29 Juni 2015

perihal seleksi karyawan


Beberapa kali membuat laporan evaluasi tes psikologi untuk seleksi karyawan mengantarku pada pemikiran lain. Ah, ya, kujelaskan singkat dahulu apa yang kukerjakan. Aku menerima berkas hasil tes psikologi lalu kubuatkan laporannya. Kadang ada yang sudah disertai saran dari supervisorku, apakah pelamar yang dites ini disarankan untuk diterima bekerja, dipertimbangkan, atau ditolak. Kadang aku diberi kepercayaan untuk menuliskan saran tersebut dengan tetap disupervisi. 

Pengalamanku belum banyak di bidang ini. Aku tergolong pemula di ranah rekrutmen dan seleksi karyawan, setelah sebelumnya lebih berkecimpung dalam dunia pelatihan atau training.  Beruntung, aku masih di bawah supervisi dalam melakukan diagnosis dan mengambil keputusan terhadap lolos-tidaknya calon karyawan. Di satu sisi, melakukan diagnosis itu pekerjaan yang menyenangkan buatku. Seru, mungkin bisa dibilang begitu, ketika mendinamikakan kepribadian dan menemukan benang merahnya. Ya, kalau jadi terbayang gambaran umum pribadinya memang menyenangkan, tapi kalau tidak, memusingkan juga…hehehe. Di sisi lain, menetapkan saran untuk merekomendasikan atau menolak seseorang bekerja di suatu perusahaan, ini bagian yang sejak lulus S1 Psikologi kuhindari, sehingga aku memilih bidang pelatihan. Dan, dengan kapasitasku sekarang, aku diharapkan dapat memberikan saran terbaik perihal seleksi karyawan ini, untuk kemaslahatan kedua pihak, perusahaan dan karyawan. Bagi perusahaan, mereka bisa langsung memanfaatkan laporan evaluasi tersebut sebagai bahan pengambilan keputusan. Lalu bagaimana dengan pelamar atau calon karyawan? Ada beberapa perusahaan yang memberikan feedback, tetapi banyak pula yang tidak. Yaa, pekerjaan untuk mengurusi karyawan mereka saja sudah banyak, mungkin itu pertimbangan efisiensi mereka. 

Jadi, sudah beberapa kali aku terusik ketika menghadapi laporan psikologi yang kubuat, yang berujung pada saran “menolak”. Biasanya, itu terjadi karena aku menyayangkan adanya potensi cerdas yang kurang didukung dengan sikap kerja yang baik, atau potensi cerdas yang karena kurang didukung kebiasaan belajar atau upaya pengembangan diri, potensinya menjadi tidak berkembang.
Contoh saja ya, ada seseorang yang cerdas secara intelektual. Dalam bekerja, ia cenderung bertindak “semau gue”, kalau suka dikerjakan, kalau tidak, ya, tidak dikerjakan. Tidak suka keteraturan. Selain itu, kurang memiliki daya tahan untuk bekerja hingga tuntas. Dengan begini saja, dikhawatirkan ia tidak selalu mampu memenuhi jadwal pekerjaan atau target. Keinginannya sangat besar untuk pamer atau unjuk kemampuan. Apabila melakukan kesalahan, ia tidak mudah mengakuinya. Sayangnya, ia juga sulit menyelami sudut pandang dan perasaan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana kontribusinya dalam tim? Bagaimana pula seandainya ia diplot sebagai pemimpin? 


Lantas, apakah para pelamar ini kemudian tahu tentang evaluasi kepribadiannya yang menyebabkan mereka tidak lolos seleksi? Ya, itu tadi, mereka tidak selalu mendapat kesempatan untuk mengetahuinya. Dengan berbekal ketidaktahuan, mereka mungkin tetap mengikuti tes seleksi di perusahaan yang lain, bermodal hafalan jawaban dari buku latihan psikotes yang sekarang sangat menjamur, yang tetap tidak mengubah cerminan kepribadiannya. Ketika suatu saat ia diterima bekerja, tak jarang muncul ketidakpuasan, misalnya, merasa pekerjaannya tidak sebanding dengan impiannya, atau menemukan kesulitan dalam beradaptasi, dan sebagainya. Mereka yang berhasil melalui kesulitan-kesulitan ini, tentulah karena beroleh kesempatan luar biasa untuk mengenali dan mengembangkan dirinya, berani menempa diri untuk menerima keadaan dan meningkatkan kemampuannya (menerima apa yang tidak mampu diubah dan mengubah apa yang mampu ia ubah).


Sampai sini, bagaimana kulanjutkan tulisan ini? Banyak harapan yang bermunculan terhadap lembaga yang mengeluarkan hasil pemeriksaan psikologis, terhadap para pelamar kerja, dan perusahaan. Tapi, akan lebih konkret untuk meniatkan diri bekerja dengan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab terhadap-Nya yang "menitipkan" persimpangan hidup mereka di jalanku. 

10 Juni 2015

Jujur

Syarat pertumbuhan adalah jujur pada diri sendiri. Barangkali ada syarat lainnya, tapi kali ini tentang jujur. Seperti pohon yang dengan jujur menghadapkan tubuhnya pada cahaya matahari, ia bertumbuh ke atas, atau menyamping, agar pucuk-pucuk pertamanya menerima hangat matahari. Bunga matahari tidak memalingkan wajahnya dari sang surya, sadar bahwa ia juga membutuhkan cerah yang lebih cerah dibandingkan cerah mahkotanya sendiri.