21 April 2020

“Digital Quotient” (Kecerdasan Digital) Anak ketika Belajar Jarak Jauh

Dengan menguasai aspek kecerdasan digital ini, kita akan semakin mahir berkarya sebagai warga digital


Ayo, siapa saja yang sekolah di rumah? Dengan sistem belajar di rumah ini, banyak sekali penyesuaian yang kita lakukan. Ada yang biasanya bermain bola di lapangan sekolah, sekarang ini cukup di garasi, atau bersepeda di gang depan rumah. Ada yang biasanya memperhatikan penjelasan guru dari bangku deretan belakang, kini bisa melihat wajah ibu atau bapak guru dekat sekali di layar laptop (wah, tidak bisa mengantuk kalau begini).
Selain itu, menyerahkan tugas dan PR cukup dengan dipotret lalu dikirim file-nya. Praktis! Untuk mengerjakan tugas kelompok dan berdiskusi, kita bisa menggunakan aplikasi video conference atau media sosial.
Banyak sekali aktivitas sehari-hari yang beralih ke aktivitas digital dalam beberapa minggu ini. Kalau selama ini internet dan gawai digunakan untuk bermain game, browsing, menonton video Youtube, posting di Instagram, sekarang kita sudah memanfaatkan teknologi dengan lebih luas lagi, di antaranya mengikuti kelas online membuat video tugas, mencari berita, dan bahan belajar lainnya. Wah, semakin terasa menjadi warga digital, ya! Ada istilahnya, nih, digital citizenship.
Menjadi warga di dunia digital yang tergolong baru ini, kita perlu tahu aturan main dan etikanya, agar menjadi warga yang bertanggung jawab. Dengan menjadi warga digital, kita sebagai generasi penerus bangsa tidak cukup hanya memiliki IQ (kecerdasan akal) dan EQ (kecerdasan emosi), tetapi juga DQ/Digital Quotient (kecerdasan digital).

Apa saja yang dimaksud cerdas digital itu?

Ada delapan poin kecerdasan digital, dijelaskan berikut ini.
  • Bisa memilah identitas yang boleh dishare dan tidak. Tujuannya untuk menjaga keamanan diri dan privasi, agar identitas kita tidak disalahgunakan oleh pihak lain. ”Think before you post” karena segala jejak digitalmu akan tersimpan selamanya.
  • Menyeimbangkan penggunaan digital (waktu, interaksi riil, dsb). Kita perlu mengelola waktu online dan waktu untuk aktivitas riil sehari-hari, misalnya membantu ibu dan ayah di rumah, bermain dengan kakak atau adik.
  • Bisa mendeteksi konten berisiko (cyberbullying, grooming, radikalisasi, pornografi, penipuan). Laporkan atau blokir akun yang mengancam keselamatan diri maupun teman kita.
  • Bisa mendeteksi ancaman siber (hacker, scams, dsb). Untuk melindungi akun dan gawai dari ancaman siber, sebaiknya rutin mengganti password, memasang antivirus, dsb.
  • Bisa berempati dan berhubungan baik secara online. Yuk, jadi netijen yang sopan, bukan berkata-kata kasar, apalagi cyberbullying. Ingat jejak digital, ya, jangan sampai postingan-mu merugikan masa depanmu.
  • Bisa komunikasi dan kolaborasi menggunakan teknologi dan media digital. Pemanfaatan multimedia menjadi keterampilan yang berguna untuk kolaborasi, misalnya mengedit video, menyampaikan presentasi, menulis email dengan tata cara yang baik, dsb. Meskipun bentuk komunikasinya online, etika dan sikap hormat kepada guru dan teman tetap penting, ya.
  • Literasi digital, yakni paham cara mendapatkan informasi, misalnya dengan menggunakan mesin pencari, membaca artikel/berita/jurnal, dan bisa mengkritisinya (hoax atau fakta). Ingat, ya, saring dulu sebelum sharing informasi.
  • Menghormati hak cipta orang lain, dengan mencantumkan nama pembuatnya ketika kita mengambil atau meneruskan karya tersebut.
Dengan menguasai aspek kecerdasan digital ini, kita akan semakin mahir berkarya sebagai warga digital.

(Artikel pernah dimuat di www.kembalikeakar.com pada 7 April 2020)

Self-Help penangkal stres (karena kabar Covid-19) untuk anak melalui “Imagery”

Stres merupakan kondisi yang wajar dialami setiap manusia ketika mengalami peristiwa atau situasi yang dianggap mengancam dirinya


Hei, mengapa kamu terlihat murung? Apa sedang tidak enak badan? Atau ada perasaan yang tidak nyaman? Oh, tetapi bingung menjawabnya, ya. Untuk membantumu mengetahui kondisi yang sedang dialami, yuk, lihat ciri-ciri berikut dan tandai yang sesuai dengan kondisimu.
  • Lelah, inginnya bermalas-malasan
  • Mudah marah, kesal, membentak
  • Sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas
  • Moody, cepat berubah dari antusias atau bersemangat ke lesu atau enggan
  • Lebih banyak diam, atau menangis
  • Merasa takut, tetapi tidak tahu takut apa
  • Sulit tidur atau justru mimpi buruk
  • Selera makan menurun, atau justru meningkat
  • Sakit perut atau sakit kepala, pusing
Apabila kamu mengalami sedikitnya empat ciri-ciri di atas, kemungkinan besar kamu sedang mengalami stres. Stres merupakan kondisi yang wajar dialami setiap manusia ketika mengalami peristiwa atau situasi yang dianggap mengancam dirinya.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun bisa mengalami stres. Coba diingat-ingat, siapa yang panik kalau harus memberi tahu orang tua ketika mendapat skor rendah di sekolah? Atau adakah di antara kita yang takut diejek teman ketika potongan rambutnya tidak sesuai yang diharapkan? Pasti ada banyak contoh lain yang pernah kamu alami. Perubahan besar dalam hidup juga bisa memicu stres, misalnya perceraian orang tua, anggota keluarga meninggal, pindah rumah, pindah sekolah, dsb. 
Dalam satu bulan terakhir, kita juga sedang mengalami perubahan besar karena pandemi Covid-19, yang membuat kita semua tidak boleh pergi ke sekolah tetapi belajar dari rumah saja. Bahkan sebagian orang tua kita juga bekerja dari rumah. Lalu banyak berita yang datang, tentang bahaya virus ini, kenalan ayah atau ibu yang menjadi pasien Covid-19, berita meninggalnya kakek atau nenek teman, atau bahkan ada orang tua yang harus dirawat di rumah sakit.
Beberapa kawan yang beruntung masih tinggal bersama orang tua mereka, mungkin mengalami stres yang berbeda bentuknya. Setiap hari mereka menyaksikan ayah dan ibu yang resah dan bingung karena situasi ini lalu melampiaskannya dengan kemarahan atau berkonflik ketika melihat anaknya melanggar aturan. 
Kalau semua hal ini memenuhi kepala dan hati kita, wajar sekali kita menjadi murung.

Kiat mudah mengurangi stres

Stres itu bukan hal yang buruk, kok. Ketika stres, sebenarnya kita dilatih untuk mencari solusi dengan berpikir dan mengelola emosi. Ada satu cara yang bisa kamu praktikkan untuk mengatasi stres karena beban pikiran. Ikuti tahapnya, ya.
  • Bayangkan dua keranjang besar, yang satu bernama Keranjang Tanggung Jawab dan satu lagi bernama Keranjang Kepedulian.
iStock

  • Keranjang Tanggung Jawab artinya tempat hal-hal atau masalah yang menjadi tanggung jawabku. Keranjang Kepedulian artinya tempat hal-hal atau masalah yang aku pedulikan tetapi di luar tanggung jawabku.
  • Sekarang, pilah satu persatu masalah yang dipikirkan, apakah masuk ke dalam Keranjang Tanggung Jawabku atau Keranjang Kepedulianku.
Pada contoh tadi, berita tentang kenalan ayah atau ibu yang sakit, meninggalnya kakek atau nenek teman, berita tentang bahayanya virus, serta keresahan ayah dan ibu masuk ke Keranjang Kepedulianku, karena sebagai anak-anak, aku tidak memiliki tanggung jawab dan kewenangan terhadap hal-hal tersebut.
Sementara itu, pelanggaran aturan yang kuperbuat masuk dalam Keranjang Tanggung Jawabku. Kondisi ayah atau ibu yang sakit, yang membuatku harus mengurus keperluan yang bisa kulakukan secara mandiri, menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh, serta mengerjakan tugas sekolah, masuk ke dalam Keranjang Tanggung Jawabku.
Artinya, perhatian kita bisa ditujukan kepada hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita, sedangkan hal-hal lain cukup menjadi bahan kepedulian dan jangan sampai menimbulkan kepusingan.
Semoga kini kamu bisa mengenali penyebab kemurunganmu dan memahami bahwa kondisi stres merupakan hal yang wajar serta bisa diatasi. Akan tetapi, jika kamu butuh bantuan, segera beritahu ayah-ibumu atau orang dewasa yang kamu percaya.
(Arikel pernah dimuat di www.kembalikeakar.com pada 8 April 2020)

Konsep "Circle of Concern and Circle of Influence"

18 April 2020

Bertukar Cerita dengan Eyang


Anak-anak bisa mengasah kecakapan sosial mereka melalui percakapan dengan kakek dan nenek.
Masa “sekolah di rumah” diperpanjang. Apakah ini berita menyenangkan atau kurang menyenangkan untukmu? Pasti jawabannya beragam. Ada yang senang karena punya banyak waktu lebih lama bersama ayah bunda, bisa bermain dengan kakak dan adik, atau bisa bangun lebih siang, barangkali. Ada juga yang tidak senang, karena mungkin bosan di rumah, sering rebutan barang dengan adik, banyak tugas tambahan, dan tidak bisa bertemu teman. Apalagi kalau sudah punya teman dekat, yang kalau di sekolah selalu main bareng dengan mereka, ngobrol bareng, jajan bareng, olahraga bareng, sampai tiktok-an bareng juga.
Walaupun tidak bisa bertemu langsung dengan teman, anak-anak jaman sekarang dimudahkan dengan teknologi. Kamu tetap bisa bercerita dan ‘mabar’ (main bareng) dengan teman via internet. Ada media sosial, game online, videocall, dsb. Kesempatan untuk bercanda, bertukar kabar, dan bermain dengan teman merupakan salah satu hiburan pada masa isolasi ini.
Disadari atau tidak, kamu belajar banyak tentang kecakapan sosial melalui pertemanan, di antaranya berkomunikasi, bersabar mengantri, berempati dan peduli terhadap teman yang kesusahan, menghadapi konflik atau pertengkaran dengan teman, dan mencari penyelesaian masalahnya. Lalu, selama masa isolasi di rumah, apakah keterampilan sosial ini akan menurun karena tidak bertemu dengan teman sebaya? Belum ada jawaban pasti dari ahli psikologi mengenai hal ini, namun mereka berpendapat bahwa kecakapan sosial anak tidak akan berkurang jauh.
Anak dan remaja masih bisa bersosialisasi dengan orang tua, kakak, adik, juga teman secara daring. Saya mengutip pernyataan Jen Blair, seorang psikolog klinis, kepada Insider, bahwa justru anak-anak mampu resilien. Resilien artinya lentur beradaptasi pada situasi sulit. Coba, deh, bayangkan karet yang lentur, bisa ditarik sekencang mungkin dan kembali ke bentuk semula tanpa putus. Kamu juga bisa lentur dan berhasil melalui masa sulit, asalkan tetap mau belajar, ya!  
Kamu bisa belajar dari Eyang
Bagi yang masih punya kakek dan nenek, adakah yang pernah videocall, menelepon atau mengobrol dengan beliau selama masa isolasi ini? Ketika sudah terlalu sering mendengar dan menonton video selebgram, bagaimana kalau kamu seolah-olah menjadi youtuber yang mewawancara kakek atau nenekmu dengan 5 pertanyaan?
Hah, wawancara eyang, apa asyiknya? Ets, jangan kaget dulu. Ini akan menyenangkan karena kamu bisa belajar dari seseorang yang usianya empat atau lima kali lipat usiamu, yang pasti sudah punya banyak sekali pengalaman. Kamu bisa bertanya tentang pengalaman eyang menghadapi teman yang bikin bete, misalnya.
Supaya bisa menelepon atau videocall bersama eyang dengan nyaman, pilih tempat yang tenang untuk mengobrol cukup lama. Katakan kepada eyang untuk minta waktunya menjawab 3 atau 5 pertanyaan. Sesuaikan juga dengan kondisi fisik eyang, ya.
Tidak semua eyang bisa langsung bercerita, kadang eyang bingung cerita dari mana. Kamu bisa mulai dengan meminta eyang menceritakan tentang kedua orang tuanya. Berikutnya, bisa menanyakan pertanyaan seperti ini.
·         Siapa nama lengkap Eyang? Apakah Eyang punya nama panggilan waktu kecil?
·         Apakah Eyang pernah belajar alat musik, seperti apa belajarnya?
·         Bagaimana caranya supaya bisa memiliki teman-teman baik?
·         Apakah dulu Eyang diberi aturan tentang berpacaran?
·         Apakah Eyang pernah dihukum waktu kecil?
·         Apa pelajaran favorit Eyang di sekolah?
·         Apa pekerjaan pertama Eyang?

Respon eyang bisa berbeda-beda ketika mendapat pertanyaan ini. Dengarkan dulu segala cerita dan pesannya. Secara umum biasanya eyang akan senang ditanya, tetapi jika ada hal yang menyinggungnya, segera sampaikan maaf. Dari pengalaman ini, kamu juga sambil latihan bertutur kata yang sopan, memahami sudut pandang eyang, dan memberi tanggapan atau komentar dalam percakapan.
Sedikit informasi, hasil penelitian Marshall Duke dan Robyn Fivush dari Emory University menyebutkan bahwa anak dan remaja yang mempunyai banyak pengetahuan tentang sejarah keluarganya, menampilkan kepercayaan diri yang tinggi dan jarang mengalami kecemasan ketika menghadapi masalah.
Kegiatan bertukar cerita dengan eyang ternyata memberikan banyak bonus manfaat untukmu, yaitu mendapat pesan berharga dari pengalaman eyang, melatih keterampilan berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, menambah pengetahuan tentang sejarah keluarga, dan bisa meningkatkan kepercayaan dirimu. Kecakapan sosialmu bisa tetap diasah selama masa isolasi ini. Selamat mencoba, ya! Apabila kamu dan orang tuamu ingin melihat contoh percakapannya, bisa menonton video 57 Years Apart – A Boy and a Man Talk About Life.

(ditulis untuk www.kembalikeakar.com)

Referensi:
Fivush, Robyn., Duke, Marshall., & Bohanek, Jennifer G. 2010. “Do You Know…” The power of family history in adolescent identity and well-being. https://ncph.org/wp-content/uploads/2013/12/The-power-of-family-history-in-adolescent-identity.pdf
Lauber, Rick. 100 Questions to Ask Grandparents. https://homecareassistance.com/blog/questions-ask-elderly-grandparents

Miller, Anna Medaris. 2020. Experts say kids' social skills 'aren't going to fall apart' during a short-term coronavirus lockdown, but it's unclear what might happen after that. https://www.insider.com/will-kids-be-developmentally-delayed-from-social-isolation-coronavirus-2020-3

Stasova, L. & Krisikova, E. 2014. Relationships between children and their grandparents and importance of older generations in lives of todays’families. EDP Sciences. https://www.shs-conferences.org/articles/shsconf/pdf/2014/07/shsconf_shw2012_00044.pdf