesnya tidak selalu menyakitkan atau melelahkan, ada juga keseruan dan kegembiraannya.

Ada juga rasa haru. Pada penghujung tahun 2019, seorang klien yang sebelumnya mengalami masa sulit dalam relasinya dengan keluarga, menuliskan ini pada status Whatsapp-nya, “Banyak yang sibuk mengejar harta hingga melupakan keluarga. Padahal tanpa kita sadari keluarga ialah harta yang tak ternilai. Indahnya kebersamaan,” disertai foto keluarga duduk berangkulan di pantai. Awalnya diposting sang anak, hari berikutnya oleh ayahnya.

Kebersamaan identik dengan keluarga, meskipun mungkin keluarga tidak selalu identik dengan kebersamaan. Untuk mau bersama-sama, pasti ada sumbangan kesabaran, pengertian, pemaafan, penerimaan, kesediaan, dan upaya aktif menolong. Berbahagialah orang-orang yang ringan hatinya dalam mengupayakan kebersamaan, dan, ya, saya melihat langsung orang-orang semacam ini. Pada orang-orang yang merasa capek dan berat, tetapi tetap mau mengupayakannya, inilah anugerah.


1 Januari 2020
hari saat banjir menyambut awal tahun