28 Desember 2016

Kekaguman akhir tahun


“Kamu ikut kegiatan ini karena mau sendiri atau ditunjuk guru?”
“Mau sendiri, mau belajar yang diajarin ini (tentang SiGAP).”

Itu sepotong percakapan saya dengan salah satu anak, yang menjawab dengan malu-malu. Ia dan 74 anak lainnya mewakili 5 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mengikuti pelatihan SiGAP yang diselenggarakan oleh Save the Children. Kelak mereka dipersiapkan sebagai leader bagi teman-temannya di sekolah untuk membentuk sekolah aman bencana.  Karena itu, mereka dibekali kemampuan komunikasi, sikap positif terhadap diri, dan sikap kepemimpinan dalam pelatihan kemarin.

Berproses dengan anak-anak hampir selalu menimbulkan getar kekaguman. Itu yang saya alami lagi bersama sahabat saya, Dian Nirmala, saat memandu pelatihan untuk mereka. Dari satu permainan sederhana; kami menyebutnya “Berhitung Siaga”, yakni setiap orang menyebut satu angka secara berurutan misalnya 1-38 (karena ada 38 anak), bebas dimulai dari siapa saja, tetapi tidak boleh berbarengan; saya merinding berada di tengah-tengah mereka.  Permainan ini memang cukup bikin kesal ketika ada dua orang atau lebih menyebut angka berbarengan, karena hal itu berarti permainan mesti diulang dari awal. Apalagi kalau sudah mencapai angka belasan atau puluhan. Memang akhirnya mereka berhasil setelah berkali-kali mengulang dari awal dan raut wajah antusias mulai berubah menjadi lemas. Saya ikut deg-degan ketika menunggu setiap angka yang terucap dari mulut-mulut kecil itu perlahan mendekati urutan ke-20, 30, dan…. ah 38!  

Selepas permainan, kami membahas poin-poin pembelajaran. Permainan ini tentang kepekaan dalam berkomunikasi, tetapi kami tidak memberitahukan maksud permainan kepada mereka. Kami tanyakan pendapat mereka tentang kunci keberhasilan permainan ini. Menurut mereka, yang dibutuhkan (dalam komunikasi) adalah tenang, fokus/konsentrasi, dan melihat sekitar. Tenang, agar dapat mendengar suara teman-temannya. Konsentrasi agar tak salah menyebut angka. Melihat sekitar, gerak-gerik teman, agar tahu waktu yang tepat untuk gilirannya bicara.

Tenang, fokus, dan melihat sekitar. Bukankah kalau dipikirkan lagi, tiga hal ini memang dibutuhkan dalam komunikasi kita? Kita perlu tenang agar dapat mendengar dan menyimak dengan jernih, agar tidak mudah tersulut emosi yang membuat kita terburu-buru menilai, menyerobot , menghardik. Fokus dan konsentrasi juga diperlukan, agar tidak salah menangkap informasi, tidak mudah mengabaikan orang yang sedang berbicara, tidak mudah terdistraksi oleh informasi lain dan asumsi. Komunikasi dua orang, tiga orang, sepuluh orang, bahkan lebih, tetap merupakan komunikasi dua arah.  Apa kita cukup memperhatikan situasi sekitar, kondisi orang lain, dan dampak pada orang lain, ketika berbicara? Nyatanya, komunikasi juga tidak terbatas pada bicara, tetapi pernyataan sikap verbal dan nonverbal.

Tiga pembelajaran penting yang saya pelajari dari anak-anak ini. Anak-anak kelas 4, 5, dan 6, yang menyebutkan kekuatan mereka adalah senyum, semangat pantang menyerah, dan niat menolong sesama. Anak-anak, yang sebagian dari mereka tidak mengenal “Moana”, film terbaru Disney tahun ini, dan “Om Telolet Om”, trending topic di jagat media sosial akhir-akhir ini.  


Itu pun baru dari satu permainan. 
Berproses dengan anak-anak memang menimbulkan getar kekaguman. 


10 September 2016

Seramah apa sekolah kita?


Saat melihat gambar di atas, bisa jadi kita mencoba mengingat-ingat di mana pernah melihatnya sebelum ini atau justru sudah amat mengenalinya. Gambar ini ada dalam iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengampanyekan Sekolah Ramah Anak (SRA).

Pada 2014 lalu, maraknya kasus kekerasan dan pelecehan mendorong pemerintah untuk membuat konsep sekolah ramah anak. Apakah SRA semata-mata adalah program sekolah tanpa tindak kekerasan? Kebijakan SRA memuat standar pelayanan minimal terkait kesehatan anak sebagai peserta didik, penanganan dan antisipasi keselamatan anak di daerah rawan bencana, dan kebijakan anti kekerasan. Pada dasarnya, Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

Kita yang tinggal di kota, menyekolahkan anak, atau bersekolah di sekolah swasta atau negeri, mungkin berpikir, konsep sekolah ramah anak bukankah merupakan kewajiban bagi semua sekolah, dan bukankah memang demikian yang sudah terjadi? Bahwa sekolah memiliki bangunan yang kokoh, tersedia berbagai fasilitas yang bersih, memiliki lingkungan nyaman, dilengkapi dengan petugas pelayanan kebersihan, dan siswa juga diajar untuk menjaga kebersihan lingkungan. Bahwa tersedia kantin, perpustakaan, lapangan olahraga,  toilet, taman, beserta sederet kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Bahwa petugas keamanan sekolah dengan ramah membantu siswa menyeberang jalan. Lalu, apakah di sekolah yang memiliki jalan berupa tangga, juga tersedia jalur khusus lain yang bisa digunakan oleh anak yang menggunakan kursi roda? Apakah kapasitas ruangan kelas sesuai dengan jumlah anak, memiliki penerangan yang cukup, tersedia tempat sampah dan memiliki tempat cuci tangan dengan air bersih yang mengalir? Apakah kantin memiliki tempat dan peralatan yang bersih untuk pengolahan dan persiapan penyajian makanan, tidak berada di dekat toilet atau tempat sampah, serta makanan dan minuman memenuhi standar keamanan dan kesehatan?

18 Juni 2016

Piper

Sekawanan burung kedidi mendarat di hamparan pasir yang baru saja dibasuh ombak. Mereka mematuk mencari kerang untuk dimakan. Tak sampai semenit, ombak datang dan dengan sigap mereka terbang.


Di atas pasir lembut yang terlindung oleh sekumpulan rumput, seekor anak burung kedidi berkeciap-ciap. Warna bulunya putih berselimut abu-abu pada kepala dan sayapnya. Bola matanya bulat berbinar. Paruhnya kuning dan runcing. Ibunya baru saja meninggalkannya untuk mengambil kerang. Tapi kerang itu bukan untuk anaknya. Dengan anggukan kepala, ia panggil anaknya untuk mengikuti ia ke tepian pantai. 



Anak burung tidak tahu harus melakukan apa di pantai itu. Kerang kecil di paruh ibunya lagi-lagi bukan untuk anak burung itu. Sorot mata ibunya memandang ramah kepada anaknya, meyakinkan anaknya untuk mencoba sendiri mematuk kerang di atas pasir. Anak burung itu berusaha mematuk, namun belum-belum ia berhasil, gemuruh ombak sudah terdengar. Belum sempat pula ia paham apa yang terjadi ketika semua burung lainnya berlari dan mulai terbang. Langkah larinya masih pendek-pendek dengan wajah bingung dan mata mengerjap. Dalam hitungan detik, ia diguyur ombak. Melayang-layang di dalam air hingga terdampar di atas pasir. Saat terbangun, bulu-bulunya kusut. Sejak itu ia takut pada laut. Biarpun diajak kembali oleh ibunya, ia tetap memilih bersembunyi di balik rumput. Hingga akhirnya muncul bunyi keroncongan dari dalam perut. Ia mesti cari makanan! Maka ia beranikan diri melangkah mendekati laut. Setiap ada suara gemuruh, ia kembali ke balik rumput. Akhirnya tiba juga di tepian, sepertinya situasi tenang, ia mencoba mematuk. Rupanya ia berebut dengan dua kelomang yang juga mencari kerang. Dan….o’ow, ombak mendekati pantai. Anak burung diam terpaku. Ia bingung seketika. Dua kelomang langsung masuk ke dalam pasir untuk berlindung. Insting hidup mendorong anak burung itu untuk mengikuti cara kedua kelomang, membenamkan tubuhnya yang bulat itu ke dalam pasir. Hulp, ia bersembunyi. Lantas ombak memerangkap mereka. Pasir terangkat, begitu pula mereka. Anak burung kembali melayang-layang dalam air. Cukup dalam, cukup lama. Perlahan ia buka matanya. Takjub ia melihat ada begitu banyak kerang di dasar. Ketika air kembali surut dan ia terbangun, anak burung ini segera berdiri. Dengan penuh semangat, ia memasukkan paruhnya ke dalam pasir, tepat sasaran mematuk kerang! Tak hanya satu, ia patuk lagi dan lagi, seolah hafal posisi kerang-kerang itu di balik pasir hingga terkumpul banyak makanan untuknya dan ibunya. Burung-burung pantai yang lain ikut senang dan terbantu oleh anak burung itu. Ketika ombak bergulung kembali datang, anak burung segera membenamkan kepalanya di dalam pasir, menunggu rahasia kerang terkuak. Tanpa lelah ia mengumpulkan kerang. Ia kegirangan dengan keberhasilannya. Berhasil mengalahkan ketakutannya pada ombak. Berhasil menemukan cara efektif memperoleh kerang. Belajar hal baru dari kawan  yang berbeda.  


Piper”, sebuah film pendek karya Pixar.


Hingga usia sekarang ini aku masih menyukai gambar-gambar kartun atau animasi. Kini gambar-gambarnya semakin memanjakan mata. Efek visualnya menjadikan gambar menyerupai wujud aslinya. Lebih banyak sensasi yang dirasakan, terlebih emosi yang tersentuh karena visualisasi yang lembut, ekspresif, seperti nyata, dan banyak lainnya. Salah satunya film mengenai burung pantai yang tadi kuceritakan. Riak airnya sempat membuatku tersadar, apakah itu dari gambar atau nyata? 

Sempat heran, apa yang mendorong para senimannya membuat karya sedemikian indah? Dengan teknologi yang tentunya tidak sederhana, tidak murah, membutuhkan kesabaran untuk mengoreksi, sementara teknologi terus saja meningkatkan kemahirannya. Karya terbaik mereka tahun ini barangkali mudah dilupakan oleh orang dan oleh jaman yang semakin mampu menghasilkan efek visual yang lebih baik di tahun-tahun mendatang. Film pendek yang menjadi pembuka film utama ini barangkali diingat samar-samar kisahnya dibandingkan isi film utama yang dibicarakan oleh banyak penontonnya. 

Tentu ada spirit luar biasa yang mendasari para seniman ini. Tampaknya yang mereka berikan bukan sekadar warna dan efek visual. Bukan itu, karena warna dan efek bisa pudar oleh jaman. Sepertinya, yang mereka beri adalah nilai-nilai sejati kehidupan, yang mereka anggap baik untuk diteruskan kepada anak-anak, pun orang dewasa. Kepada setiap hati yang tersentuh. 

Biar nilai-nilai itu terus hidup, tak pudar, tak tergerus.