05 September 2014

karena ada kasus Florence Sihombing

Kita tidak harus disukai oleh semua orang, betul? 
Semua orang tidak harus menyukai kita. Sepakat? 
Begitu pula sebuah kota tidak harus disukai oleh semua orang, bukan?

Kisah postingan Florence Sihombing di media sosial cukup membuat geger beberapa waktu lalu. Bahkan dituding menyinggung SARA oleh beberapa LSM. Padahal, di mana SARA-nya, ya? Ia tidak membawa-bawa suku, pun agama. Juga tidak mengangkat soal ras. Atau, apakah yang dimaksud adalah menyinggung golongan? Tidak juga rasanya, karena ia mewakili dirinya sendiri. Benar, ia dianggap menghina Jogja sebagai ekspresi kekesalannya. Di mata masyarakat, menghina dipandang sebagai tindakan yang salah. 

Akan tetapi, bentuk kekesalan dan sinismenya pada Kota Yogyakarta bukankah serupa dengan bentuk komplain seorang suami pada masakan istrinya yang hambar? Atau seorang teman yang mengatakan bahwa penampilan kita berantakan? Umm, atau pengunjung resto yang mengumpat-umpat karena pelayanan resto yang tidak memuaskan? Termasuk juga adik kita yang tanpa kendali melontarkan kata-kata pedas dan tak pantas untuk menumpahkan kekesalannya saat curhat pada kita? Kalau demikian, apakah kita –atau siapapun yang merasa tersinggung- lantas membangun tembok tinggi mengelilingi diri dan mengusir siapa saja yang menurut kita telah menghina diri kita? Lalu, kapan kita bisa bertumbuh jika tidak menerima kritik? Kapan sang istri bisa memasak masakan lezat jika menutup telinga terhadap pendapat suaminya? Kapan juga kita bisa berpenampilan pantas jika abai terhadap komentar dari orang yang memperhatikan kita?