30 Oktober 2013

Kualitas dari sebuah proses

Pecinta kuliner sering menggunakan ungkapan “cita rasa”. Apa artinya, hanya pecinta kuliner yang tahu. Kalau begitu saya akan bertanya. Apa yang membuat sebuah roti bisa mempunyai rasa yang begitu enak? Kita tahu ada banyak jenis roti. Ada roti gandum yang biasanya berwarna kecokelatan (brown bread), roti tawar (toast bread), roti Prancis (baguette), roti Italia yang biasa diolah menjadi pizza, dan berbagai jenis roti lainnya. Selain itu, di Jerman, terdapat roti tradisional Jerman (brotchen) yang baru-baru ini diajukan ke UNESCO agar menjadi warisan budaya. 

Sejak jaman Mesir kuno hingga masa sekarang, roti dibuat dari adonan tepung. Ada yang menggunakan ragi, ada yang tidak. Yang pasti, adonan itu mengalami proses diaduk, ditekan, digiling, digulung, diregangkan, dan ditekan kembali. Cita rasa setiap roti menjadikannya berbeda dibandingkan roti-roti lainnya. Anda yang pernah menonton “Bread, Dream, and Loves”, yang menjadi Drama Korea Terbaik 2010, mungkin langsung membayangkan gambaran roti lezat yang dipuja-puja dalam kisah film tersebut. 

Kalau begitu, bisakah Anda bayangkan bagaimana bentuk roti bila adonan tepung hanya diaduk kemudian didiamkan? Oke, barangkali adonan tetap mengembang menjadi roti karena telah diberi ragi, tetapi roti yang dihasilkan pasti kurang enak karena tidak lembut. Apa sebab? Adonan tepung tidak lentur karena tidak digiling, ditekan, diremas, bahkan bila perlu, dibanting di atas meja dapur. Ya, itulah proses. Itulah yang menjadikan suatu masakan memiliki cita rasa. Itulah yang menjadikan seseorang memiliki kualitas. Kita pun seperti adonan itu.

image: www.savorsa.com


Bahan yang ditambahkan kepada kita bisa bermacam-macam. Jika adonan roti ditambahkan filling cokelat, kismis, mentega, kita pun menerima asupan bahan, baik itu berupa pengetahuan atau didikan. Setelah mendapat asupan, justru proses tempaan, yang menciptakan kualitas diri kita, baru dimulai. Tidak selalu proses yang mudah, cepat, dan nyaman. Kadang perlu melewati kegagalan, penyesalan, makian, cercaan, rasa sakit, lelah dan peluh, dan sebagainya. Otot kesabaran kita kadang perlu diregangkan sepanjang-panjangnya. Motivasi kita perlu dipecut sekeras-kerasnya. Hati benar-benar diremas dengan berbagai emosi. Tetapi, tenang, kawan, semuanya itu tidak sia-sia. Bahkan menurut saya, kita perlu bersyukur bila mengalaminya. Bayangkan sebuah ember berisi air dan sebuah danau. Ketika sebuah batu kecil dilemparkan ke dalam ember, air melonjak bahkan tumpah keluar. Ketika batu itu dilemparkan ke danau, air hanya beriak kecil. Apa yang berbeda? Permukaan airnya. Ketika kita memiliki hati yang demikian luas, cemoohan yang sebelumnya membuat sakit hati, kini tidak berarti apa-apa. Bagaimana permukaan hati kita bisa bertambah luas? Jawabannya ada pada setiap pengalaman dan proses yang kita jalani, yang mematangkan diri kita.

Kadang, memang muncul pilihan cara yang lebih instan. Lalu, mengapa tidak dipilih saja? Masalahnya, cara yang instan tidak selalu menambah kualitas diri kita. Kita memang memperoleh “hasil”, tujuan kita, dan barangkali juga menghemat waktu. Akan tetapi, ketika memilih proses, tidak hanya “hasil” yang kita peroleh, tetapi kita memperoleh bonus “kualitas”.

Kadang saya merasa, pengalaman merupakan anugerah yang langka. Saya pernah melakukan perjalanan dari ujung ke ujung rel kereta api demi menyelamatkan sebuah map berisi berkas penting. Dalam waktu 4,5 jam saya bolak-balik stasiun –tentunya dengan menumpang kereta-, dari Bogor ke Jakartakota, Manggarai, lalu Jatinegara. Saya anggap perjalanan itu seperti amazing race. Benar-benar dikejar waktu dengan berbagai campuran emosi. Singkat cerita, map yang tertinggal di Stasiun Bogor pada hari sebelumnya dan menurut petugas stasiun mustahil ditemukan, ternyata terbawa kereta dan akhirnya berhasil ditemukan di Stasiun Jatinegara, ±55 km dari Bogor. Penemuan itu semata-mata karena berkat-Nya. Terlepas dari “hasil” yang saya dapat, pengalaman itu menempa satu kualitas dalam diri saya. Begini, sejak awal kehilangan, saya sudah yakin akan menemukan map itu kembali. Akan tetapi intuisi saya mengatakan bahwa saya perlu melalui proses ini, terutama perasaan panik sepanik-paniknya. Sempat saya bertanya dalam hati, untuk apa perlu merasakan semua ini? Muncul pula jawaban, agar saya bisa memahami bagaimana rasanya orang-orang yang mengalami situasi panik dengan intensitas serupa. Kelak pemahaman ini akan berguna dalam lingkup pekerjaan saya di bidang psikologi.

Anda sendiri pasti memiliki anugerah pengalaman masing-masing, yang dengan atau tanpa sadar, telah membentuk kualitas diri Anda. Kita yang merasa belum menemukan kualitas diri, tidak perlu khawatir. Adik-adik SMA yang masih mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, nikmatilah proses melenturkan adonan mentalitasmu. Ketika belajar dengan sungguh-sungguh, kamu tidak hanya mempersiapkan kesuksesan tetapi juga mentalitas diri yang semakin berkualitas.

Seorang kawan pernah bercerita, ada seorang pemuda mendatangi guru beladiri. Ia minta kepada guru itu agar bisa menjadi orang bertubuh kuat. Usia pemuda itu 16 tahun, tetapi penampilannya tidak berbeda dengan anak 14 tahun karena tubuhnya kurus kecil. Guru tersebut memberinya tugas membelah dan mengangkut kayu setiap hari. Enam bulan lamanya pemuda itu hanya membelah kayu. Karena bosan tidak pernah berlatih beladiri, ia protes kepada gurunya. Guru itu menjawab, “Saat kau datang menemuiku, kamu minta agar dilatih menjadi orang bertubuh kuat. Kini, lihat otot tubuhmu yang besar dan kuat karena berlatih setiap hari. Kamu sudah mendapatkan yang kamu minta.” Kita pun demikian, sering meminta kepada Tuhan, tetapi sering pula merasa bosan dengan prosesnya. Padahal, kita sedang dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari yang kita minta. Nikmati prosesnya, Tuhan bersamamu :)


Dimanjakan teknologi?

“Ah…angkatan sekarang lebih manja dari angkatan gw”, ungkap  salah seorang senior. Oo… jadi orang muda sekarang, tuh, lebih manja, ya, dari generasi sebelumnya? Ets, jangan ge-er dulu, yang lebih senior belasan tahun ikut menimpali, “Angkatan kalian juga manja dibanding kami dulu.” Sepertinya, sampai angkatan kakek-nenek kita juga akan berkomentar senada, ya.

Sekarang ini, hampir semua kebutuhan memang bisa dipenuhi semudah menekan tombol. Apa masih ada resto yang tidak menyediakan delivery service? Bahkan warteg pun punya touch-screen, maksudnya kita tinggal menunjuk makanan yang dipilih dari lemari kaca pemilik warung. Segala informasi juga mudah diperoleh, cukup mengetikkan apa yang ingin diketahui di layar “mbah” Google. Berdagang pun bisa dilakukan dengan transaksi via telepon, SMS, e-mail, transfer uang, kemudian barang terkirim. Kalau generasi terdahulu butuh banyak kertas ketika mengetik berulang-ulang dengan mesin ketik, kita hanya perlu menekan tombol delete di komputer. Ya, benar sih, hampir segala hal menjadi lebih mudah.