25 September 2018

Kepekaan Waktu


Sense of time. Istilah ini muncul begitu saja dalam pikiran saat saya bercakap-cakap dengan adik saya hari Minggu kemarin. Saat menulis ini, saya coba cari di Google tentang istilah ini, masih sedikit pembahasan (dalam pengertian saya, masih sedikit adalah ketika ia hanya muncul pada 1 atau 2 artikel dalam laman pertama pencarian) maupun kata gantinya. Padanan istilah dalam bahasa Indonesia yang paling mendekati tampaknya adalah “kepekaan waktu”. Kepekaan waktu yang dimaksud ini tentang kemampuan seseorang dalam memperkirakan waktu (kapan) dan durasi (berapa lama).

Pada Minggu siang terik yang membuat enggan beraktivitas, saya bertanya kepada adik.
“De, kamu pernah tahu lima menit itu seberapa lama?”
“Maksudnya?”
“Lima menit itu setara dengan waktu kamu mengerjakan apa, apakah misalnya menyikat gigi, berjalan kaki dari rumah ke warung, dsb. Kira-kira kamu bisa isi lima menit dengan apa? Kita sudah menyadari belum, lamanya tiga menit, lima menit, setengah jam itu seberapa.”

Seringnya, sih, waktu berlalu begitu saja. Kita larut dalam aktivitas, entah bekerja, mengobrol, main game online, membaca, termasuk menyikat gigi dan berjalan kaki itu. Biasanya, waktu baru terasa kalau sedang menunggu berjam-jam. Bahkan berjalannya waktu yang sudah diukur dengan timer pun, kadang disadari kadang juga tidak, seperti misalnya saat memanggang kue. Barangkali berbeda dengan atlet atletik yang paham betul artinya satu detik itu seperti apa.

Bila seseorang datang terlambat dari waktu yang ditetapkan, selain terjadi peristiwa di luar prediksi, sangat mungkin perhitungan waktunya belum tepat, atau bisa juga ia tidak membuat perhitungan rencana. Sementara itu, seseorang yang dalam setiap janji temu berusaha tiba satu atau dua jam lebih awal, mungkin juga ia belum memahami ukuran waktu, maka mengambil perhitungan waktu yang berlebih. Daripada terlambat, biarlah tiba dua jam lebih awal, pikirnya, lalu estimasi waktu ia tambahkan, karena belum mengenali seberapa persisnya ia menggunakan waktu.

Ketika orang bicara tentang manajemen waktu yang dilatihkan dalam training-training di kantor, kampus, dsb, sepertinya ada konsep yang lebih mendasar atau mungkin lebih mendalam pemahamannya, dibandingkan tahap awal memilah kegiatan penting dan mendesak, membuat prioritas, dan jadwal kegiatan harian, itu ialah kepekaan waktu (sense of time). Paham dengan ukuran waktu. Umpamanya, dalam lima belas menit bisa melakukan apa saja, apakah membalas email-email, mengarsip lembar tagihan, menyusun satu konsep proposal, membaca jurnal, dsb. Dengan memahami ini, pasti akan memudahkan dalam membuat keputusan tindakan. Seperti misalnya, datang tugas tambahan sementara masih ada tugas rutin, tetapi hanya tersisa waktu lima belas menit sebelum menghadiri rapat, maka lima belas menit ini bisa diisi dengan pekerjaan yang mana agar efektif.

Apakah peka terhadap waktu mudah dilakukan? Dalam percakapan dengan beberapa teman, hanya seorang dari kami yang mampu mengenali ukuran waktu dalam satuan menit tanpa bantuan alat, dan bagi kami yang mendengarnya dengan takjub, itu seperti kemampuan spesial yang hanya dimiliki orang-orang tertentu. Sama seperti saya mengagumi nenek saya dan orang-orang di generasinya yang bisa menyebutkan waktu dengan tepat, tanpa melihat jam, yang kepekaannya sangat terasah dalam mengenali perubahan waktu. Padahal, sesungguhnya tidak selangka itu. Kepekaan ini sangat bisa dilatih, dengan disertai kesadaran dalam setiap waktu yang dilalui. Menyadari keberadaan waktu demi waktu inilah yang perlu proses.

Menurut suatu sumber, salah satu cara praktisnya bisa dengan menebak jam atau durasi, lalu mengeceknya pada arloji. Lebih dari itu, kita bisa berlatih memantau jumlah waktu yang dihabiskan untuk melakukan suatu aktivitas, atau menetapkan waktu sekian menit lalu mengisinya dengan aktivitas. Kita bisa memantaunya selama beberapa kali, sehingga diketahui kisaran waktu rata-ratanya. Lambat laun, kita bisa mengenali bobot satu jam itu seberapa, tiga puluh menit itu seberapa, lalu dapat masuk ke ukuran waktu yang lebih kecil. Tampaknya tidak sulit untuk dicoba. 

Bersamaan dengan mampu mengukur waktu, kita juga mampu mengukur kemampuan diri, hendak mengisi dengan apa saja, kapan melanjutkan dan kapan berhenti.



Oke, sudah saatnya berhenti menulis dan berlanjut ke kegiatan lain. Sampai bertemu pada tulisan berikutnya.